Aroma Korporasi di Balik Proyek Lumbung Ikan Nasional Maluku
Program lumbung ikan nasional di Maluku berpotensi melenceng dari tujuan awal. Aroma kepentingan korporasi begitu kental. Masyarakat lokal dikhawatirkan bakal hanya menjadi penonton.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·6 menit baca
Belum diterapkan, program lumbung ikan nasional (LIN) di Maluku sudah menguarkan aroma tak sedap semata demi kepentingan korporasi besar. Tanpa kesungguhan keberpihakan pemerintah pada kesejahteraan nelayan kecil, arah pengembangan LIN dipastikan melenceng dari semangat awal. Payung hukum dan peta jalan yang akomodatif kepada para pihak jadi salah satu ukuran.
Penetapan Maluku sebagai lumbung ikan nasional (LIN) disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kunjungan kerjanya ke Ambon, Maluku, selama tiga hari, mulai 30 Agustus 2020. Daerah kepulauan yang dikelilingi tiga wilayah pengelolaan perikanan itu punya potensi ikan sekitar 4,6 juta ton per tahun, tersebar di Laut Arafura, Laut Seram, dan Laut Banda. Itu setara 36,8 persen potensi nasional 12,5 juta ton per tahun.
Keputusan LIN diambil setelah masyarakat Maluku memperjuangkannya satu dasawarsa. Lebih tepatnya berjuang menagih janji pemerintah pusat yang diucapkan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka Sail Banda di Ambon pada 10 Agustus 2010. Dalam sambutannya kala itu, Yudhoyono menyatakan, pemerintah pusat ingin menetapkan Maluku sebagai lumbung ikan. Utang janji itu kini terjawab.
”Pemerintah pusat di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo ingin menuntaskan utang-utang pemerintah pusat dengan Provinsi Maluku. Kami tidak hanya ingin lumbung ikan nasional hanya sekedar simbol, tetapi kami langsung mengimplementasikan lumbung ikan nasional ini menjadi kenyataan,” kata Edhy pada hari pertama kunjungannya.
Dalam sejumlah pertemuan, termasuk saat konferensi pers pada hari kedua kunjungan, Edhy menyampaikan tekadnya memajukan perikanan Maluku. Namun, penjelasan posisi nelayan lokal skala kecil dalam LIN tak banyak disinggung. Sebaliknya, Edhy malah ingin menghidupkan kembali beberapa korporasi perikanan di Maluku. Padahal, korporasi dimaksud pernah terbukti menangkap ikan secara ilegal, tidak terlapor, dan tidak sesuai regulasi (IUU Fishing).
Bahkan, ada korporasi yang terlibat perbudakan nelayan di Pulau Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Perbudakan terbukti berdasarkan keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hasil investigas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga demikian. Namun, Edhy malah membela perusahaan yang bermasalah itu. ”Ada Benjina, dulu hanya difitnah dengan seolah-olah ada perbudakan,” ujarnya.
Pada era Menteri KKP Susi Pudjiastuti, perusahaan bernama PT Pusaka Benjina Resources yang terlibat perbudakan itu ditutup. Selain itu, ada modus kejahatan yang dilakukan, antara lain registrasi ganda kapal buatan luar negeri di Indonesia dan negara asal kapal, mempekerjakan anak buah kapal dan nakhoda asing, serta tidak mengaktifkan sistem monitor kapal dan sistem pelacakan otomatis (Kompas 23/6/2015).
Tak berhenti di situ. Edhy juga sempat meninjau kapal eks asing yang berlabuh di Teluk Ambon. Ia menginginkan kapal-kapal itu kembali beroperasi memperkuat dukungan terhadap LIN. Pada era Susi, kapal eks asing dilarang beroperasi karena dianggap bagian dari IUU Fishing. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebelum era Susi, IUU Fishing menyebabkan pendapatan negara hilang Rp 40 triliun per tahun. Itu baru terhitung di Laut Arafura.
Pernyataan Edhy dalam kunjungan di Ambon itu membuat drama satu dasawarsa memperjuangkan LIN seperti berubah antiklimaks. Langkah Edhy pun jadi perbincangan di dunia maya dan ruang diskusi kalangan masyarakat Maluku. Tundingan dan spekulasi liar tak terbendung. Salah satunya, pemerintah semata membawa kepentingan korporasi sehingga LIN berpotensi melenceng dari tujuan awal.
Tujuan lumbung ikan nasional adalah pemberdayaan nelayan dengan menjadikan mereka pemain penting. Ada sekitar 115.000 rumah tangga nelayan di Maluku, yang hampir 90 persennya masuk kategori nelayan skala kecil. Mereka mendiami 1.045 desa pesisir dari total keseluruhan 1.199 desa. Lewat LIN, nelayan semakin diberdayakan memanfaatkan perairan Maluku yang luasnya 658.331,52 kilometer persegi atau 92,4 persen luas keseluruhan Maluku.
Selama ini, sebagian besar nelayan sulit bangkit dari keterpurukan ekonomi. Badan Pusat Statistik mencatat, pada Maret 2020, sebanyak 318.180 jiwa di Maluku hidup di bawah garis kemiskinan atau setara dengan 17,44 persen dari total jumlah penduduk 1,8 juta jiwa. Maluku berada pada urutan empat provinsi dengan persentase kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Dari total keseluruhan penduduk miskin di Maluku, sebagian besar dari mereka tinggal di desa, yakni 268.300 orang atau 84 persen, sedangkan di kota sebanyak 49,890 atau 16 persen. Penduduk miskin di desa dominasi nelayan dan petani. Pengeluaran per kapita per bulan untuk setiap penduduk miskin di desa kurang dari garis batas kemiskinan, yakni Rp 552.090.
Ironisnya, mereka miskin di tengah potensi ikan yang melimpah. Sejumlah perkampungan nelayan yang pernah didatangi Kompas di Maluku masih minim fasilitas. Di perbatasan Maluku dan Timor Leste, nelayan Indonesia membeli es batu dari Timor Leste. Es digunakan mengawetkan ikan yang kemudian dijual lagi ke Timor Leste.
Di Kepulauan Aru, nelayan lokal kesulitan mendapatkan solar untuk bahan bakar. Jalan pintasnya, mereka mencampur minyak tanah dengan oli. Akibatnya, mesin perahu motor cepat rusak. Kondisi nelayan kecil inilah yang seharusnya lebih dahulu diperhatikan pemerintah sebelum membicarakan kepentingan korporasi yang sudah sangat mapan.
Dugaan kepentingan korporasi itu mengingatkan kembali catatan sebelumnya. Collin Leppuy, tokoh muda Maluku, menyebut Maluku pernah punya pengalaman buruk pada saat pelaksanaan Banda Sea Agreement tahun 1968. Itu kesepakatan antara Indonesia dan Jepang untuk mengeksploitasi ikan tuna di Laut Banda yang merupakan wilayah penangkapan tuna terbaik dunia.
”Laporan resmi dari Japan Fishery Agency pada periode 1970-1979 menunjukkan bahwa hasil tangkapan tuna nelayan Jepang di Laut Banda sebesar 40.000 ton tuna dengan nilai 20 juta dollar AS,” ungkapnya. Kala itu, nelayan lokal menjadi penonton. Kondisi serupa diprediksi bakal terjadi jika pemerintah menyerahkan panggung LIN kepada korporasi.
Perlindungan nelayan
Amrullah Usemahu, Wakil Sekretaris Jenderal III Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia, mengatakan, korporasi atau pelaku usaha perikanan dibutuhkan untuk memperkuat LIN. Kegiatan industri perikanan mempermudah nelayan skala kecil dalam memasarkan hasil tangkapan ataupun budidaya. Industri perikanan biasanya membutuhkan suplai bahan baku yang banyak dalam memenuhi kebutuhan produksi.
Ia juga berharap agar dalam implementasi LIN, pemerintah belajar dari model pengelolaan perikanan di Jepang. Jepang mengenal prinsip perlindungan nelayan pantai skala kecil dari industri perikanan skala besar. Itu dilakukan dengan pembagian zona penangkapan ikan serta melibatkan nelayan dalam membuat kebijakan untuk manajemen penggunaan area penangkapan dan sumber daya perikanan lainnya.
Sejumlah nelayan lokal sebenarnya menyambut baik wacana LIN. Namun, mereka belum terlalu yakin bakal menjadi pemain utama dalam program itu. ”Belum apa-apa kami dengar akan banyak kapal dari luar yang mau datang. Teluk Salahutu yang menjadi tempat kami mencari ikan pun katanya akan direklamasi untuk bangun industri,” kata Stevi Manuputty, nelayan di Desa Waai, Kabupaten Maluku Tengah.
Demi meyakinkan nelayan dan semua komponen di Maluku, diperlukan sebuah aturan sebagai payung hukum. Regulasi itu untuk mengatur tata kelola LIN dengan mendudukkan nelayan lokal skala kecil, yang di Maluku hampir 90 persennya, sebagai pemain penting. Sejumlah kalangan di Maluku berharap, Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan presiden terkait hal itu.
Saat ini pula, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku sedang menyiapkan peta jalan LIN. Rancangan peta jalan itu nanti diusulkan ke pemerintah pusat untuk dibahas, lalu diputuskan.
Seperti apa arah LIN akan terbaca pada peta jalan itu. Nantinya akan terungkap, untuk siapa LIN di Maluku? Jika LIN menjadi panggung nelayan lokal skala kecil, maka akan disambut sukacita. Jika tidak, sebenarnya sudah gagal sebelum diterapkan. Jangan kecewakan mimpi para nelayan kecil.