Musim Bonsai yang Tak Pernah Usai
Meski tanaman janda bolong mewabah di mana-mana, bonsai tetap memiliki tempat tersendiri di hati peminatnya. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, bonsai memasuki musim semi, dan orang-orang mulai melirik tanaman kurcaci ini.
Serupa tanaman yang tak lekang waktu, bonsai adalah tanaman hias yang tak akan sepi peminat. Saat aglonema atau juga janda bolong menggurita, bonsai tetap bersemi dan mendapat tempat khusus. Bagi penggemarnya, bonsai adalah lukisan hidup dengan jiwa yang tak pernah usai.
Di antara rimbun bebungaan, kaktus, aglonema, Monstera adansonii atau janda bolong, dan sehamparan tanaman hias, Lina (29) berjalan pelan menuju halaman belakang. Pemilik lahan, Suyanto (55), memimpin barisan di kebun sekaligus halaman rumahnya di Desa Lamomea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Sabtu (10/10/2020).
Tepat di ujung lahan tersebut, tanaman yang jadi ”menu” utama di lahan seluas satu hektar ini menunggu. Bonsai berbagai jenis dan bentuk menyambut. Bonsai taman dari pohon wahong berjejer di kanan. Tingginya ada yang mencapai 3 meter, dengan daun dari tanaman sancang yang rimbun.
Tanaman yang lebih kerdil dalam pot dijejer dengan rapi di sisi kiri. Mereka adalah berbagai jenis bonsai beringin, santigi, randu, waru, dan bugenvil. Lina berhenti sejenak memandang ke santigi yang telah tumbuh indah.
”Ini cara merawatnya bagaimana, Pak De?” tanya Lina.
”Yang penting rutin kena sinar matahari kalau ditaruh di dalam rumah. Sama nanti kalau akarnya sudah banyak dibersihkan lagi,” ucap Suyanto. Suyanto adalah transmigran dari Jawa Timur ke Sulawesi Tenggara pada medio 1970-an. Saat masih ingusan, ia ikut bersama orangtuanya.
”Tolong yang ini disimpankan, Pak. Besok saya ambil,” tambah Lina menunjuk santigi itu.
Jauh dari Kendari, sekitar 25 kilometer, Lina datang khusus untuk mencari bonsai. Sebagai penggemar pemula, ia ingin memulai memelihara dan merawat bonsai di kediamannya. Ia tertarik dengan bonsai karena memiliki nilai seni tersendiri yang berbeda dengan tanaman hias lainnya.
Melihat bonsai, menurut Lina, membuatnya merasa senang sekaligus tenang. ”Kalau orang sekarang banyak cari janda bolong, saya lebih pilih bonsai. Suka saja dan tidak musiman,” ucapnya.
Baca juga: Tertular Demam Menanam
Lina adalah satu dari beberapa orang yang mulai menggemari bonsai di Kendari. Tanaman ini mendapat tempat di hati orang-orang seiring kegemaran menanam tumbuh. Tidak seperti tanaman yang meledak sewaktu-waktu lalu hilang ditelan hal viral lainnya, bonsai selalu punya posisi tersendiri.
Solihin (35), anak tertua Suyanto yang mengelola tanaman hias, menceritakan, selama pandemi ini, penjualan bonsai tidak terganggu. Cenderung stabil, bahkan dalam waktu tertentu kadang lebih tinggi dari biasanya.
Dalam satu bulan, Solihin menambahkan, bonsai yang laku terkadang rata-rata mencapai Rp 10 juta. Jumlah tanaman yang laku biasanya dua hingga lima buah. Jumlah tanaman yang terjual ini baru penjualan langsung di lahan, belum termasuk pengerjaan taman orang per orang yang biasanya sekaligus dengan tanamannya.
”Harga bonsai di sini berbeda-beda, tergantung dari jenis, ukuran, lama pengerjaan, dan kelengkapan keindahan bonsai itu sendiri. Kalau yang santigi, atau beringin, ada yang di bawah Rp 1 juta, ada juga yang di atasnya,” tutur Solihin.
Bonsai jenis wahong juga berbeda-beda. Satu pohon wahong dengan entris daun sancang yang standar dihargai Rp 1,5 juta. Sementara wahong yang telah berdaun sempurna, dengan karakter batang yang lengkap, dihargai Rp 8 juta.
Baca juga: Drama Alam dalam Bonsai
Namun, primadona di kebun bonsai ini adalah sebuah bonsai pohon asam. Dengan tinggi sekitar 1 meter, bonsai ini dihargai Rp 25 juta. Tentu bukan sembarang harga. Bonsai asam ini telah dirawat selama 25 tahun. Tidak diambil dari hutan dalam bentuk pohon, tetapi ditanam dari awal sejak biji.
Bonsai asam ini juga telah lengkap, dari batang, ranting, anak ranting, hingga cucu ranting. Penampakan bonsai dengan batang dan kulit berwarna abu-abu menyimpan aura tegas, tetapi juga menyimpan kelembutan di setiap lekukan rantingnya. Anak-anak ranting yang menjuntai menawarkan sisi berbeda.
Tanaman ini merupakan asal-muasal bonsai di keluarga ini. ”Awalnya ditanam oleh almarhum kakek saya. Ini yang menjadi awal mula bonsai di keluarga sampai sekarang bisa menjadi penghasilan utama,” ujar Solihin.
Keindahan berbeda
Bagi penggemanya, bonsai memang memiliki keindahan berbeda yang sulit untuk dibagikan. ”Apalagi, saat bangun pagi, minum kopi, terus lihat bonsai itu. Bikin pagi itu jadi lebih tenang, damai begitu,” tambah Solihin.
Saat membuat bonsai, ia melanjutkan, juga tergantung dari suasana dan ekspresi jiwa pembuatnya. Bonsai yang terkadang dianggap biasa saja oleh orang lain bisa berarti berbeda bagi lainnya. Bonsai juga merupakan seni dalam tanaman yang tak pernah usai. Karakter bonsai akan selalu tumbuh dan berkembang seiring umur dan kedewasaan. Solihin berujar, ”Sama kayak orang, yang semakin berpengalaman akan semakin bijak. He-he-he....”
Bonsai adalah seni menanam yang sejak lama menjadi kegemaran banyak orang di seluruh dunia. Sejak mulai dikenal di China ribuan tahun lalu, virus menanam bonsai menyebar ke banyak tempat. Jenis tanaman ini dikaitkan dengan filosofi kehidupan antara manusia, pohon, alam, dan jiwa.
Di China, asal mula tanaman dalam pot disebut penjing, atau lanskap dalam wadah atau pot. Tidak hanya tanaman atau pohon, tetapi juga lengkap dengan batu, air, dan lainnya. Di Jepang, pada pertengahan milenium pertama, seni ini turut berkembang dan mendapat bentuknya dengan nama bonsai yang berarti tanaman dalam pot.
Dalam dunia sastra Jepang, referensi paling awal untuk bonsai ditemukan dalam sebuah dokumen pada 1095.
Dalam ”An Informal History of Bonsai” yang terbit di buletin Arnoldia, sebuah buletin yang dikelola museum tanaman Arnold Arboretum of Harvard University, seiring pertukaran budaya China dan Jepang, termasuk pengenalan agama Buddha, turut memperkenalkan seni penjing ke Jepang.
Aliran Zen menjadi populer dan menyentuh kehidupan di Jepang, termasuk kesempurnaan, disiplin, dan hubungan dengan alam. Pohon yang kecil dalam pot bisa menjadi obyek kontemplasi sekaligus sebuah dekorasi.
”Dalam dunia sastra Jepang, referensi paling awal untuk bonsai ditemukan dalam sebuah dokumen pada 1095, di mana penanaman bonsai dikaitkan sebagai aktivitas elegan para samurai. Dengan demikian, hanya empat ratus tahun setelah agama Buddha dijadikan bagian dari agama negara (pada tahun 685), teknik budidaya bonsai mendapat persetujuan resmi dari penguasa,” tulis penggalan buletin tersebut.
Bonsai lalu semakin meluas ke berbagai gaya dan aliran. Hal itu seturut tanaman ini dikembangkan dan melebur menjadi sebuah seni dengan filosofi tinggi. Bonsai juga sering disebut pohon kurcaci karena ukurannya yang lebih kecil dari pohon biasanya.
Di Kendari, seni menanam ini mulai menemukan banyak penggemarnya sekitar lima tahun lalu. Sirod (59), warga Konda, Konawe Selatan, penggemar bonsai lainnya, menuturkan, dirinya mulai menanam bonsai sekitar empat tahun lalu. Ia memulai dengan menanam beringin dolar.
Setelah mempelajari beberapa lama, ia mulai mencoba dengan tanaman lain, seperti wahong atau bugenvil. Merawat bonsai memerlukan ketekunan dalam perawatan, mulai dari mencari bahan, memasang entris, memangkas, merapikan kawat, melakukan stek, mengganti tanah dan media tanam, hingga memangkas akar. Satu tanaman memerlukan waktu perawatan hingga sekitar delapan bulan.
Bonsai itu lukisan hidup. Sebagian karakter kita ada dari bonsai yang kita bikin.
Menanam dan merawat bonsai pun menjadi rutinitas yang mengisi hidupnya. Seperti merawat bagian dari dirinya, ia tekun merapikan, membersihkan, hingga mencari pohon yang bisa dibonsai jauh di tengah hutan. ”Bonsai itu lukisan hidup. Sebagian karakter kita ada dari bonsai yang kita bikin. Jadi, kalau lihat itu, serasa begitu dekat,” ucapnya filosofis.
Kegemaran ini juga berbuah menjadi pekerjaan sampingan bagi ayah tiga anak ini. Dalam satu bulan, ia bisa menjual satu hingga lima bonsai. ”Pernah laku banyak dalam satu bulan. Biasa juga tidak ada. Tapi tidak apa-apa karena senang juga lihatnya,” ucapnya.
Solihin menambahkan, bagi penggemar bonsai, harga satu tanaman terkadang tidak bisa ditaksir begitu saja. Itu karena setiap tanaman memiliki ragam dan keindahan masing-masing.
”Terkadang kalau untuk yang masih bahan, ada teman yang mau ambil, kita hitung biaya kopinya saja. Ya, misalnya, sudah dirawat enam bulan, artinya 180 hari dikali Rp 5.000 atau satu gelas kopi satu harinya. Kalau di Sultra, orang-orang awam banyak yang mulai suka. Tapi, kadang masih kaget sama harganya,” ujarnya terkekeh.
Bonsai, dengan segala keindahan, keruwetan, dan kemasyhurannya, merupakan tanaman yang selalu bersemi di hati banyak orang. Musim semi bonsai pun tak akan pernah berlalu.
Baca juga: Jaga Imunitas lewat Tanaman Hias