Tiga Tersangka Perdagangan Anak di Pidie Ditangkap
Terbongkarnya kasus perdagangan anak di bawah umur sangat mengagetkan, sebab belum sepekan dari kasus pembunuhan anak dan pemerkosaan terhadap seorang ibu di Aceh Timur.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Polisi Resor Kabupaten Pidie Provinsi Aceh menahan tiga tersangka pelaku perdagangan anak. Dua anak perempuan, yakni M (14) dan N (15), dijadikan obyek perdagangan untuk kepentingan seksual.
Kepala Reserse Kriminal Polres Pidie Inspektur Satu Ferdian Chandra, Kamis (15/10/2020), mengatakan, tiga tersangka adalah IF (38), ibu rumah tangga warga Pidie; IW (40), pedagang warga Pidie; dan DI (26), mahasiswa warga Banda Aceh. Mereka diduga menjadi mucikari menawarkan M dan N kepada lelaki hidung belang. Mereka ditangkap pada Rabu (15/10/2020) di Pidie.
”Korban telah diperdagangkan kepada laki-laki sebanyak tiga kali dengan bayaran Rp 200.000 hingga Rp 500.000 sekali transaksi,” kata Ferdian.
Informasi keterlibatan tiga pelaku itu diperoleh dari M dan N yang ditahan warga karena diduga melakukan pesta seks bersama empat temannya yang lain sesama di bawah umur di sebuah rumah kosong di Kecamatan Kembang Tanjong, Pidie.
Korban telah diperdagangkan kepada laki-laki sebanyak tiga kali dengan bayaran Rp 200.000 hingga Rp 500.000 sekali transaksi. (Ferdian)
Pada Kamis, 1 Oktober 2020 sekitar puk 03.00 dini hari, warga menemukan tiga pasang remaja berada di rumah kosong. Dua orang di antaranya adalah M dan N. Mereka melakukan hubungan seks dengan bertukar-tukar pasangan.
Dari kasus itu, polisi mendalami latar belakang ke enam anak tersebut. Namun, pengakuan M dan N kepada polisi, mereka adalah korban perdagangan anak oleh mucikari. M dan N merupakan anak dari keluarga disharmonis.
Ferdian mengatakan, ketiga pelaku perdagangan anak dijerat dengan UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Polisi juga memburu satu tersangka mucikari lain, yakni I, dan memburu pelaku yang pernah melakukan kejahatan seksual terhadap kedua anak tersebut.
Masih lemah
Direktur Folwer Aceh Riswati mengatakan, kasus kekerasan terhadap anak terus berulang ini menunjukkan perlindungan terhadap anak masih lemah. Riswati berharap pelaku dihukum maksimal agar memberikan efek jera.
Terbongkarnya kasus perdagangan anak di bawah umur sangat mengagetkan, sebab belum sepekan dari kasus pembunuhan anak dan pemerkosaan terhadap seorang ibu di Aceh Timur. ”Semakin banyak kasus kekerasan terhadap anak menunjukkan kita belum mampu melindungi mereka,” kata Riswati.
Riswati mengatakan, anak-anak dari keluarga bermasalah atau disharmonis sering menjadi sasaran kekerasan seksual karena mereka tidak mendapatkan kasih sayang utuh dari keluarga.
Semakin banyak kasus kekerasan terhadap anak menunjukkan kita belum mampu melindungi mereka. (Riswati)
Catatan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Aceh sejak 2016-2019, kasus kekerasan terhadap anak mencapai 2.691 kasus. Sebanyak 225 orang anak menjadi korban pemerkosaan.
Riswati mengatakan, hukuman terhadap pelaku kekerasan seksul di Aceh belum keras. Alasannya, dalam beberapa kasus pelaku hanya dicambuk. Hukuan cambuk diatur dalam Qanun/Perda Jinayah. ”Padahal, dalam UU Perlindungan Anak disebutkan pelaku harus dipenjara. Namun, di Aceh terjadi dualisme aturan sehingga memberi ruang keringanan hukum bagi pelaku,” ujarnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Aceh Nevi Ariani mengatakan, pelaku harus dihukum berat. Selama ini, kasus kekerasan seksual terhadap anak masih dihukum ringan. Bahkan, pernah terdakwa kasus pedofil divonis bebas oleh hakim.
Menurut Nevi, kasus kekerasan terus terulang karena belum semua pihak mau terlibat melindungi anak. Komitmen kuat kepala daerah dalam melindungi anak sangat penting.
”Terhadap anak korban perdagangan anak di Pidie, psikolog kami akan mendampingi hingga psikologis korban pulih,” kata Nevi.