Kampung wisata tenun ikat di Kelurahan Bandarkidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, diharapkan bisa mendukung wisata Selingkar Wilis yang menjadi bagian dari proyek percepatan ekonomi di Jawa Timur.
Oleh
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
KEDIRI, KOMPAS — Kampung wisata tenun ikat di Kelurahan Bandarkidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur, didorong untuk bisa mendukung wisata Selingkar Wilis. Usaha rakyat yang sudah ada sejak tahun 1950-an itu memiliki potensi sebagai destinasi wisata budaya yang menarik.
Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar mengatakan, sentra tenun ikat di Bandarkidul sudah terbentuk dan tinggal dipoles. Tempat itu tidak hanya memiliki potensi ekonomi, tetapi juga edukasi. Wisatawan yang datang diharapkan tidak hanya mendapatkan produk kerajinan yang berkualitas, tetapi juga belajar bagaimana cara menenun.
”Ini, kan, kerajinan asli Kediri dan di situ sudah ada kampungnya. Sudah terbentuk. Diharapkan wisatawan bisa mendapatkan nilai lebih, bisa belajar menenun. Apalagi, nanti jika program Selingkar Wilis sudah terwujud,” ujarnya saat dihubungi dari Malang, Rabu (14/10/2020).
Menurut Abu Bakar, ada atau tidak ada program Selingkar Wilis, sentra tenun ikat Bandarkidul tetap dikembangkan. Namun, keberadaan program Selingkar Wilis—yang diinisiasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur—membuat potensi pengembangannya relatif lebih mudah karena bakal berjejaring dengan daerah lain.
Selingkar Wilis merupakan proyek pembangunan di sekitar Gunung Wilis yang menghubungkan sejumlah kabupaten/kota, seperti Kediri, Madiun, Ponorogoro, Trenggalek, Nganjuk, dan Tulungagung. Selingkar Wilis masuk dalam Peraturan Presiden RI Nomor 80 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan di Jawa Timur.
Ini, kan, kerajinan asli Kediri dan di situ sudah ada kampungnya. Sudah terbentuk. Diharapkan wisatawan bisa mendapatkan nilai lebih, bisa belajar menenun.
Sejumlah rencana yang dilakukan, antara lain, pembangunan Bandara Kediri, Jalan Tol Kertosono-Tulungagung, pembenahan jalan selingkar Wilis dengan panjang 235 kilometer, dan penuntasan pembangunan Jalur Lintas Selatan.
Adapun di Bandarkidul saat ini terdapat sekitar 12 usaha tenun ikat dan mampu menyerap sekitar 500 tenaga kerja. Menurut Abu Bakar, ada beberapa gerai di Bandarkidul yang sudah layak menjadi lokasi wisata, tetapi ada beberapa yang masih perlu dibenahi. Tenun ikat Bandarkidul sempat mati suri beberapa waktu, tetapi saat ini hidup kembali.
Sejauh ini, menurut Abu Bakar, para perajin juga sudah menjalin kerja sama dengan sejumlah perancang busana Ibu Kota. Karya-karya mereka telah diperagakan dalam perhelatan Dhoho Street Fashion yang digelar rutin setiap tahun di Kediri.
Sementara itu, di luar wisata, salah satu perajin tenun ikat di Bandarkidul, Siti Ruqoyah (50), mengatakan, permintaan produk masih terus mengalir meski di tengah situasi pandemi Covid-19. Dengan pekerja mencapai 130 orang lebih, Ruqoyah memproduksi kain tenun aneka motif.
Selain kain tenun, perajin di Bandarkidul—yang memanfaatkan alat tenun bukan mesin—juga memproduksi sarung goyor yang dikirim untuk memenuhi pasar dalam negeri dan Timur Tengah. Sarung goyor asal Kediri punya motif khusus, seperti long, ceplok, dan tirto.
”Banyak pesanan baik dari dalam maupun luar kota. Dari Jakarta juga ada. Kebanyakan dari instansi swasta. Tidak hanya itu, di awal pandemi lalu, Pemerintah Kota Kediri juga memesan ribuan masker dari kain tenun ikat,” ujarnya.
Menurut Ruqoyah, perajin di Bandarkidul juga mencoba mengikuti perkembangan, salah satunya membuat motif baru.
Abdullah Abu Bakar mengakui, perhatian terhadap perajin tenun ikat merupakan salah satu upaya untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Kota Kediri di masa pandemi. Pemerintah Kota Kediri melakukan upaya berkala untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang pada kuartal tiga kali ini diprediksi tumbuh 3,8 persen (4 persen pada kuartal satu dan 3 persen kuartal dua).
”Awal pandemi lalu, Maret-April, kami sudah mulai memesan masker menggunakan kain tenun ikat. Penjahit dan penenun kami berdayakan sehingga usaha mereka tetap berjalan,” kata Abu Bakar.