Perumahan Dibangun di Dekat Mata Air, Warga Kirim Surat ke Pemkab Malang
Warga di Kabupaten Malang, Jawa Timur, protes pembangunan perumahan di dekat mata air. Pembangunan itu dikhawatirkan merusak sumber air.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Khawatir kondisi lingkungan terganggu akibat pembangunan perumahan di dekat sumber air, perwakilan warga Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang mengatasnamakan diri Aliansi Peduli Umbulan, mengirim surat ke Pemerintah Kabupaten Malang, Jumat (16/10/2020).
Ada tiga poin yang mereka sampaikan dalam surat tersebut, yakni pertama, meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang mengeluarkan surat perintah pembongkaran bangunan karena pihak pengembang belum bisa menunjukkan izin mendirikan bangunan.
Kedua, meminta agar pemkab menghentikan seluruh aktivitas pembangunan perumahan yang berada di dekat mata air Umbulan. Ketiga, mereka meminta Pemkab memberikan sanksi tegas terhadap pengembang untuk melakukan restorasi dan pemulihan lingkungan di sekitar mata air dalam radius 200 meter.
Ketua Aliansi Peduli Umbulan sekaligus anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Ngenep, Suwardi, mengatakan, berdasarkan aturan, jarak bangunan dari sumber air semestinya 200 meter. Namun, jarak Umbulan dengan titik terluar perumahan itu hanya 6 meter.
”Sebetulnya tidak apa-apa ada perumahan. Namun, masalahnya, mereka belum mengantongi izin. Izin yang diterima pemerintah desa (2020) adalah izin memasukkan alat berat. Tanpa ada koordinasi lanjutan, pengembang sudah melakukan perataan tanah, pembuatan kavling, sampai rumah contoh,” ujar Suwardi di sela-sela mengirim surat ke Sekretariat Daerah Kabupaten Malang.
Ada beberapa elemen peduli lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Peduli Umbulan, di antaranya Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur, Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Pos Malang, Malang Corruption Watch, Sindikat Askata, KIH 012 Regional Malang, dan masyarakat Desa Ngenep.
Tanpa ada koordinasi lanjutan, pengembang sudah melakukan perataan tanah, pembuatan kavling, sampai rumah contoh.
Menurut Suwandi, lahan di dekat bakal perumahan itu merupakan kawasan lindung yang di dalamnya ada mata air. Selama ini, sumber air tersebut dimanfaatkan untuk irigasi serta Perusahaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas). Ada 400 keluarga yang memanfaatkan air Pamsimas.
Sebelum mengirim surat, penolakan dilakukan warga dengan membentangkan spanduk berisi tanda tangan. Komisi III DPRD Kabupaten Malang juga sudah turun ke lokasi meninjau masalah ini.
”Tanggal 3 Oktober lalu, pihak pengembang yang diwakili kuasa hukum, disaksikan kepala desa, BPD, dan warga menyatakan sikap menghentikan sementara pembangunan sampai izin dari pemkab keluar,” katanya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malang Bachrudin belum bisa dihubungi terkait masalah ini, baik melalui telepon maupun pesan singkat (SMS).
Dihubungi secara terpisah, Manajer Pemasaran PT Taman Tirta Ruli, selaku pihak pengembang, mengatakan, lokasi perumahan di dalam informasi pemanfaatan ruang (IPR) yang dikeluarkan oleh Pemkab Malang, dalam hal ini pihak Cipta Karya, merupakan lahan kuning atau lahan untuk perumahan.
”Jadi, otomatis, kalau sudah ada IPR, sudah mengetahui kami kalau lahan itu boleh untuk perumahan. Jadi, bukan lahan sawah, bukan lahan industri, melainkan kawasan permukiman,” ujarnya.
Selanjutnya, menurut Ruli, pihaknya juga sudah melakukan pertimbangan teknis di BPN. BPN, kata Ruli, juga melihat bahwa lahan tersebut merupakan lahan permukiman sehingga akhirnya pertimbangan teknis untuk perumahan baru tersebut dikeluarkan.
”Selain itu, izin lokasi dari Pemkab juga sudah turun. Izin lokasi menyetujui kalau lokasi tersebut lahan permukiman. Secara otomatis dengan poin-poin tadi berarti bisa untuk perumahan. Kalau masalah IMB dan lainnya, semua masih proses. Jadi proses legalitasnya bertahap,” katanya.
Adapun rumah yang sudah terbangun, menurut Ruli itu adalah rumah contoh. Pengembang membutuhkan rumah contoh untuk berjualan.
Disinggung soal sumber air, Ruli mengatakan, pihaknya belum bisa fokus ke sana karena di lokasi tersebut juga ditemukan situs diduga benda cagar budaya. Saat ini situs itu tengah dalam proses ekskavasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur.
”Nanti kalau situsnya sudah jelas, bagaimana penetapannya (oleh BPCB) baru kita bicara soal sumber air. Sebab, di situ juga ada kepentingan negara tentang masalah situs. Berapa zonanya yang boleh menjadi perumahan, ya, nanti akan kami ikuti,” katanya.