Diprediksi Surplus Beras, Sumsel Masih Layak Berstatus Lumbung Pangan
Produksi komoditas pangan di wilayah Sumatera Selatan diprediksi meningkat. Bahkan, berdasarkan metode kerangka sampel area, produksi padi di Sumsel hingga akhir 2020 diperkirakan mencapai 2,69 juta ton.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Meski dalam situasi pandemi, produksi komoditas pangan, terutama beras, di wilayah Sumatera Selatan diprediksi meningkat. Bahkan, Sumsel diperkirakan masih akan surplus beras. Salah satu strategi untuk lebih meningkatkan produksi melalui ekstensifikasi dengan memanfaatkan lahan rawa.
Berdasarkan metode kerangka sampel area (KSA), produksi padi di Sumsel hingga akhir 2020 bisa mencapai 2,69 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik tipis dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni 2,60 juta ton GKG. Jika dikonversi, produksi beras di Sumsel hingga akhir 2020 diperkirakan mencapai 1,54 juta ton atau meningkat 3,59 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, 1,49 juta ton. Dengan angka ini, Sumsel masih pantas dijuluki lumbung pangan di kawasan Sumatera, bahkan nasional.
Hal ini mengemuka dalam diskusi virtual yang digelar Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel dengan tema ”Peta Potensi Pangan Strategis Sumsel: Mengamankan Lumbung Pangan di Masa Pandemi”, Jumat (16/10/2020). Turut serta dalam diskusi tersebut, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Badan Pusat Statistik (BPS) Kadarmanto, serta Ketua Forum Masyarakat Statistik Bustanul Arifin.
Kadarmanto menuturkan, pada periode Januari-September 2020, produksi padi di Sumsel hanya sekitar 2,32 juta ton GKG atau menurun ketimbang periode sama tahun lalu sekitar 2,42 GKG. Penurunan ini disebabkan keterlambatan masa tanam akibat kemarau berkepanjangan pada 2019. Kala itu, di awal tahun, luas lahan panen di Sumsel tidak mencapai 100.000 hektar.
Namun, kini kondisi sudah mulai membaik, terutama pascapanen raya pada Maret 2020 saat Sumsel memproduksi padi 542.380 ton GKG. Jumlah ini meningkat ketimbang periode Maret 2019 sebesar 452.380 GKG. Kondisi ini berlanjut hingga Mei 2019. Bahkan, pada periode tiga bulan itu, produksi padi di Sumsel tertinggi dibandingkan dengan periode sama dua tahun sebelumnya.
Kadarmanto memperkirakan, produksi padi di Sumsel akan terus meningkat hingga akhir tahun dipacu lonjakan luas lahan panen di Sumsel dari 539.316 hektar (ha) pada 2019 menjadi 551.242 ha hingga akhir 2020. Dengan begitu, hingga akhir 2020, Sumsel masih berpotensi menjadi provinsi lumbung pangan nasional selain Jawa Timur yang diprediksi memproduksi padi sekitar 10,02 juta ton GKG, Jawa Tengah (9,5 juta ton GKG), Jawa Barat (9,2 juta ton GKG), dan Sulawesi Selatan (4,6 juta ton GKG).
Dengan surplus beras ini, Sumsel juga memasok ke hampir semua kawasan di Pulau Sumatera, kecuali Sumatera Utara dan Aceh, hingga ke Kalimantan Timur. Meski demikian, untuk jenis beras tertentu, Sumsel masih mendatangkan beras dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Bengkulu, dan Lampung.
Dengan surplus beras ini, Sumsel juga memasok ke hampir semua kawasan di Pulau Sumatera, kecuali Sumatera Utara dan Aceh, hingga ke Kalimantan Timur.
Tren positif ini, lanjut Kadarmanto, harus tetap dijaga, terutama memasuki fenomena La Nina yang akan berdampak pada peningkatan curah hujan. Selain itu, pemerintah diharapkan mampu mencegah ancaman alih fungsi lahan dari sawah menjadi komoditas perkebunan sehingga luas lahan panen di Sumsel tidak merosot.
Ketua Forum Masyarakat Statistik Bustanul Airifin mengatakan, potensi produksi beras di Sumsel memang tinggi. Kemungkinan jumlahnya semakin besar dengan adanya wacana food estate di Sumatera Selatan seluas 1,7 juta hektar. Lahan ini lebih luas daripada program serupa di Kalimantan Tengah 770.600 ha dan Sumatera Utara 215.000 ha.
Hanya saja, Bustanul berpendapat, perlu ada komitmen dari pemerintah daerah untuk melakukan ekstensifikasi lahan, terutama di lahan rawa. Ini sangat penting karena disparitas produktivitas lahan antara Sumatera dan Jawa masih cukup lebar. Untuk rata-rata produksi lahan pertanian di Sumatera sekitar 4,8 ton per ha, sedangkan di Jawa sudah mencapai 5,64 ton per ha.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian, Hortikultura, dan Tanaman Pangan Sumatera Selatan Antoni Alam memaparkan, dari sekitar 621.903 ha lahan baku di Sumsel, sekitar 425.499 ha di antaranya adalah lahan rawa. Dari jumlah lahan rawa tersebut, sekitar 41,8 persen atau sekitar 177.926 hektar telah dioptimalisasi.
Hasil optimalisasi ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan rawa dari yang semula hanya satu kali tanam per tahun bisa dua hingga tiga kali tanam setahun. ”Dengan sistem seperti ini, lahan hanya dibiarkan beristirahat paling lama 14-16 hari,” ucap Antoni.
Pengembangan lahan rawa menjadi areal pertanian terus dilakukan, mengingat potensi lahan rawa di Sumsel mencapai 32,6 juta ha, yang terdiri dari 11,7 juta ha lahan rawa pasang surut dan 20,9 juta ha lahan rawa lebak.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berujar, di masa pandemi, sektor pertanian menjadi penyokong perekonomian di Sumsel. ”Kami fokus mengembangkan pertanian agar pertumbuhan ekonomi di Sumsel tidak terkontraksi lebih dalam akibat pandemi,” ujar Herman.
BPS Sumsel mencatat, pada kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi di Sumsel terkontraksi minus 1,37 persen (yoy). Angka ini lebih baik dibandingkan dengan kuartal I yang mencatat pertumbuhan ekonomi minus 2,30 persen (yoy).
Herman menuturkan, Sumsel juga punya kesempatan untuk merangsek menjadi produsen beras karena potensi lahannya masih cukup besar. ”Kalau di Jawa, pertumbuhan lahan sawah sudah memasuki titik jenuh, bahkan terancam alih fungsi lahan. Sebaliknya, di Sumsel masih banyak lahan yang bisa dimanfaatkan,” katanya.
Sumsel juga punya kesempatan untuk merangsek menjadi produsen beras karena potensi lahannya masih cukup besar.
Hanya saja, Herman berharap ada sistem pengukuran luas lahan yang terintegrasi agar tidak terjadi perbedaan data luasan antarinstansi. Hal ini berkaca pada perbedaan luasan lahan baku dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang menilai lahan baku di Sumsel hanya 470.602 ha. Jumlah ini jauh berbeda dengan hasil survei pertanian BPS pada 2017 yang menyebutkan luas lahan baku di Sumsel 621.903 ha.
Dari perbedaan data tersebut, dilakukan verifikasi yang kemudian didapati hasil lahan baku sawah di Sumsel pada 2019 sekitar 510.452 hektar. Menurut Herman, perbedaan angka luasan ini dapat memengaruhi jatah kuota bantuan pupuk serta pada akhirnya bakal menghambat produksi padi dan beras.
Di sisi lain, Herman juga berharap pihak perbankan turut berperan membantu petani dalam memulai masa tanam. Dia masih merasakan sulitnya petani mendapatkan pinjaman modal untuk membuka lahan. Sebaliknya, perusahaan perkebunan dengan mudahnya mendapatkan pinjaman. ”Jangan hanya perusahaan sawit yang dibantu, tetapi petani sawah juga perlu dibantu,” ucapnya.