Belajar Kepatuhan dari Tapal Batas di Nusa Tenggara Timur
Meski jauh dari episentrum Covid-19, perilaku warga Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, layak dicontoh. Warga di perbatasan Timor Leste itu taat menjalankan protokol kesehatan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Meski jauh dari episentrum Covid-19, perilaku warga Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, layak dicontoh. Warga di perbatasan Timor Leste itu taat menjalankan protokol kesehatan.
Siang terik, dengan suhu mendekati 40 derajat celsius, nyaris tak dihiraukan Iba (63). Perempuan itu berjalan kaki menyusuri jalan tanah di Kampung Fatubesi di Kecamatan Sasitamean, Malaka, Rabu (7/10/2020). Melintasi jalan yang sunyi, sepulang dari rumah kerabatnya, Iba tampak mengenakan masker.
”Umtau korona,” jawab Iba saat ditanya alasannya mengenakan masker. Umtau adalah kosakata dalam bahasa daerah Dawan yang berarti ’takut’.
Kampung Fatubesi berada di pedalaman Pulau Timor, sekitar 256 kilometer dari Kupang, ibu kota NTT. Hingga pertengahan September, Malaka masih berstatus zona hijau atau tidak ada kasus Covid-19. Statusnya kemudian turun menjadi zona kuning saat ada satu warga yang positif Covid-19. Warga itu diketahui baru pulang dari Yogyakarta.
Berada di daerah yang memiliki risiko penularan Covid-19 relatif rendah tidak mengurangi kewaspadaan Iba. Ia tetap setia mengenakan masker, bahkan saat mencari kayu bakar di hutan atau mencuci pakaian di kali.
Ternyata bukan hanya Iba, warga perkampungan di sekitar Fatubesi dan Sasitamean pada umumnya juga patuh pada protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Mereka terlihat mengenakan masker di jalanan ataupun pada saat berbelanja di pasar tradisional Kaputu, tak jauh dari Fatubesi.
Pandemi Covid-19 memang membuat khawatir warga. Mereka terus mengikuti perkembangan pandemi dari media ataupun informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut. Bahkan, sesaat setelah kasus Covid-19 pertama kali muncul di Tanah Air, tetua adat setempat menggelar ritual menghalau wabah.
Pengalaman pahit saat wabah penyakit melanda kampung itu tak henti diceritakan secara turun-temurun. Tak heran jika mereka waspada saat ada potensi wabah penyakit yang bisa merenggut nyawa.
”Dulu pernah ada (wabah) muntaber,” ujar Margareta Muti (75), salah seorang warga. Namun, ia lupa kapan persisnya peristiwa yang merenggut banyak nyawa itu.
Warga lokal meyakini, wabah akan datang jika keseimbangan alam tidak terjaga. Mereka percaya wabah Covid-19 benar adanya, bukan rekayasa.
”Banyak orang meninggal, itu bukan main-main. Bahkan, ada juga dokter dan perawat (yang meninggal),” ujar Muti yang selalu mengenakan masker saat berada di luar rumah.
Bak gayung bersambut, pihak gereja setempat juga mengeluarkan aturan yang mendukung tegaknya protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Pada awal pandemi, perayaan di gereja ditutup, tetapi belakangan kembali dibuka sebagai bentuk adaptasi menuju fase normal baru.
Gereja Katolik Santo Yohanes Pemandi Kaputu, misalnya, menetapkan pembatasan jumlah umat yang boleh menghadiri misa. Sebelum umat memasuki gereja, petugas kesehatan memeriksa suhu tubuh umat.
Pengalaman pahit saat wabah penyakit melanda kampung itu tak henti diceritakan secara turun-temurun. Tak heran jika mereka waspada saat ada potensi wabah penyakit yang bisa merenggut nyawa.
Hal yang sama diterapkan di Gereja Santa Maria Fatima di Betun. ibu kota Malaka. Tempat duduk di dalam gereja diatur berjarak. Tidak ada paduan suara. Perayaan ekaristi yang biasanya berlangsung hingga 1,5 jam dipercepat menjadi kurang dari 1 jam.
Tak sebatas itu, Keuskupan Atambua yang membawahkan wilayah Malaka juga mengeluarkan imbauan tertulis untuk menegaskan sikap gereja Katolik dalam mendukung percepatan penanganan Covid-19. Pedoman pastoral bernomor 145/2020 itu ditandatangani Uskup Atambua Monsinyur Dominikus Saku.
Di dalamnya ada sejumlah poin larangan, di antaranya upacara pemberkatan perkawinan tidak melibatkan paduan suara. Jumlah umat yang hadir dibatasi maksimal 50 orang. Yang paling ditekankan, setelah pemberkatan di gereja, dilarang menggelar acara syukuran atau resepsi pernikahan, baik di rumah maupun hotel.
”Jika ketentuan ini dilanggar, pernikahan dianggap bermasalah sejak awal dan ini berpotensi untuk menjadikan pernikahan itu tidak sah dan pasangan itu hidup dalam keadaan tidak beres (berdosa).” Demikian salah satu poin dalam surat Uskup Atambua.
Anisia Funan (60), orangtua yang anaknya menikah pada masa pandemi, menuturkan, anjuran gereja ditaati demi kebaikan bersama. Meski suasana pernikahan terasa hambar tanpa pesta, ia menyadari bahwa yang terpenting ialah upacara di gereja, bukan pestanya.
Jadi teladan
Ketaatan masyarakat menjalankan protokol Covid-19 berbuah manis. Sejauh ini tidak ditemukan kasus Covid-19 di pedalaman Kabupaten Malaka. Sejak pandemi merebak, di Malaka ditemukan dua kasus, tepatnya di Betun. Namun, virus yang dibawa oleh dua pelaku perjalanan itu tidak menular karena warga menerapkan protokol Covid-19.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malaka Paskalia F Fahik berharap penerapan protokol kesehatan terus dijaga. Warga diharapkan tidak bosan, apalagi masa bodoh, lantaran terpengaruh bias informasi yang menyebutkan Covid-19 tidak membahayakan. Pihaknya pun tidak kendur dalam melakukan sosialisasi.
Di pintu masuk Malaka, baik via jalan Trans-Timor maupun jalan lintas Kolbano, petugas kesehatan juga bersiaga memeriksa pelaku perjalanan.
Yang terpenting dari semua itu adalah kesadaran warga dalam menerapkan protokol kesehatan. Warga pedalaman Malaka perlu dijadikan teladan. Memang secara ekonomi mereka sangat lemah, secara pendidikan terbatas, dan jauh dari episentrum penularan, tetapi kesadaran mereka patut diacungi jempol dan ditiru.