Jalan Naik-Turun Peternak Ayam Petelur di Blitar
Peternakan rakyat ada di Blitar sejak akhir tahun 1960-an dan berkembang hingga kini. Selama itu pula jalan panjang dilalui peternak yang tak selalu rata dan mulus.

Peternak ayam petelur (layer) di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Jumat (9/10/2020), meratakan pakan ayam di kandang miliknya.
Beberapa hari terakhir, harga telur di tingkat peternak ayam petelur (layer) di Blitar, Jawa Timur, naik hingga kisaran Rp 16.000-Rp 17.000 per kilogram dari sebelumnya Rp 15.000 per kg. Kenaikan ini disambut baik dan diharapkan terus konsisten, tidak kembali anjlok hingga di bawah harga produksi.
Atas kondisi saat ini, perwakilan peternak ayam petelur telah mengadukannya ke sejumlah pihak di kota sentra peternakan ayam layer itu, seperti pemerintah kabupaten dan DPRD Blitar. Bahkan, mereka juga mengirimkan surat ke Kementerian Pertanian, dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH).
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, penyebab turunnya harga kali ini diduga karena dua faktor. Pertama, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta. Maklum, selama ini 60-70 persen telur dari Blitar dikirim ke wilayah Jabodetabek. Setidaknya dua kali harga telur asal Blitar anjlok sepanjang 2020, yakni awal pandemi (PSBB pertama) dan kali ini (PSBB kedua).
Faktor kedua, diduga ada kaitannya dengan Surat Edaran (SE) Dirjen PKH Nomor 09246/SE/PK.230/F/08/2020 tentang stabilisasi pasokan dan pembatasan telur tetas. SE Dirjen PKH yang membolehkan telur tetas (HE) digunakan sebagai program CSR perusahaan tersebut membuat pasar berlimpah stok telur, yang direspons rendahnya harga.

Widodo Setiohadi (62), salah satu peternak ayam layer di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Jumat (9/10/2020), tengah meratakan pakan ayam di kandang miliknya.
Peternak berteriak karena harga kali ini menjadi Rp 15.000 per kg. Titik impas peternak pada harga Rp 17.000 per kg. Selain itu, sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020, harga telur di pasaran ditetapkan sebesar Rp 19.000-Rp 21.000 per kg.
Mengikuti gejolak harga beberapa tahun terakhir, harga telur dari Blitar pernah anjlok cukup dalam pada tahun 2017 hingga kisaran Rp 13.000 per kg. Maraknya telur breeding (infertile) di pasaran kala itu dituding menjadi salah satu penyebab harga telur rendah berbulan-bulan, termasuk pada bulan Ramadhan hingga Lebaran, saat peternak seharusnya menikmati harga seiring permintaan telur yang melonjak.
Banyak di antara peternak yang kemudian mengosongkan kandang lantaran tidak menguntungkan dan tidak mampu lagi membeli pakan. Cara itu juga dilakukan untuk menghindari turunnya produksi, baik secara kuantitas maupun kualitas. Kualitas telur yang sudah turun sulit dinaikkan kembali dalam waktu singkat.

Ribuan peternak ayam petelur di Kabupaten dan Kota Blitar, Jawa Timur, awal Maret 2017, melakukan doa keprihatinan atas rendahnya harga telur di Pendopo Pemerintah Kabupaten Blitar di Kanigoro. Hadir pula perwakilan peternak dari Malang dan Yogyakarta.
Peternak pun ramai-ramai menjual ayam hidup yang belum waktunya afkir (kurang produktif) sebagai solusi. Akibatnya, populasi ayam layer di Blitar saat itu berkurang 1 juta-2 juta ekor atau 10-20 persen dari populasi awal tahun 2017 sebesar 15 juta ekor.
Menyikapi kondisi yang ada, peternak beberapa kali menggelar unjuk rasa di kantor Pemerintah Kabupaten Blitar. Tidak tanggung-tanggung, sejumlah peternak dari luar daerah, seperti Malang dan Yogyakarta, ikut berpartisipasi dalam aksi itu. Pemerintah pusat turun tangan menangani permasalahan ini.
Setelah harga normal, gejolak di kalangan peternak kembali terjadi pada akhir 2018. Kali ini, bukan harga telur rendah yang menjadi persoalan, melainkan persediaan pakan jagung sebagai salah satu pakan utama selain konsentrat yang langka di pasaran.

Tumpukan telur ayam yang baru dipungut dari kandang milik salah satu peternak di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Jumat (10/10/2020).
Pemerintah pusat pun kembali turun tangan dengan memfasilitasi penyediaan jagung. Dirjen PKH kala itu, I Ketut Diarmitra, kembali harus hilir mudik ke Blitar dan daerah lain demi memfasilitasi peternak. Kerja sama Pemkab Blitar dengan daerah sentra jagung akhirnya dijalin.
Tidak hanya kerja sama, bantuan peralatan pengeringan jagung juga diberikan pemerintah pusat. Maklum, kebutuhan jagung peternak Blitar mencapai 1.000 ton per hari. Produksi jagung Blitar sebanyak 312.385 ton (2017).
Di luar harga rendah dan persoalan kurang pakan, nasib baik pernah mewarnai hari-hari peternak di Blitar tatkala harga telur melambung di atas ketentuan Permendag No 7/2020. Pertengahan 2018, misalnya, harga telur pernah mencapai Rp 24.800 per kg di tingkat peternak. Giliran konsumen yang dibuat pusing.
Harga telur di tingkat peternak di Blitar selalu lebih rendah dari daerah lain. Penyebabnya, pasokan telur di Blitar melimpah sehingga persaingan antarpeternak lebih ketat. (Halim Natsir)
Wakil Dekan I Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, Muhammad Halim Natsir, Sabtu (10/10/2020), mengatakan, dalam kondisi normal, naik-turunnya harga telur di tingkat peternak lebih disebabkan dinamika permintaan dan pasokan. Pada bulan-bulan tertentu, permintaan terkadang turun ketika pasokan melimpah.
”Itu adalah hal yang wajar. Semua peternak sudah menyadari bahwa ada suatu siklus pasti kapan mereka akan untung dan kapan rugi,” ujarnya.
Akan tetapi, lanjut Halim, saat ini peternak di Blitar juga menghadapi masalah lain (di luar siklus) yang terkait dengan SE Dirjen PKH. SE yang keluar bulan Agustus 2020 itu sebenarnya ditujukan untuk breeder demi menjaga keseimbangan harga ayam pedaging. Waktu itu harga ayam potong sangat rendah dan SE diterbitkan untuk menyeimbangkannya.
”Namun, SE jadi bumerang karena tidak bisa dikontrol dengan baik dan dilaksanakan oleh semua pihak. Telur infertile diperbolehkan untuk CSR. Aturannya memang tidak boleh dijualbelikan. Hanya saja, kita tidak bisa mengontrol apakah ada jual beli? Atau mungkin perusahaan benar membuat CSR, tetapi masyarakat yang menerima kemudian menjual lagi telur itu,” katanya.

Rak berisi telur yang baru dipungut dari kandang milik salah satu peternak di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jumat (9/10/2020).
Baca juga : Pemerintah Siapkan Solusi Permanen Peternakan
Di luar masalah ini, menurut Halim, harga telur di tingkat peternak di Blitar selalu lebih rendah dari daerah lain. Ia mencontohkan harga telur di Blitar dan Malang yang selisih beberapa ratus rupiah. Penyebabnya, pasokan telur di Blitar melimpah sehingga persaingan antarpeternak lebih ketat.
Oleh karena itu, alternatif pasar telur dari Blitar perlu dibuka. Tidak bisa sebatas mengandalkan pasar yang sudah ada. ”Selain itu, kelompok peternak atau koperasi di Blitar sudah seharusnya berbicara bagaimana produk ke hulu, misalnya bagaimana menjadikan tepung telur guna mengatasi saat pasokan melimpah,” katanya.

Rak berisi telur yang baru dipungut dari kandang milik salah satu peternak di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jumat (9/10/2020).
Sejarah panjang
Unggas dan Blitar adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Unggas merupakan salah satu potensi kabupaten di sisi selatan Gunung Kelud dan barat daya Gunung Kawi itu.
Usaha peternakan rakyat sudah ada sejak akhir tahun 1960-an dan berkembang sampai sekarang. Selama itu pula jalan panjang yang dilalui peternak tidak selamanya rata dan mulus. Krisis moneter 1998, misalnya, menjadi salah satu masa terberat yang pernah dihadapi peternak. Kala itu, harga telur dan ayam hidup sangat rendah. Banyak peternak mengosongkan kandang daripada terus merugi.
Wakil Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) Blitar Sukarman menceritakan, munculnya peternakan di Blitar salah satunya tidak bisa dilepaskan dari letusan Kelud. Material erupsi Kelud tahun 1966 menutup sebagian wilayah utara Kabupaten Blitar, seperti Kecamatan Ponggok, Nglegok, dan Penataran. Pada abad ke-20-21, Kelud meletus tahun 1901, 1919, 1951, 1966, 1990, 2007, dan 2014.
”Erupsi banyak membuat lahan yang tadinya berisi tanaman berubah menjadi lahan-lahan kosong akibat tertutup lahar. Karena lahan kosong dan cukup luas, warga desa memanfaatkan lahan yang ada untuk beternak ayam,” ujar Sukarman yang tinggal di Desa Dadaplangu, Kecamatan Ponggok.
Baca juga : Pemerintah Siapkan Solusi Permanen Peternakan

Pekerja menyelesaikan pembangunan kandang ayam milik Cipto (60-an), salah satu peternak ayam petelur di Desa Potgajih, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Awalnya, menurut Sukarman, hanya ada 1-2 peternak yang membudidayakan ayam dengan jumlah terbatas. Lama-kelamaan warga lain turut mendirikan kandang yang akhirnya meluas ke daerah lain, termasuk di Blitar selatan yang jauh dari gunung. Etos warga Blitar yang ulet menyokong upaya itu.
”Daerah lain yang berdekatan dengan Kelud, seperti Kediri, juga ada yang mengembangkan peternakan. Namun, jumlah populasi ayamnya tidak sebanyak Blitar. Di sini warganya suka bekerja keras sehingga menjadi faktor pendukung,” ucapnya.
Sukarman sendiri memiliki 10.000 ekor ayam dengan pangsa pasar Jabodetabek dan Kalimantan. Dalam kondisi normal, sekali dalam sepekan, ia bisa mengirim 25 ton ke Kalimantan Timur (tidak rutin) dan 12 ton ke Jakarta.
”Saat di bangku SMP, saya sudah ikut paman generasi pertama budidaya ayam. Sepulang sekolah, saya membantu di kandang. Kalau malam mengurusi anakan ayam pakai petromaks karena saat itu belum ada listrik,” tuturnya.
[video width="1920" height="1080" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2020/10/20201010WER-Video-peternak-memungut-telur-ayam.mp4"][/video]
Peternak lainnya di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Widodo Setyohadi (62), mengatakan, kondisi alam di Blitar cocok untuk beternak, selain jumlah lapangan kerja di sektor formal yang terbatas. Di Pohgajih, misalnya, daerahnya berupa perbukitan yang kurang menguntungkan jika dipakai untuk pertanian.
Widodo memilih menjadi peternak setelah pensiun dari pekerjaannya di sektor swasta. ”Tahun 2011 saya mulai mendirikan kandang. Saya orang pertama di desa ini yang beternak ayam petelur. Saat ini jumlah peternak di desa saya 19 orang dengan populasi ayam 1.000-7.000 ekor per orang,” katanya.
Menurut Halim Natsir, setidaknya ada dua faktor penyebab dunia peternakan berkembang. Pertama, faktor turun-temurun. Kedua, terkait suhu udara. Telur yang dihasilkan—di kandang terbuka—di daerah bersuhu panas berbeda dengan daerah suhu dingin. ”Suhu memengaruhi ketebalan dan warna cangkang. Nah, suhu di Blitar cocok,” ujarnya.
Saat ini diperkirakan ada sekitar 4.500 peternak ayam layer di Blitar, belum termasuk ayam potong, ayam kampung, dan bebek. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, populasi ayam layer di Blitar tahun 2018 mencapai 16,8 juta ekor, ayam kampung 2,6 juta ekor, ayam potong 4 juta ekor, dan itik 1,1 juta ekor.
Adapun produksi telur ayam layer Blitar (data BPS 2017) mencapai 155.000 ton dari total produksi telur di Jawa Timur sebesar 455.810 ton. Angka yang dihasilkan Blitar lebih tinggi dari daerah lain di sekitarnya, seperti Kabupaten Kediri 80.000 ton, Tulungagung 41.000 ton, dan Malang 40.000 ton.

Pemkab Blitar telah melakukan sejumlah upaya untuk membantu peternak. Langkah itu dilakukan dengan menjembatani penyediaan pakan, pencarian pasar baru, menjadi fasilitator saat peternak dibelit persoalan, dan membeli telur dari peternak untuk program sosial.
Upaya terbaru, misalnya, pertengahan September lalu Pemkab Blitar menjalin nota kesepahaman dengan Pemerintah Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, dalam rangka pengiriman telur ke daerah itu.
Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blitar Adi Andaka mengatakan, pihaknya berusaha mencarikan pasar baru ke wilayah timur. Sebab, pasar di sisi barat sudah terbentuk. ”Di wilayah barat mereka sudah punya jaringan, sedangkan ke arah timur masih ada kendala. Salah satunya soal infrastruktur,” ucapnya.
Begitulah. Jalan panjang lintas generasi telah dilalui para peternak ayam petelur di kaki Kelud. Tidak hanya panjang, tetapi juga berliku dan naik-turun sebagaimana kontur kaki pegunungan.
Pengalaman dan rintangan yang menghadang peternak selama puluhan tahun kiranya bisa menjadi modal terus bertahan dan mengembangkan diri. Bersama mereka, tentu saja ada pemerintah sebagai regulator dan fasilitator demi kesejahteraan warga.
[video width="1920" height="1080" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2020/10/20201010wer-Video-Petenak-Memberi-Pakan-Ayam.mp4"][/video]
Baca juga : Peternak Blitar Mengeluh Harga Telur Anjlok