Minat Memelihara Naik Selama Pandemi, Kukang Makin Terancam
Minat masyarakat memelihara satwa dilindungi meningkat selama pandemi Covid-19. Salah satu satwa yang terancam adalah kukang sumatera. Sudah lebih dari 30 kukang diselamatkan tahun ini dari pemeliharaan ilegal.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Minat masyarakat memelihara satwa dilindungi meningkat selama pandemi Covid-19. Akibatnya, semakin banyak satwa dilindungi yang terancam keberadaannya.
Salah satu satwa yang terancam adalah kukang sumatera (Nycticebus coucang). Sudah lebih dari 30 kukang diselamatkan tahun ini dari pemeliharaan ilegal di Sumatera Utara dan Aceh. Enam di antaranya dilepasliarkan di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Bentuk dan rupanya yang lucu menjadi daya tarik untuk dijadikan peliharaan.
”Minat masyarakat memelihara satwa meningkat karena semakin banyak beraktivitas di rumah selama pandemi. Penjagaan petugas di hutan juga tentu semakin longgar selama pandemi ini,” kata Direktur Eksekutif Program Konservasi Spesies Indonesia (ISCP) Rudianto Sembiring di Medan, Senin (19/10/2020).
Dengan meningkatnya permintaan pasar terhadap satwa dilindungi, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut dan sejumlah lembaga mitra konservasi meningkatkan pengawasan. Satwa dilindungi pun berhasil disita dari masyarakat yang memelihara. Sebanyak 18 ekor satwa dilindungi telah dilepasliarkan ke Taman Wisata Alam (TWA) Danau Sicike-Cike, Kabupaten Dairi, setelah menjalani rehabilitasi beberapa bulan.
Satwa mamalia yang dilepasliarkan meliputi enam kukang sumatera dan satu kucing hutan (Felis bengalensis). Satwa lainnya merupakan jenis burung, yaitu dua ekor cica daun besar (Chloropsis sonnerati), satu cica daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis), dua tangkar uli sumatera (Dendrocitta occipitalis), empat takur api (Psilopogon pyrolophus), serta satu elang alap (Accipiter trivirgatus). Satwa liar itu dilepasliarkan di TWA Sicike-Cike karena merupakan habitat yang sesuai dengan ketersediaan pakan yang memadai.
Menurut Rudianto, salah satu satwa yang semakin banyak dipelihara adalah kukang. ”Kami biasanya menyelamatkan 20 kukang setiap tahun dari perdagangan dan warga yang memelihara secara ilegal. Namun, tahun ini sudah 30 kukang yang kami selamatkan bersama BBKSDA,” kata Rudianto.
Tahun ini sudah 30 kukang yang kami selamatkan bersama BBKSDA. (Rudianto Sembiring)
Rudianto menambahkan, enam kukang itu mereka sita bersama BBKSDA Sumut dari beberapa warga di Medan, Deli Serdang, dan Langkat. Mereka melakukan pendekatan secara persuasif dan menjelaskan bahwa memelihara satwa dilindungi merupakan tindak pidana. Karena itu, masyarakat menyerahkan secara sukarela.
Keberadaan satwa itu diperoleh dari patroli siber di grup media sosial pencinta satwa. Saat ini semakin banyak grup perkumpulan pencinta satwa. Mereka juga terkadang menggunakan media sosial sebagai media jual-beli satwa dilindungi.
Status terancam
Rudianto mengatakan, penyelamatan kukang dari perburuan, perdagangan, dan pemeliharaan ilegal sangat penting di tengah statusnya saat ini yang terancam punah. Primata itu juga menghadapi ancaman kerusakan habitat.
Primata itu merupakan hewan pemakan buah yang beraktivitas di malam hari atau nokturnal. Hewan yang biasanya hidup di hutan sekunder di dataran tinggi itu rentan diburu karena beraktivitas di sekitar ladang masyarakat.
Kepala BBKSDA Sumut Hotmauli Sianturi menyampaikan, pelepasliaran itu diharapkan memberi kesadaran kepada masyarakat agar tidak memelihara satwa dilindungi. ”Satwa ini bukan hewan peliharaan, harus dikembalikan ke habitatnya di alam liar,” katanya.
Hotmauli pun meminta apabila masyarakat mengetahui ada orang yang memelihara satwa dilindungi bisa melapor ke pihaknya. Laporan masyarakat sangat penting untuk menyelamatkan satwa dari pemeliharaan ilegal yang pada akhirnya bisa memutus rantai perdagangan ilegal.
Anggota tim medis satwa dari Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Sibolangit, Zakia Sheila, mengatakan, satwa tersebut telah menjalani pemeriksaan kesehatan dan adaptasi serta dinyatakan layak untuk dilepasliarkan. Penetapan kawasan TWA Danau Sicike-Cike menjadi lokasi pelepasliaran didasarkan pada pertimbangan kesesuaian lokasi habitat serta ketersediaan pakan satwa. Kondisi kawasan ini juga termasuk aman dan jauh dari aktivitas manusia.