Jumlah Tes PCR di DIY Berkurang, Rekomendasi WHO Tak Terpenuhi
Jumlah orang yang menjalani tes reaksi rantai polimerase atau PCR di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Oktober ini menurun dibandingkan September lalu. Rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia pun tak bisa terpenuhi.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Jumlah orang yang menjalani tes reaksi rantai polimerase atau PCR di Daerah Istimewa Yogyakarta pada Oktober ini menurun dibandingkan September lalu. Pada periode 1-21 Oktober 2020, jumlah orang yang menjalani tes PCR di DIY juga tidak memenuhi rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, pada Rabu (21/10/2020), jumlah orang yang menjalani tes PCR di provinsi tersebut sebanyak 404 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 33 orang di antaranya dinyatakan positif Covid-19. Jumlah orang yang menjalani tes PCR di DIY pada Rabu ini tidak memenuhi rekomendasi WHO.
Menurut rekomendasi WHO, jumlah orang yang menjalani tes PCR di suatu wilayah minimal 1 per 1.000 penduduk per pekan. Berdasar data Badan Pusat Statistik DIY, jumlah penduduk DIY pada tahun 2019 sekitar 3,8 juta orang. Oleh karena itu, jumlah orang yang mestinya menjalani tes PCR di DIY minimal 3.800 orang per pekan atau 543 orang per hari.
Tidak terpenuhinya rekomendasi WHO tentang jumlah tes itu tak hanya terjadi pada Rabu ini. Mengacu laporan harian Dinkes DIY, sejak Sabtu (17/10/2020), jumlah orang yang mengikuti tes PCR di DIY selalu tidak memenuhi rekomendasi WHO. Bahkan, hasil penelusuran Kompas menunjukkan, pada periode 1-21 Oktober 2020, total jumlah orang yang menjalani tes PCR di DIY juga tidak memenuhi rekomendasi WHO.
Berdasarkan laporan harian Dinkes DIY, jumlah orang yang menjalani tes PCR di daerah tersebut pada 1-21 Oktober sebanyak 10.206 orang. Ini berarti pada periode tersebut rata-rata orang yang mengikuti tes PCR sebanyak 486 orang per hari sehingga belum memenuhi rekomendasi WHO. Selain itu, rata-rata orang yang menjalani tes PCR pada 1-21 Oktober juga menurun dibanding kondisi September lalu.
Pada September 2020 terdapat 17.980 orang yang menjalani tes PCR. Oleh karena itu, rata-rata orang yang dites per hari di provinsi tersebut sebanyak 599 orang. Hal ini menunjukkan jumlah tes PCR pada September sudah memenuhi rekomendasi WHO.
Selain jumlah tes, positivity rate atau tingkat kepositifan di DIY pada 1-21 Oktober 2020 juga belum memenuhi rekomendasi WHO. Positivity rate merupakan perbandingan jumlah orang yang menjalani tes PCR dengan jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19.
Berdasarkan rekomendasi WHO, angka positivity rate di suatu wilayah seharusnya kurang dari 5 persen. Namun, pada periode 1-21 Oktober, positivity rate di DIY sebesar 7,31 persen sehingga melebihi rekomendasi WHO.
Dalam kesempatan sebelumnya, epidemiolog Lapor Covid-19, Iqbal Elyazar, mengatakan, rekomendasi WHO terkait jumlah tes PCR itu bisa menjadi indikator untuk mengukur upaya penemuan kasus Covid-19 di suatu wilayah. Jika jumlah orang yang dites belum memenuhi rekomendasi WHO, bisa dikatakan upaya penemuan kasus Covid-19 yang dilakukan belum memadai.
”WHO sudah mengeluarkan pernyataan bahwa yang dimaksud kegiatan penemuan kasus yang memadai itu apabila jumlah orang yang diperiksa itu adalah satu orang per seribu penduduk per minggu,” kata Iqbal.
Jika jumlah orang yang dites belum memenuhi rekomendasi WHO, bisa dikatakan upaya penemuan kasus Covid-19 yang dilakukan belum memadai. (Iqbal Elyazar)
Penelusuran kontak
Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji mengakui, jumlah orang yang menjalani tes PCR di DIY dinamis atau fluktuatif. Hal ini karena jumlah orang yang dites itu sangat bergantung pada hasil penelusuran kontak.
”Jumlah sampel sebetulnya dinamis karena bergantung pada hasil tracing. Kalau sedang tidak ada tracing, mungkin jumlahnya akan lebih sedikit,” katanya.
Kadarmanta menuturkan, sampai saat ini, Pemerintah Provinsi DIY memang masih mengandalkan contact tracing untuk menentukan orang yang harus menjalani tes PCR. Dia menyebut, tes PCR yang dilakukan berdasarkan hasil contact tracing itu dinilai lebih bisa diandalkan daripada melakukan tes PCR secara acak di masyarakat.
”Tes yang dilakukan secara acak itu hasilnya tidak optimal. Tes yang kami lakukan berdasarkan tracing itu lebih efektif karena lebih mengarah pada orang-orang yang terkena Covid-19,” ungkap Kadarmanta.
Namun, epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad, mengingatkan, dalam kondisi penularan Covid-19 yang telah meluas seperti sekarang, upaya penelusuran kontak tidak akan cukup untuk memutus mata rantai penularan. Hal ini karena proses penularan Covid-19 terjadi lebih cepat dibandingkan upaya penelusuran yang dilakukan petugas.
”Pada kondisi transmisi yang sudah meluas, contact tracing menjadi tidak cukup. Ini karena kemampuan contact tracing petugas akan lebih lambat dibandingkan kecepatan penularan,” ujar Riris.
Apalagi, pada kondisi penularan yang sudah meluas, seorang pasien positif Covid-19 akan sulit dilacak dari mana dia tertular. Dengan kondisi tersebut, upaya penelusuran kontak pun dinilai makin sulit dilakukan secara tuntas.
Pada kondisi transmisi yang sudah meluas, contact tracing menjadi tidak cukup. (Riris Andono Ahmad)
Oleh karena itu, Riris menyatakan, harus ada penapisan atau tes PCR secara massal di komunitas atau wilayah tertentu yang dinilai sudah terjadi perluasan penularan.
”Apabila melihat penularan yang meluas di suatu wilayah, wilayah itu harus dilakukan screening, tidak hanya contact tracing. Ini untuk mengimbangi kecepatan penularan,” ujarnya.