Polres Cirebon Kota Dinilai Belum Jamin Kemerdekaan Pers
Kepolisian Resor Cirebon Kota, Jawa Barat, dinilai belum menjamin kemerdekaan pers, seperti keterbukaan informasi dan keselamatan jurnalis saat meliput. Padahal, undang-undang melindungi kerja pers.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Kepolisian Resor Cirebon Kota, Jawa Barat, dinilai belum menjamin kemerdekaan pers, seperti keterbukaan informasi dan keselamatan jurnalis saat meliput. Padahal, undang-undang melindungi kerja pers yang termasuk dalam pilar keempat demokrasi.
Pandangan tersebut disuarakan Solidaritas Jurnalis Anti-Kekerasan (Sajak). Sajak merupakan gabungan organisasi wartawan, seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Cirebon Raya, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cirebon, Serikat Media Siber Indonesia Cirebon (SMSI), dan Ikatan Wartawan Online (IWO) Cirebon.
Menurut koordinator Sajak, Faizal Nurathman, salah seorang jurnalis televisi di Cirebon diduga mengalami intimidasi oleh oknum aparat yang memaksa menghapus rekaman video kekerasan polisi saat aksi penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, Kamis (8/10/2020). ”Ini bukti tidak ada jaminan keamanan terhadap jurnalis,” ujarnya, Jumat (16/10/2020).
Sajak telah menuntut Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Syamsul Huda agar mengusut kasus tersebut dan menjamin keamanan wartawan saat meliput. Tuntutan tersebut disuarakan dalam unjuk rasa di depan Markas Polres Cirebon Kota, Senin (12/10/2020). Namun, kala itu, kapolres tidak menemui massa.
Jurnalis juga mempertanyakan penanganan Polres Cirebon Kota dalam aksi penolakaan RUU Cipta Kerja yang diduga tidak humanis. Anggota DPR, Fadli Zon, melalui akun Twitter-nya, bahkan menilai cara Polres Cirebon Kota, yang menjemur peserta aksi tanpa pakaian sambil tiduran di aspal, tidak manusiawi.
Pada Kamis (15/10/2020), Sajak mengundang Kapolres untuk berdiskusi terkait problem tersebut. Namun, lagi-lagi, Syamsul Huda tidak hadir dan hanya diwakilkan Kepala Subbagian Humas Polres Cirebon Kota Inspektur Dua Ngatija. ”Kami beritikad baik memberikan ruang untuk menjelaskan. Tetapi, tampaknya, Kapolres tidak ingin menyelesaikannya,” ucap Faisal.
Menurut dia, ketidakhadiran kapolres dalam aksi dan diskusi yang digelar Sajak menunjukkan, aparat belum menjamin keterbukaan informasi dan keselamatan jurnalis. Padahal, hal tersebut dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ketua IWO Cirebon Muslimin mengungkapkan, selama delapan bulan menjabat kapolres, Syamsul baru sekali menggelar konferensi pers terkait pengungkapan kasus. Padahal, pihak jurnalis sudah berupaya meminta konfirmasi terkait sejumlah kasus kriminal kepada kapolres dan jajarannya.
”Tetapi, tidak direspons. Ada yang dijawab, tetapi dua atau tiga hari setelah peristiwa. Padahal, masyarakat perlu tahu bagaimana situasi keamanan kota,” katanya. Oleh karena itu, Sajak berencana menggelar unjuk rasa lagi agar Polres Cirebon Kota menjamin keterbukaan informasi dan keamanan jurnalis saat meliput.
Jurnalis tidak meminta uang atau data intelijen dari polisi. Mereka hanya ingin mengonfirmasi peristiwa. (Abdul Jalil Hermawan)
Kasubag Humas Polres Cirebon Kota Ngatija menampik anggapan pihaknya menutup informasi terhadap publik. ”Saya belum pernah tidak balas WA (Whatsapp) atau telepon dari wartawan. Semua saya balas. Silakan mencerca, tetapi polisi sudah humanis,” katanya.
Abdul Jalil Hermawan, pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, menilai, ada persoalan komunikasi antara Polres Cirebon Kota dan jurnalis. ”Jurnalis tidak meminta uang atau data intelijen dari polisi. Mereka hanya ingin mengonfirmasi peristiwa. Komunikasi perlu dibangun lagi,” katanya.