Populasi Primata Langka Bekantan di Kalsel Bertambah
Populasi bekantan di kawasan konservasi Pulau Curiak bertambah dengan kelahiran tiga bayi bekantan. Dalam kurun empat tahun, populasi satwa yang sudah terancam punah itu bertambah hampir dua kali lipat di sana.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Populasi bekantan (Nasalis larvatus), primata endemik Kalimantan di kawasan konservasi Pulau Curiak, Kalimantan Selatan bertambah lagi dengan kelahiran tiga bayi baru-baru ini. Dalam kurun empat tahun, populasi satwa yang sudah terancam punah itu bertambah hampir dua kali lipat di sana.
Tiga induk bekantan melahirkan tiga bayi bekantan di Stasiun Riset Bekantan, Pulau Curiak, Kecamatan Anjir Muara, Kabupaten Barito Kuala, Rabu (14/10/2020) atau sehari menjelang Hari Hak Asasi Hewan Sedunia yang diperingati setiap 15 Oktober. Kelahiran itu menjadi kado manis bagi Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) selaku pengelola Stasiun Riset Bekantan, Pulau Curiak.
Pendiri sekaligus Ketua Yayasan SBI Amalia Rezeki mengatakan, kelahiran tiga bayi bekantan itu merupakan kabar gembira di tengah berbagai cerita duka dan beragam kisah pilu tentang konflik manusia dengan bekantan, perburuan liar, dan perdagangan ilegal. Kelahiran itu sekaligus merupakan sebuah capaian yang luar biasa untuk upaya konservasi bekantan.
”Dengan kelahiran tiga bayi bekantan, populasi bekantan di Stasiun Riset Bekantan, Pulau Curiak, pada tahun ini bertambah empat ekor. Penambahan itu turut menyumbang penambahan populasi bekantan di Indonesia,” kata Amel, panggilan akrab Amalia Rezeki, di Banjarmasin, Sabtu (17/10/2020).
Tambahan empat individu bekantan pada tahun ini membuat populasinya kini menjadi 27 individu dari sebelumnya hanya 14 individu pada 2016. Bekantan yang berada di Pulau Curiak terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Alpha yang menghuni Pulau Curiak dan kelompok Bravo yang berada di seberang Pulau Curiak atau kawasan penyangga. ”Kawasan pulau kecil ini dikelola dan dijaga oleh SBI bersama masyarakat nelayan setempat,” ujarnya.
Dengan tingkat pertumbuhan populasi bekantan yang cukup baik dan cepat, SBI kini harus berpacu dengan waktu untuk melakukan perbaikan habitat bekantan. Tanpa didukung oleh daya dukung kawasan, itu bisa menjadi problem konservasi bekantan ke depan.
Menurut Amel, ada tiga program yang saat ini gencar dilakukan SBI, yaitu membeli kembali lahan yang merupakan habitat bekantan yang telah beralih fungsi untuk dijadikan koridor bagi habitat bekantan. Selanjutnya, menanam kembali pohon rambai (mangrove) yang menjadi tegakan dan pakan utama bekantan, serta membangun zonasi habitat bekantan.
”Keberadaan satwa liar seperti bekantan sangat penting sebagai satu kesatuan ekosistem. Bekantan adalah salah satu spesies indikator biologis ekosistem lahan basah. Namun, sebagian dari kita masih kurang menyadari mengapa keberadaannya harus terjaga,” kata Dosen Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat itu.
Amel mengungkapkan, untuk rencana ke depan, sekitar kawasan Stasiun Riset Bekantan, Pulau Curiak, akan dibangun tempat perlindungan atau suaka (sanctuary) alami sekaligus sebagai pusat penyelamatan (rescue center) satwa liar. ”Kami menyiapkan itu sesuai arahan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan untuk menggantikan rescue center yang ada di Banjarmasin,” katanya.
Anggota DPRD Provinsi Kalsel yang juga Ketua Forum Konservasi Flora dan Fauna Kalsel Zulfa Asma Vikra mengapresiasi keberhasilan tim SBI dalam upaya pelestarian bekantan di Kalsel. Keberhasilan ini menumbuhkan semangat untuk terus menjaga dan merawat alam demi keberlangsungan peradaban manusia yang selaras dengan lingkungannya.
”Saat ini, kami di DPRD juga sedang menggodok peraturan daerah perlindungan hutan. Salah satu tujuannya untuk menjaga kelestarian bekantan melalui pembentukan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE),” kata anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Demokrat itu.