Sejumlah wadah literasi di pelosok desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur, terus menebar asa meski sebagian di antara mereka tidak mampu bertahan. Wadah-wadah literasi itu pun menjadi oase dan pencerah bagi masyarakat.
Oleh
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Sejumlah anak yang masih duduk di bangku SD asyik bermain lompat tali di halaman rumah warga di Dusun Busu, Desa Slamparejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (4/10/2020). Seusai bermain, mereka menuju sebuah ruang belajar semi permanen berukuran 2,5 meter x 7 meter yang diapit oleh dua rumah warga.
Sambil duduk lesehan, beberapa pendamping—berusia remaja—memberikan pertanyaan kepada mereka. Pendamping bertanya seputar manfaat permainan lompat tali yang baru saja mereka lakukan. Beberapa anak mencoba menjawab. ”Menjaga kekompakan,” celetuk salah satu dari mereka.
Pemandangan seperti ini merupakan sekelumit dari sejumlah kegiatan yang ada di Gubug Baca Lereng Busu (GBLB) yang terletak di pinggiran dusun, di lereng Busu (perbukitan sisi barat kompleks Pegunungan Tengger).
Selain bermain yang disebut sebagai nguri-uri dolanan anak (melestarikan permainan anak), mereka juga biasa belajar bersama yang dilaksanakan seusai maghrib sampai pukul 19.30. Kegiatan belajar berlangsung Senin-Jumat. Kegiatan lainnya adalah menari, menggambar, sampai membuat kerajinan tangan dari bahan bekas.
Anggota GBLB tidak hanya anak-anak lingkungan setempat, tetapi juga dari luar dusun, seperti Jabung dan Slamparejo. ”Mereka belajar tentang pelajaran yang diajarkan di sekolah,” tutur Wahyu Widodo (28), salah satu pendiri GBLB. Dan, tentu saja, selama pandemi, kegiatan dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan.
GBLB berdiri tahun 2018 dengan nama awal Gubug Baca Tretek (menyesuaikan dengan jembatan dari anyaman bambu yang ada di tempat itu). Wadah literasi ini baru benar-benar memiliki lokasi belajar sejak dua bulan lalu. Sebelumnya, mereka memanfaatkan rumah Kusnadi Abid (39)—pendiri GBLB—dan rumah kerabat untuk kegiatan belajar.
Konsep belajar di GBLB berbeda dengan taman baca lain, yakni diperkenalkan dengan budaya. ”Meski memiliki buku bacaan, di tempat kami anak-anak juga diperkenalkan dengan budaya, seperti tari topeng. Jadi, nguri-uri budaya sekaligus branding bahwa daerah sini sebagai kampung adat. Ada kandungan pendidikan karakter di dalamnya,” ucap Wahyu.
Di Kecamatan Jabung sendiri kini terdapat sekitar 30 taman baca (gubuk baca) yang tersebar di sejumlah desa. Adapun di Dusun Busu saat ini terdapat empat taman baca. Beberapa gubuk baca itu bahkan didirikan oleh mereka yang semula suka mabuk minuman keras. Mereka punya tujuan mulia mengubah kondisi masyarakat sekitar.
Kusnadi mengatakan, jika sebelumnya proses belajar dilakukan secara cuma-cuma, sejak pandemi anak-anak dikenakan biaya. Mereka membayar uang belajar menggunakan sampah sisa rumah tangga. Sampah—yang sebagian besar berupa plastik bekas—itu kemudian dijadikan kerajinan tangan dan dijual untuk biaya operasional.
Pendirian GBLB dilatarbelakangi kondisi masyarakat. Sebagian besar warga Busu merupakan peternak sapi dan sebagian di antaranya memiliki orientasi bahwa semakin banyak jumlah sapi yang dimiliki, anak-anak mereka tidak perlu bersekolah sampai jenjang tinggi.
”Alasannya, kalau sekolah, tidak ada yang membantu mencari rumput. Makanya, anak-anak yang masih duduk di bangku SD-SMP kita ajak belajar dulu biar bisa bantu orangtua (bekerja). Pola pikir ini yang kita coba ubah,” tutur Wahyu.
Berbeda dengan saat ini yang mendapat sambutan positif, menurut Wahyu, pada masa awal berdiri GBLB kurang mendapat tanggapan menyenangkan dari warga. Wahyu sendiri berprofesi sebagai pengajar di salah satu SMK di Jabung. Sedangkan Kusnadi seorang pekerja seni, penari topeng, dan dekorasi.
Sementara itu, sekitar 60 kilometer ke arah selatan, di kawasan selatan Kabupaten Malang, proses belajar di Kampung Cerdas Ceria Galeri Kreatif Dusun Sukosari, Desa Rejoyoso, Kecamatan Bantur, masih berlangsung. Tempat literasi ini didirikan oleh Muzeki (29) pada 2011.
Tidak hanya anak-anak, orang dewasa dan anggota komunitas warga juga memanfaatkan tempat literasi ini untuk berinteraksi dan konsolidasi mengenai kegiatan yang akan mereka lakukan. Maklum, di Rejoyoso terdapat sejumlah komunitas, mulai dari penggemar musik (akustik), pembuat kostum tiruan tokoh film (cosplay), hingga komunitas tukang bangunan.
Di tempat ini pula, anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) setempat bisa mengikuti konseling. Di Rejoyoso terdapat banyak anak yang ditinggal oleh orangtuanya sebagai pekerja migran ke luar negeri.
”Saat ini ada yang sedang mengerjakan tugas kuliah, ada yang mengerjakan tugas sekolah. Tadi juga ada sukarelawan yang mendampingi belajar kelompok. Untuk sukarelawan yang rumahnya jauh, kami ubah ke sistem daring (selama pandemi),” tutur Muzeki, Kamis (15/10/2020).
Selama pandemi, menurut Muzeki, kegiatan belajar dibagi menjadi sesi siang dan malam. Untuk SD dan MI dilakukan siang, sedangkan SMP dan MTS dilakukan malam hari. Selain itu, ada pembatasan bagi sukarelawan yang berasal dari luar wilayah. Total ada 30-an siswa SD-SMP dan 10 sukarelawan yang tergabung di tempat itu.
Pengamat literasi Eko Cahyono (40) mengatakan, perkembangan taman baca di Malang Raya diwarnai oleh kehadiran taman baca baru, tetapi juga ada taman baca lama yang tidak mampu bertahan dan mati. Pasalnya, tidak semua orang mendirikan taman baca berasal dari niat dan keinginan sendiri.
”Ada yang ikut tren, kemudian mendirikan taman baca. Ada yang karena tuntutan kampus, kemudian membuat taman baca. Kalau sudah seperti itu biasanya mereka tidak bisa bertahan lama. Bahkan, ada perpustaan desa yang memenangi lomba setelah itu tutup,” ucap Eko yang mendirikan Perpustaan Anak Bangsa di Dusun Karangrejo, Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung.
Perpustakaan Anak Bangsa berdiri pada 1998 dan telah melalui proses panjang. Dengan jumlah koleksi 60.000 buku lebih, Anak Bangsa menjadi perpustakaan terbesar di Malang, bahkan Jawa Timur, yang didirikan oleh perorangan. Saat ini Perpustakaan Anak Bangsa tengah membuat Omah Sayur—kebun sayur gratis untuk masyarakat.
Ketua Forum Komunikasi Taman Baca Masyarakat Santoso Mahargono, mengatakan, saat ini di Malang Raya terdapat 120-an taman baca masyarakat (TBM). TBM terbaru muncul sebelum pandemi. Menurut Santoso, pandemi memang berdampak bagi munculnya TBM baru di Malang Raya.
Mereka yang punya niat mendirikan, saat ini masih mengerem, menunggu situasi mereda. ”Saat ini yang ada masih berupa rencana. Setiap bulan masih ada dua-tiga orang yang menghubungi saya, menyampaikan maksud ingin mendirikan TBM,” katanya.
Taman baca, gubuk baca, atau ada yang membuat dengan istilah lain, kiranya menjadi angin segar bagi masyarakat, khususnya anak-anak yang tinggal di pelosok, untuk mendapatkan tambahan pengetahuan, karakter, atau paling tidak menjauhkan mereka dari terpaan perkembangan gadget…. (WER)