La Nina Landa Indonesia, Daerah Perbukitan Jabar Terancam Longsor
Potensi bencana pergerakan tanah atau longsor di Jabar sangat tinggi, mencapai 25 persen dari 800 kejadian nasional per tahunnya. La Nina yang melanda tahun ini menjadi peringatan untuk meningkatkan mitigasi di Jabar.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Ancaman bencana longsor akibat curah hujan tinggi sebagai dampak La Nina harus diwaspadai di wilayah berkontur perbukitan di Jawa Barat. Daerah dengan kemiringan lebih dari 30 derajat dan mengalami alih fungsi lahan diminta memperkuat koordinasi mitigasi bencana.
Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Agus Budianto, di Bandung, Jumat (16/10/2020), memaparkan, zona merah dengan potensi gerakan tanah di Indonesia mencapai lebih dari 800 titik per tahunnya. Kawasan rawan bencana tersebut ditandai dengan kemiringan ekstrem dan perubahan fungsi lahan di bagian hulu aliran sungai.
”Dalam tiga tahun terakhir, setiap tahunnya minimal ada 800 kejadian (gerakan tanah). Potensi penambahan zona rawan bencana dapat terjadi karena sifat air yang membawa material ketika mengalami pergeseran. Bisa saja zona hijau di bawahnya terdampak jika daerah itu dilewati aliran dari hulu,” katanya.
Agus berujar 25 persen dari total kejadian tersebut berasal dari Jabar sehingga provinsi ini menjadi salah satu daerah dengan ancaman gerakan tanah tertinggi di Indonesia. Daerah potensial tersebut berada di Jabar selatan, di antaranya Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya.
Ancaman gerakan tanah ini diperparah dengan curah hujan yang tinggi akibat fenomena La Nina. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat peningkatan curah hujan terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia pada Oktober-November. Catatan historis menunjukkan La Nina berdampak pada peningkatan akumulasi curah hujan hingga 40 persen di Indonesia.
”Wilayah-wilayah ini memiliki karakteristik perbukitan dengan permukiman yang berada di daerah curam. Karena itu, warga yang tinggal di daerah itu lebih meningkatkan kewaspadaan. Apalagi, daerah-daerah yang telah mengalami alih fungsi lahan,” ujarnya.
Peningkatan curah hujan ini pun memicu bencana banjir dan longsor di daerah Sukabumi, Garut dan Tasikmalaya. Di Sukabumi, 500 jiwa dari 11 desa di Kecamatan Cicurug, Cidahu, dan Kecamatan Parung Panjang terdampak banjir bandang pada Senin (12/9/2020). Banjir bandang ini juga menelan tiga korban jiwa.
Sebulan kemudian, banjir bandang dan longsor juga terjadi di Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, banjir bandang melanda 20 desa di Kecamatan Pameungpeuk, Cikalet, dan Cibalong dihantam banjir bandang, Senin (12/10/2020). Sebanyak lebih dari 9.000 penduduk terdampak dan 600 warga di antaranya terpaksa mengungsi.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo menyatakan, kewaspadaan daerah rawan bencana tidak hanya menjadi perhatian bagi Jabar. Hampir seluruh wilayah di Indonesia memiliki potensi bencana hidrometeorologi sebagai dampak dari La Nina.
Di samping itu, Doni berujar, pihaknya akan menjalin komunikasi dan koordinasi dengan instansi terkait untuk mendata kerusakan lingkungan dan perubahan fungsi lahan daerah-daerah hulu aliran sungai. Data tersebut akan menjadi gambaran awal dalam mempersiapkan mitigasi di aliran sungai yang berpotensi bencana longsor dan banjir bandang.
”Kami akan membentuk tim gabungan untuk memonitor hulu. Dengan informasi itu, masyarakat di sepanjang sungai diminta untuk waspada dan memonitor curah hujan dari dulu. Langkah antisipasi ini dilakukan sebagai mitigasi dari awal,” tuturnya.