Selama pandemi, jurnalis lebih banyak menghabiskan waktu untuk meliput isu-isu penanganan Covid-19. Isu keberagaman baru diangkat saat terjadi peristiwa.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Selama pandemi Covid-19, pemberitaan isu pemenuhan hak minoritas di Provinsi Aceh dinilai masih minim. Media lebih banyak memberitakan kegiatan pemerintah tangani Covid-19, tetapi minim menyuarakan aspirasi kelompok terdampak pandemi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ”Menyoal Pemberitaan Isu Keberagaman di Aceh Selama Pandemi”, Selasa (20/10/2020). Diskusi itu digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.
Majelis Pertimbangan Organisasi AJI Indonesia Nurdin Hasan mengatakan, selama pandemi media massa di Aceh lebih banyak memberitakan siaran pers pemerintah, sedangkan kesulitan yang dialami kelompok minoritas jarang diberi ruang. Misalnya, kebutuhan pendidikan bagi difabel, perlindungan anak, warga miskin, dan isu menyangkut perbedaan keyakinan jarang diangkat.
Seharusnya, dampak pandemi yang dirasakan oleh kelompok minoritas yang diberitakan masif. (Nurdin Hasan)
”Seharusnya, dampak pandemi yang dirasakan oleh kelompok minoritas yang diberitakan masif,” kata Nurdin.
Nurdin juga menyebutkan, dalam kasus kekerasan terhadap anak masih ada media yang menyalahi kode etik jurnalistik karena membuka identitas korban dan menampilkan foto korban.
Dosen Sosiologi Agama Universitas Islam Ar Raniry Banda Aceh, Sehat Ihsan Shadiqin, mengatakan, pemberitaan terhadap isu keberagaman di Aceh masih bias. Dia menilai, jurnalis sebagai penulis berita tidak mampu berdiri secara netral terhadap isu yang diliput.
Dia mencontohkan pemberitaan konflik yang dipicu perbedaan aliran keagamaan. Berita yang diproduksi oleh media cenderung menyudutkan kelompok minoritas karena memiliki pandangan berbeda dengan kelompok mayoritas. ”Padahal, perbedaan itu adalah rahmat Tuhan. Seharusnya media mendamaikan orang yang berkonflik, bukan menyudutkan satu pihak,” kata Ihsan.
Ihsan menambahkan, selama pandemi, pemberitaan isu keberagaman sangat minim. Misalnya, polemik larangan pembangunan rumah ibadah di Kabupaten Aceh Singkil tidak menjadi berita utama bagi media di Aceh. Menurut Ihsan, media perlu memberi kesempatan yang sama bagi kelompok minoritas untuk menyampaikan aspirasi.
Redaktur Politik Harian Serambi Indonesia Said Kamaruzzaman menuturkan, selama pandemi jurnalis lebih banyak menghabiskan waktu untuk meliput isu-isu penanganan Covid-19. Isu keberagaman baru diangkat saat terjadi peristiwa. ”Memang kesannya seperti pemadam kebakaran, saat ada peristiwa baru turun,” kata Said.
Di sisi lain, Said menilai tidak banyak pembaca yang tertarik dengan isu keberagaman. Publik lebih banyak membaca isu-isu yang sedang ramai di lini masa media sosial. Meski demikian, kata Said, media tetap memberitakan hak-hak minoritas walau tidak masif.
Ketua Komunitas Tionghoa Hakka Aceh Kho Khie Siong mengatakan, hubungan antarsuku dan latar belakang keyakinan di Banda Aceh cukup harmonis. Namun, belum banyak media yang mengampanyekan keharmonisan itu sebagai daya tarik wisata.