Mitigasi Bencana, Harga Mati untuk Palu
Mitigasi bencana tektonik harus menjadi harga mati untuk pembangunan Kota Palu, Sulawesi Tengah, ke depan.
Kota Palu, Sulawesi Tengah, menyajikan keindahan dalam bayang-bayang bencana. Kota itu terletak di teluk yang diapit gugusan pegunungan. Di balik keindahan itu, ada ancaman gempa besar. Wali kota hasil Pilkada 2020 harus menjadikan mitigasi sebagai napas utama pembangunan dengan belajar serius dari gempa katastrofik dua tahun lalu.
Kota yang berpenduduk 391.000 jiwa itu menjadi satu dari 261 kabupaten/kota dan provinsi yang menggelar pemilihan kepala daerah pada 9 Desember 2020. Perebutan takhta di ibu kota Provinsi Sulteng itu diikuti empat pasangan calon, yakni Aristan-Wahyuddin, Hadianto Rasyid-Reny Lamadjido, Hidayat-Habsa Yanti Ponulele, dan Imelda Liliana Muhidin-Arena JR Parampasi.
Selain sejumlah isu yang mendesak untuk dipecahkan, seperti masalah sampah dan penataan fasilitas kota, mitigasi bencana tektonik perlu menjadi perhatian utama siapa pun pasangan calon yang memenangi pertarungan nanti. Ancaman gempa beserta ikutannya, antara lain tsunami dan likuefaksi di Kota Palu, masih segar dalam ingatan saat melanda pada 28 September 2018.
Kota Palu dilalui Sesar Palu Koro dengan potensi gempa hingga magnitudo 7,9. Membentang dari Teluk Makassar bagian utara di Kabupaten Donggala, sesar tersebut melintas di barat Palu menuju selatan Kabupaten Sigi.
Abainya mitigasi tecermin pada bencana lalu dengan banyaknya korban jiwa dan kerusakan rumah, bangunan, serta infrastruktur lainnya. Korban meninggal karena gempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu mencapai 4.194 orang.
Jumlah itu setara 87 persen dari total korban bencana di Kabupaten Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong yang sebanyak 4.845 jiwa. Kerusakan rumah dan bangunan lainnya mencapai separuh lebih di Palu dari total 110.000 unit.
Korban terbanyak karena terjangan tsunami di pinggir Teluk Palu dan likuefaksi di Kelurahan Balaroa serta Kelurahan Petobo. Di pantai Teluk Palu, korban tak sempat lari atau kalah cepat dari terjangan tsunami yang datang tak lebih dari 4 menit setelah gempa.
Sisa-sisa kehancuran gempa, tsunami, dan likuefaksi masih jadi bagian keseharian warga Palu. Di pantai Teluk Palu, rumah dan bangunan yang tersapu tsunami bisa dilihat jelas. Gundukan tanah dan bongkahan bangunan di bekas-bekas likuefaksi Balaroa dan Petobo juga bisa dilihat di tengah gempuran rumput liar.
Dua tahun berlalu, pembenahan mitigasi masih di persimpangan. Sejauh ini yang terlihat hanyalah pembangunan infrastruktur pascabencana, termasuk untuk tujuan mitigasi tsunami, yakni tanggul di Teluk Palu, dan pembahasan peraturan daerah berbasis zonasi kerawanan bencana.
Pada pertengahan 2019 telah diluncurkan pelajaran terintegrasi tentang mitigasi bencana, tetapi belum efektif berjalan karena pandemi Covid-19. Penyebaran informasi dan edukasi mitigasi kepada masyarakat masih belum jelas.
Kurnia Sari (40), warga Kelurahan Lolu Utara, Kecamatan Palu Timur, mengaku tak pernah mendapatkan pengetahuan mitigasi gempa dan tsunami resmi dari pemerintah, baik sebelum maupun setelah bencana 28 September 2018.
”Selama ini, hal-hal terkait mitigasi hanya insting seperti pada gempa lalu. Kalau gempa, ya, lari keluar rumah. Selebihnya saya tidak tahu, termasuk kalau berada di pantai saat gempa terjadi,” ujarnya, Selasa (13/10/2020). Kurnia termasuk yang beruntung tak mengalami cedera saat gempa silam.
Namun, setelah dua tahun ini, tidak terlihat bencana memberi hikmah soal mitigasi.
Mitigasi yang dimaksud adalah pengetahuan untuk tanggap saat gempa terjadi, yakni jika berada di dalam rumah, masuk ke kolong meja yang kuat; tinggalkan rumah atau gedung kalau gempa lama; menjauhi pantai jika saat gempa berada di pantai.
Alih-alih membenahi prabencana dengan memperkuat mitigasi, pemerintah justru masih berkutat soal tanggap darurat dan pascabencana (rekonstruksi dan rehabilitasi). Padahal, ini momen yang tepat untuk menyandingkan tiga tahap tersebut dalam pengelolaan kebencanaan.
”Semuanya dibangun kembali, ya kotanya, ya kesadaran mitigasinya. Namun, setelah dua tahun ini, tidak terlihat bencana memberi hikmah soal mitigasi, penyiapan warga menghadapi bencana serupa di kemudian hari,” ujar pegiat literasi kebencanaan di Palu, Neni Muhidin.
Gempa berpola perulangan. Jika daerah itu pada suatu waktu dilanda gempa, bencana serupa akan datang lagi. Hingga saat ini, belum ada teknologi yang bisa memprediksi kepastian datangnya gempa. Para ahli hanya membuat pemodelan untuk mengetahui potensi dan perkiraan siklus perulangannya. Khusus di Palu, persoalannya jadi kompleks karena gempa diikuti banyak bencana susulan, seperti tsunami dan likuefaksi.
Selain penguatan pada level komunitas, bagi Neni, penyebaran informasi dan edukasi mitigasi di ruang publik bisa jadi cara efektif. Taman-taman bisa dipenuhi informasi mitigasi, baik untuk evakuasi maupun petunjuk teknis (bangunan atau rumah tahan gempa). Media sosial pemerintah juga bisa menjadi wadah untuk menyemarakkan gerakan sadar mitigasi.
”Mitigasi bencana itu soal kebiasaan yang menumbuhkan kesadaran. Makin sering orang terpapar pengetahuan mitigasi, semakin tumbuh kesadarannya. Harusnya setelah bencana lalu pemerintah bergerak ke arah itu,” ujar Neni.
Menurut dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako, Palu, yang juga pengamat kebencanaan geologi, Abdullah, pemerintah bisa merangkul tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk menyebarluaskan informasi mitigasi. Mereka secara kultural memiliki pengaruh dan massa.
”Tentu mereka dibekali pengetahuan mitigasi. Kita ingin, ke depan, masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya menjadi pusat informasi untuk mitigasi. Tokoh agama pun bisa sisipkan pesan mitigasi dalam khotbah atau ceramah mereka,” ujarnya.
Untuk mewujudkan penyebarluasan informasi dan pengetahuan mitigasi itu, lanjut Abdullah, pemimpin hasil Pilkada Kota Palu harus memiliki komitmen politik, terutama dari kebijakan anggaran. Selama ini, anggaran mitigasi yang dikelola Badan Penanggulangan Bencana Daerah sangat minim, tak lebih dari Rp 300 juta sebelum gempa. Angka itu tak berubah signifikan setelah bencana. ”Anggaran kebencanaan dikeluhkan dulu dengan sindiran hanya pas untuk menyelenggarakan doa bersama satu kali,” katanya.
Jika hal itu tak berubah ke depan, bencana yang mengorbankan banyak jiwa dan kerusakan masif fasilitas pada 28 September 2018 berlalu tanpa perubahan sikap. ”Padahal, itu pelajaran sangat mahal untuk memperkuat mitigasi,” katanya.
Baca juga : Peta Bencana Tidak Jawab Potensi Risiko
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu Singgih B Prasetyo mengatakan, pengurangan risiko bencana sering mengemuka dalam rapat-rapat bersama instansi lain di lingkup Pemerintah Kota Palu. Namun, ia sangsi dengan upaya mitigasi ke depan.
Para pasangan calon tak menyebutkan secara spesifik upaya mitigasi, seperti edukasi masyarakat, penataan kawasan permukiman yang menyisakan ruang untuk evakuasi, dan standar bangunan (building code) tahan gempa.
Sejauh ini, keempat pasangan calon membicarakan mitigasi hanya terkait pemenuhan hak-hak para penyintas yang belum selesai diurus, seperti perampungan pembangunan hunian tetap.
Absennya visi mitigasi sangat ironis. Bencana dua tahun lalu seharusnya menjadi cermin besar untuk pembenahan mitigasi. Mitigasi harus menjadi harga mati untuk Palu.
Pertarungan berwarna
Perebutan kursi 01 dan 02 di Kota Palu selalu ”ramai”. Pasangan calon jamaknya lebih dari dua paket. Hal itu terjadi pada Pilkada 2015 dengan empat pasangan calon. Kondisi itu kembali terjadi pada kontestasi 2020.
Namun, Pilkada 2020 punya ciri khas tersendiri, yakni latar belakang para pasangan calon yang bervariasi dan faktor tiga ”srikandi”. Sebelumnya, latar belakang pasangan calon berkutat hanya politisi, birokrat, hingga akademisi. Kali ini, meskipun minus akademisi, latar belakang pasangan calon lebih bervariasi.
Pasangan calon Hidayat-Habsa berlatar belakang birokrat dan politisi. Meskipun lima tahun terakhir adalah politisi (dengan posisi sebagai petahana), Hidayat sebelumnya birokrat di lingkup Pemerintah Kota Palu dan Provinsi Sulteng.
Kombinasi sama juga menempel pada pasangan Hadianto-Reny. Hadianto merupakan politisi dengan menjadi anggota DPRD Kota Palu dan Provinsi Sulteng. Dia juga berpengalaman dalam pertarungan di Pilkada Kota Palu. Terhitung dengan Pilkada 2020, Hadianto sudah tiga kali bertarung di Palu. Di pihak lain, Reny adalah birokrat tulen, mantan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng.
Sementara Imelda-Arena adalah paket pengusaha dan politisi. Arena merupakan anggota DPRD Provinsi Sulteng periode 2014-2019. Adapun pasangan Aristan-Wahyuddin memiliki kombinasi latar belakang yang unik. Wahyuddin politisi, sedangkan Aristan aktivis lingkungan yang cukup dikenal warga Palu dan Sulteng pada umumnya. Ia pernah menjadi Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulteng.
Variabel-variabel tersebut tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi pasangan calon dalam merebut hati calon pemilih.
Corak lain dari Pilkada Kota Palu adalah majunya tiga perempuan dalam kontestasi. Satu orang berposisi sebagai calon wali kota, dua lainnya menjadi calon wakil wali kota. Habsa yang berduet dengan Hidayat memang bukan orang baru dalam Pilkada Kota Palu. Ia bertarung sebagai calon wali kota pada Pilkada 2015. Waktu itu, ia bertarung sendiri sebagai ”srikandi”. Sementara Imelda dan Reny pendatang baru dalam kontestasi.
Kehadiran ketiganya dalam satu arena pertarungan politik termasuk hal baru dan menarik di Kota Palu dan Sulteng umumnya. Kontestasi selama ini masih didominasi laki-laki.
Atribusi dan variabel tersebut tentu menjadi pertimbangan tersendiri bagi pemilih, selain visi-misi setiap pasangan calon. Yang mana yang mendominasi pertimbangan calon pemilih akan ditentukan di bilik suara pada 9 Desember 2020.
Baca juga : Petahana Kota Palu Mendaftar pada Hari Pertama