Tolak RUU Cipta Kerja, Mahasiswa Lakukan Aksi Tutup Mulut
Puluhan mahasiswa berdemonstrasi menolak RUU Cipta Kerja, Kamis (15/10/2020). Aksi tersebut dilakukan dengan menggelar aksi tutup mulut dan mengunci gerbang Gedung DPRD Kota Magelang.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Magelang menggelar aksi tutup mulut di depan gerbang masuk Gedung DPRD Kabupaten Magelang, Kamis (15/10/2020). Aksi itu dilakukan sebagai bentuk protes dan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
”Kami sebenarnya ingin bicara, tetapi rasanya percuma saja. Tidak perlu berkata-kata dalam suara, karena, toh, berbagai aksi dengan orasi yang sudah gencar dilakukan oleh beragam kalangan di berbagai tempat sama sekali tidak memicu reaksi apa pun dari pemerintah,” ujar Ketua Umum Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Magelang Awan Nul Kosasi, Kamis.
Puluhan mahasiswa tersebut menunjukkan aksi diam dengan menutup mulut menggunakan plester. Karena memang ingin berdiam diri, mereka pun tidak mengajukan permintaan untuk bertemu dan berdialog dengan anggota DPRD.
Ungkapan protes mereka kemudian dituangkan dalam spanduk-spanduk besar, dengan tulisan antara lain ”mosi tidak percaya”, ”DPR tidak lagi menampung aspirasi rakyat”, dan ”tolak omnibus law”. Beragam spanduk itu mereka pasang di depan gerbang.
Aksi di depan gerbang masuk Gedung DPRD Kota Magelang itu dilakukan hanya sekitar 10 menit. Di sela-sela aksi tersebut, mereka juga dengan sengaja mengunci gerbang dengan gembok.
”Sudah tidak perlu lagi anggota Dewan bekerja dengan masuk kantor. Selama ini mereka juga sudah terbukti tidak bekerja, tidak menjalankan tugas dan fungsinya untuk menampung aspirasi masyarakat,” ujarnya.
Di antara berbagai pasal yang memberatkan rakyat, Awan mengatakan, PMII memprotes keras Pasal 65 yang mengatur tentang proses perizinan di sektor pendidikan. Hal itu, menurut dia, pada akhirnya mendorong terjadinya komersialisasi pendidikan.
”Komersialisasi pendidikan tersebut menyalahi amanat, isi Pembukaan UUD 1945, yang menyebutkan bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya.
Di luar Pasal 65, Awan berharap masyarakat dari berbagai kalangan tergerak untuk melakukan kajian terhadap pasal-pasal lain dan bersama-sama membantu mendorong pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan atau peraturan untuk membatalkan atau mengkaji ulang RUU Cipta Kerja.
Komersialisasi pendidikan tersebut menyalahi amanat, isi Pembukaan UUD 1945, yang menyebutkan bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mengadu ke makam
Sebelum melakukan aksi, puluhan mahasiswa tersebut terlebih dahulu mendatangi Taman Makam Pahlawan Giridharmoloyo di Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang. Tidak sekadar berziarah, kegiatan tersebut juga dimaksudkan sebagai demonstrasi.
”Jika sebelumnya sudah banyak aksi, aduan ditujukan pada manusia hidup tidak memicu reaksi apa-apa, maka kami pikir, jalan terakhir yang bisa kami pilih adalah mengadu pada arwah leluhur, para pahlawan, yang sudah terlebih dahulu wafat,” ujar salah seorang demonstran, anggota PMII Magelang, Tabah Riyadi.
Dalam kesempatan ziarah tersebut, mereka mengadukan perilaku anggota Dewan yang dinilai tidak meneruskan nilai-nilai perjuangan karena tega menyusun RUU Cipta Kerja.
Iwan Soeradmoko, anggota DPRD Kota Magelang, yang sempat melihat aksi Pengurus Cabang PMII Magelang, mengatakan, pihaknya sangat menghargai semua ungkapan dan pernyataan yang muncul dari masyarakat. Namun, DPRD Kota Magelang tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi.
”Kami bisa mendengar aspirasi, tetapi kami tidak bisa turut campur apa-apa karena kewenangan terkait RUU adalah kewenangan DPR RI,” ujarnya.