Lebih dari 24 Jam, 15 Mahasiswa di Maluku Ditahan Tanpa Status Hukum
Lebih dari 24 jam, sebanyak 15 mahasiswa di Maluku yang ditangkap polisi belum dilepaskan. Status hukum mereka juga tidak jelas. Polisi berdalih masih menyelidiki. Mahasiswa menuding polisi berlebihan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Lebih dari 24 jam, sebanyak 15 mahasiswa di Maluku yang ditangkap pihak kepolisian belum juga dilepaskan. Mereka ditahan tanpa status hukum yang jelas. Pihak kepolisian berdalih masih menyelidiki mereka yang diklaim melakukan tindak pidana. Mahasiswa menuding polisi berlebihan menghadapi demonstran yang menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Dari 15 orang dimaksud, sebanyak 13 orang terlibat aksi di sekitar kampus Universitas Pattimura dan Jembatan Merah Putih di Kota Ambon. Selebihnya ialah mahasiswa yang melakukan aksi di kantor DPRD Kota Tual. Mereka ditangkap aparat sejak Senin (12/10/2020) sore hingga pukul 18.00 WIT.
Kepala Subbagian Humas Polres Kota Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease Isaac Leatemia saat dihubungi pada Selasa (13/10/2020) petang mengatakan, ke-13 orang itu masih diperiksa polisi. Saat ditanya terkait status hukum mereka yang ditahan lebih dari 24 jam, Isaac berjanji akan menjelaskan alasannya kemudian. ”Tunggu, saya cek ke penyidik dulu, ya,” ujarnya. Hingga pukul 18.00 WIT, tak ada kabar dari Isaac.
Ia mengatakan, pemeriksaan itu untuk mengumpulkan keterangan dan bukti terkait berbagai dugaan tindak pidana, seperti kekerasan, perusakan fasilitas publik, dan melawan petugas. Mereka yang ditangkap dan ditahan diduga terlibat. Jika dianggap buktinya cukup, mereka segera ditetapkan menjadi tersangka. Namun, jika tidak cukup bukti, mereka akan dilepaskan.
Menurut Isaac, penangkapan itu terjadi pada saat sejumlah mahasiswa hendak menutup akses jalan dari dan menuju Jembatan Merah Putih, tepatnya di depan kampus Universitas Pattimura Ambon. Saat mahasiswa berusaha menutup akses jalan, kericuhan pecah. Batu melayang ke arah aparat kepolisian. Aksi itu berlangsung sesaat.
Sementara itu, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Kota Ambon Burhanudin Rumbouw mengatakan, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha merusak citra mahasiswa dengan sengaja menciptakan kericuhan kecil itu. Pihak dimaksud tidak lain ialah mereka yang mendukung pengesahan RUU Cipta Kerja.
Ia juga menilai, penangkapan sejumlah mahasiswa berlebihan. Polisi tidak boleh main hakim sendiri jika tidak memiliki bukti yang kuat. Terbukti, lebih dari 24 jam para mahasiswa yang ditahan belum memiliki status hukum yang jelas. Saat dihubungi pada hari Senin sekitar pukul 18.00 WIT, ia mengaku sedang berkoordinasi dengan Kepala Polres Kota Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease Komisaris Besar Leo Simatupang.
Burhanudin mengatakan, penangkapan demonstran tidak akan menyurutkan semangat mahasiswa untuk kembali turun ke jalan menyuarakan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja yang dinilai merugikan masyarakat. ”Kami masih terus melakukan konsolidasi. Dalam beberapa hari ke depan, kami akan turun ke jalan lagi,” ujarnya.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat menambahkan, dua mahasiswa yang ditangkap di Kota Tual juga masih menjalani pemeriksaan. Dalam aksi kemarin, massa masuk dan merusak ruang sidang DPRD Kota Tual. ”Meja, kursi, pengeras suara, dan beberapa fasilitas dirusak. Ini tidak bisa dibiarkan,” ujarnya.
Roem mengimbau semua pihak yang melakukan unjuk rasa agar tidak anarkistis karena tindakan itu merugikan banyak orang. Polisi tidak akan segan-segan memproses siapa saja yang terlibat. Menurut dia, tindakan polisi tidak berlebihan dan dilakukan secara terukur. Terlebih, di Ambon, Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Baharuddin Djafar memantau langsung di lapangan.
Lebih lanjut, Burhanudin Rumbouw meminta agar polisi juga menyelidiki oknum yang diduga menyusupi aksi mahasiswa dengan tujuan menciptakan kekacauan. Menurut dia, mahasiswa sangat paham terhadap aturan hukum sehingga tetap mengedepankan unjuk rasa damai. ”Polisi harus cari tahu siapa yang sengaja merusak aksi kami,” ujarnya.