Sejumlah pasien gangguan kesehatan jiwa di RSUD Banyumas, Jawa Tengah, dilatih berkebun atau bercocok tanam. Lewat terapi ini diharapkan mereka bisa beraktivitas secara positif dan memiliki keterampilan untuk mandiri.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Bernaung di bawah rimbunnya pohon mangga, tujuh laki-laki dan tiga perempuan berlatih bercocok tanam. Arahan dari seorang instruktur dilakoni dengan taat. Namun, sesekali ada yang menyeletuk: ”Assalamualaikum, sayang.”
Ada pula yang menyerobot peralatan milik temannya. Bahkan, ada juga yang mencabut ilalang di kebun untuk ditanam ke dalam plastik polybag. Lewat terapi bercocok tanam, para pasien di Layanan Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas ini diajak untuk bangkit.
”Selamat sore,” sapa salah satu instruktur membuka sesi pelatihan. Para pasien pun protes: ”Ini pagi, Pak. Belum sore!” Gelak tawa lega pun pecah dari instruktur sambil berkata: ”Iya benar, ini pagi, bukan sore. Berarti sudah sembuh.”
Sementara instruktur lainnya coba memberi teka-teki: Coba 76 dikurangi 1, hasilnya berapa? Sejumlah pasien pun menyeletuk menjawab: hasilnya 75 Pak. Instruktur pun menjawab, bukan. Hasilnya 11. ”Tahu rokok 76 itu isi 12 batang kan? Kalau dikurangi 1, sisanya 11,” ujar instruktur yang disambut seruan oleh para pasien.
Bersama sejumlah perawat, dokter, para pasien tampak antusias mengikuti pelatihan bercocok tanam. Mereka dikenalkan dan diajak menyiapkan media tanam dengan mencampur pupuk, merang (kulit padi), dan cocopeat atau serabut kelapa. Ada yang langsung mencampur dengan tangan, ada pula yang menggunakan cetok. Selanjutnya, mereka memasukkan media tanam ke dalam plastik polybag dan memindahkan bibit sayur-mayur yang telah disiapkan.
”Besok kalau sudah di rumah tidak punya plastik polybag, pakai plastik bekas saja bisa,” kata salah satu instruktur.
Setelah menyiapkan media tanam dan menanam serta menyiraminya, mereka juga berlatih membuat pupuk organik. Sampah dedaunan yang telah dirajang atau dicacah, dicampur dengan air bekas cucian beras dan kemudian disimpan selama sepekan dalam plastik yang dilubangi. Pelatihan tidak berhenti di situ, instruktur dan perlengkapan budidaya sayur-mayur dengan sistem hidroponik juga disiapkan RSUD Banyumas. Pada sesi itu, para pasien dikenalkan dengan sistem perairan, pemberian nutrisi, dan penyemaian.
”Tadi saya belajar berkebun. Perasaan-perasaan yang tadinya jenuh dan ingin pulang jadi berkurang. Manfaatnya berkebun baik banget, menghilangkan stres dan menambah pengetahuan,” kata salah satu pasien laki-laki berinisial MT (35), Jumat (9/10/2020).
Hal serupa disampaikan pasien laki-laki lainnya berinisial An (24). Dia mengaku senang bisa berlatih bercocok tanam. Dia mengaku baru beberapa hari datang ke RSUD Banyumas diantar saudara karena dia sering gelisah dan lupa. ”Dulu saya kerja di hotel di Bekasi. Saya suka bingung dan lupa. Di sini saya berobat,” tutur An.
Kepala Instalasi Pelayanan Kesehatan Jiwa (Yankeswa) RSUD Banyumas Hilma Paramita menyampaikan, terapi berkebun bagi pasien ini digelar dalam rangkaian peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2020.
”Terapi berkebun ini dipilih karena sifatnya lokal di Banyumas. Kami mencari kegiatan yang bisa dimanfaatkan oleh pasien atau penderita di rumah nanti. Suatu terapi yang praktis yang bisa menyehatkan jiwa-raganya dan mudah-mudahan bisa menambah income,” kata Hilma.
Hilma mengatakan, pasien dengan gangguan jiwa sering kali mendapatkan stigma di masyarakat sehingga sulit mendapatkan pekerjaan. ”Mereka mendapatkan stigmatisasi. Sulit kadang-kadang mendapatkan pekerjaan. Kalau mereka berdaya dan mengalami destigmatisasi, tentunya akan membuat mereka diterima lingkungannya,” ujarnya.
Di RSUD Banyumas, kata Hilma, terdapat 70 pasien dengan gangguan jiwa yang menjalani rawat inap. Sepuluh orang yang mendapatkan pelatihan berkebun ini dipilih karena sudah bisa diajak berkomunikasi dengan orang lain.
”Mereka sudah mulai komunikatif. Mereka sebenarnya belum betul-betul sehat sekali. Namun, kami latih pelan-pelan lewat kegiatan olahraga dan berkebun untuk menstimulasi keadaannya jadi lebih sehat,” tuturnya.
Saat pandemi banyak orang mengalami depresi karena kehilangan sesuatu yang dicintai.
Depresi pada masa pandemi
Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2016, ada sekitar 21 juta penduduk dunia menderita skizofrenia. Adapun menurut hasil Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2018, angka prevalensi nasional gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 7 per 1.000 penduduk.
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RSUD Banyumas Basiran menyampaikan, akibat pandemi, orang depresi kian banyak. Basiran mengutip temuan Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, menyatakan prevalensi untuk gangguan jiwa di masyarakat 11,6 persen sebelum pandemi, tetapi di dalam pandemi ini meningkat sampai 57,6 persen.
”Saat pandemi banyak orang mengalami depresi karena kehilangan sesuatu yang dicintai. Sesuatu yang dicintai itu apa sekarang: kesempatan atau waktu untuk jalan-jalan dan untuk bekerja di luar, dan lain sebagainya,” ujar Basiran.
Menurut Basiran, ada tiga penyebab munculnya gangguan jiwa, yaitu organik, psiko edukatif, dan stressor atau masalah. Misalnya orang mengalami kecelakaan, lalu perdarahan di otak. Itu organnya kena. Atau ada penyakit lain yang sistemik.
”Kedua, psiko edukatif bagaimana pola asuh ibu waktu 0-5 tahun pertama. Itu menentukan bagiaman seseorang ada kecenderungan kepribadian. Jika tahap-tahap perkembangan ini bagus, orang jadi mature, normal, well-being selalu siap menghadapi masalah. Yang ketiga stressor atau masalah yang dihadapi setiap saat hari ini,” tuturnya.
Di tengah kondisi pandemi Covid-19 saat ini, kata Basiran, supaya orang tetap sehat waras, selain tetap menaati protokol kesehatan dan berjuang memenuhi kebutuhan dasar, orang juga perlu memperkuat iman serta menerima kenyataan. Dalam konteks budaya Jawa, nrimo mengandung makna bersyukur, penuh harap, dan tetap berjuang seoptimal mungkin.
Bersama bibit sawi, terung, selada, yang baru saja ditanam oleh para pasien, terkandung pula harapan bagi jiwa untuk tumbuh, berkembang, dan berbuah sekaligus kembali bermanfaat bagi sesama. Lewat merawat tanaman, mereka juga diajak untuk merawat jiwanya.