Darurat Perlindungan Anak dan Perempuan di Aceh
Rangkaian kasus kekerasan seksual, perdagangan anak, hingga pembunuhan dalam dua bulan terakhir menjadi potret suram perlindungan anak dan perempuan di Aceh.
Kasus pemerkosaan, pembunuhan, dan perdagangan anak yang terjadi di Provinsi Aceh sepanjang September-Oktober 2020 sangat menyesakkan dada. Seharusnya ini menjadi tamparan bagi semua orang bahwa selama ini kita telah gagal melindungi perempuan dan anak.
Peristiwa pilu pertama tersiar dari Kabupaten Aceh Timur. Seorang ibu rumah tangga DN (28) diperkosa oleh SB (41). Semakin menyedihkan, SB juga membunuh RG (9), anak DN. Pelaku dan korban tinggal di desa yang sama.
SB adalah residivis kasus pembunuhan yang dibebaskan oleh negara dengan dalih mencegah penyebaran virus korona baru di dalam penjara. Padahal, SB belum tuntas menjalani hukuman. Beberapa bulan setelah menghirup udara bebas, lelaki pengangguran itu malah kembali membunuh dan bahkan memerkosa.
Peristiwa itu terjadi pada Sabtu, 10 Oktober 2020, pukul 01.00. Di rumah dari papan di tengah kebun sawit, DN tinggal bersama RG, sementara suaminya sedang melaut. Pelaku tahu korban malam itu hanya bersama anak. Pelaku mencongkel pintu rumah lalu memukul dan memerkosa korban.
RG berusaha melepaskan ibunya dari cengkeraman pelaku. Padahal, saat itu DN meminta anaknya lari mencari pertolongan warga. Namun, RG tetap berusaha melindungi ibunya. Hingga akhirnya dia ambruk ditebas dengan parang oleh pelaku. Jasad RG dibuang ke sungai oleh pelaku.
Baca juga : Hentikan Kekerasan terhadap Anak
Empati saja tidak cukup. Kalau sebatas empati, esoknya kita lupa dan tersadar kembali saat terjadi kasus lain. Sekarang yang diperlukan aksi nyata. (Riswati)
Keesokan harinya, pelaku ditangkap polisi dan kini ditahan di Polres Kota Langsa. SB diancam hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati.
Kasus pemerkosaan dan pembunuhan di Aceh Timur terjadi selang dua pekan dari kasus pencabulan terhadap dua anak laki-laki berusia 8 tahun di Banda Aceh. Korban dicabuli oleh tiga pelaku dewasa, yakni TR (49), RD (34), dan RR (20).
Bukan hanya pelecehan seksual, korban juga mengalami kekerasan fisik. Mulut korban diplakban, tangan diikat, dan kaki dipelintir. Korban diancam dibunuh jika melawan. Kepolisian Resor Banda Aceh telah menangkap ketiga pelaku pencabulan. Namun, korban masih trauma hingga kini.
Saat kedua kasus itu sedang ditangani polisi, kasus lainnya juga terbongkar di Kabupaten Pidie. Dua anak perempuan berusia 14 tahun dan 15 tahun diperdagangkan untuk kepentingan seksual oleh mucikari. Sekali transaksi dibayar Rp 200.000-Rp 500.000.
Ironisnya, sebelum kasus perdagangan anak diungkap, kedua anak tersebut melakukan seks bebas, saling tukar pasangan dengan empat temannya yang lain sesama di bawah umur.
Tiga tersangka pelaku perdagangan anak itu telah ditangkap polisi pada Selasa, 13 Oktober 2020. Sementara anak didampingi oleh psikolog dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Pidie.
Baca juga : Pemerkosaan Anak, Dia Menyesal Setelah Ditangkap
Ketiga kasus itu hanya sedikit dari sekian banyak kasus yang terbongkar. Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh terus berulang. Jenis kekerasan beragam, seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, perdagangan orang, kekerasan fisik, dan eksploitasi untuk ekonomi.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, sejak 2017 hingga 2019, kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 2.692 kasus. Sementara kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2017-2019 sebanyak 3.107 kasus.
Empati saja tak cukup
Direktur Flower Aceh, lembaga yang bergerak dalam isu perempuan dan anak, Riswati mengatakan, belakangan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Aceh sangat menguras air mata. ”Kenapa semua kasus tragis ini terjadi di Aceh,” kata Riswati.
Menurut Riswati, tiga kasus itu membuat banyak orang merasa empati, sedih, dan marah kepada pelaku. Pada Kamis, 15 Oktober 2020, di lini masa Twitter nama RG menjadi tanda pagar populer. Semua orang merasa iba terhadap korban dan marah kepada pelaku.
Sementara di Aceh para pihak mengeluarkan pandangan terhadap kasus-kasus tersebut, mulai dari politisi, akademisi, pemerintah, hingga aktivis perempuan. Umumnya mereka mendesak polisi menjatuhkan hukuman berat dan mengajak warga untuk lebih peduli kepada korban.
Baca juga : Sebanyak 225 Anak Aceh Jadi Korban Pemerkosaan
”Empati saja tidak cukup. Kalau sebatas empati, esoknya kita lupa dan tersadar kembali saat terjadi kasus lain. Sekarang yang diperlukan aksi nyata,” kata Riswati.
Ia menambahkan, sejauh ini komitmen kepala daerah di kabupaten/kota di Aceh untuk melindungi perempuan dan anak hanya sebatas narasi, belum pada aksi. ”Jika mereka melindungi, berikan anggaran yang memadai, buat mekanisme perlindungan, sediakan psikolog, dan kebijakan lain,” ucap Riswati.
Ketiga kasus tersebut, menurut dia, seharusnya menjadi tamparan keras bagi para pihak untuk beraksi melindungi perempuan dan anak. Jika dengan kasus ini tidak lahir kebijakan memperkuat perlindungan, ia pesimistis perempuan dan anak Aceh akan terlindungi.
”Kasus ini preseden buruk, tetapi juga harus jadi momentum untuk memperkuat perlindungan. Jangan biarkan perempuan dan anak Aceh menjadi korban selanjutnya,” kata Riswati.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh Nevi Ariani mengatakan dukungan kepada daerah melalui kebijakan dan alokasi anggaran yang cukup sangat dibutuhkan. Selama ini dinas terkait di kabupaten/kota tidak memiliki anggaran yang cukup untuk melindungi dan mendampingi korban.
Kasus yang muncul hanya permukaan saja. Saya yakin masih banyak kasus yang tidak terungkap. (Nevi Ariani)
”Kasus yang muncul hanya permukaan saja. Saya yakin masih banyak kasus yang tidak terungkap,” ujar Nevi.
Revisi Qanun Jinayah
Kepala Pusat Riset Gender Universitas Syiah Kuala Nursiti menilai, hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Aceh belum sepenuhnya memberikan keadilan bagi korban.
Dalam beberapa kasus, pelaku dijerat menggunakan Qanun/Perda Jinayah dengan hukuman cambuk. Setelah dicambuk, pelaku dibebaskan. Sementara bagi korban, trauma membekas sepanjang waktu.
Di Aceh, tidak semua kasus kekerasan seksual terhadap anak, penindakan hukumnya menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Sebagian pelaku dijerat dengan Qanun Jinayah. Perbedaan hukumannya, Qanun Jinayah berupa hukuman cambuk/denda/kurungan, sementara dalam UU Perlindungan Anak dengan hukuman penjara.
Menurut Nursiti, dualisme regulasi membuat sebagian pelaku hanya dihukum ringan, yakni cambuk. Nursiti berharap qanun tersebut direvisi dengan mengeluarkan pasal tentang kekerasan seksual pada anak.
Berdasarkan wawancara Nursiti terhadap salah seorang terdakwa pelaku kejahatan seksual yang dihukum cambuk, pelaku justru bersyukur jika mendapat hukuman cambuk. ”Dia merasa sangat bahagia karena hanya dicambuk sebab setelah dicambuk kembali bebas,” kata Nursiti. Justru korban pemerkosaan terpaksa pindah dari kampung tersebut karena trauma setiap kali melihat pelaku.
Baca juga : Kasus Kekerasan Tinggi, Anak Belum Terlindungi
Angota Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Aceh, Firdaus Nyak Idin, mengatakan keluarga harus maksimal melindungi anak. Selain itu, aparatur desa sebagai pemerintahan terkecil seharusnya memiliki kebijakan dan mekanisme perlindungan terhadap anak. ”Jangan tunggu anak Anda menjadi korban baru bergerak,” ujar Firdaus.
Jangan tunggu anak Anda menjadi korban baru bergerak. (Firdaus Nyak Idin)