Penolakan UU Cipta Kerja Masih Terjadi, Presiden Diminta Pertimbangkan Terbitkan Perppu
Demonstrasi penolakan disetujuinya ”omnibus law” oleh DPR berlanjut di Kota Balikpapan. Presiden diminta menerbitkan perppu untuk menghindari protes yang semakin besar dan mengancam kesehatan warga.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja berlanjut di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (9/10/2020). Presidan diminta menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk menghindari protes yang semakin besar dan mengancam kesehatan warga di tengah pandemi Covid-19.
Sekitar 500 mahasiswa, pelajar, dan pekerja berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Kota Balikpapan mulai pukul 15.00 Wita. Ini merupakan aksi kedua di Balikpapan. Di tengah orasi, beberapa pengunjuk rasa melakukan pelemparan botol ke Gedung DPRD Kota Balikpapan. Massa bisa dikendalikan setelah Kepala Kepolisian Resor Kota Balikpapan Komisaris Besar Turmudi menyampaikan agar unjuk rasa dilakukan dengan damai.
Sekitar pukul 16.30 Wita, Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi menemui pengunjuk rasa. Rizal mengatakan, tuntutan mahasiswa dan buruh sudah disampaikan kepada DPR dan Presiden melalui surat. Surat itu berisi pemberitahuan bahwa setelah disetujuinya RUU Cipta Kerja oleh DPR, terjadi penolakan oleh mahasiswa dan serikat buruh di Balikpapan.
”Aspirasi mahasiswa dan serikat buruh di Balikpapan dengan tegas menolak omnibus law (UU Cipta Kerja). Itu sudah disampaikan kepada Presiden dan DPR,” ujar Rizal.
Aksi yang semula berjalan damai berubah menjadi tak terkendali pada pukul 17.00 Wita. Pengunjuk rasa mencoba masuk ke Gedung DPRD Balikpapan. Karena bagian tengah gedung dipagari kawat berduri, mereka mencoba menembus barikade polisi di sisi timur. Beberapa pengunjuk rasa juga melemparkan botol dan batu ke arah Gedung DPRD Kota Balikpapan.
Aspirasi mahasiswa dan serikat buruh di Balikpapan dengan tegas menolak omnibus law. Itu sudah disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Sesaat kemudian, gas air mata ditembakkan berkali-kali ke kerumunan demonstran. Saat kondisi semakin tak terkendali, Kepala Polresta Balikpapan Komisaris Besar Turmudi terluka di bagian kepala karena terkena timpukan benda keras. Tim medis membalutkan perban di kepalanya.
Setelah tembakan berkali-kali, massa berhamburan ke berbagai arah. Polisi masih menembakkan gas air mata hingga pukul 18.00 Wita karena demonstran masih berkerumun di sepanjang Jalan Jenderal Soedirman. Melalui pengeras suara, polisi meminta demonstran membubarkan diri karena izin demonstrasi hanya sampai pukul 18.00 Wita.
Terbitkan perppu
Selain aksi unjuk rasa, penolakan terhadap disetujuinya UU Cipta Kerja juga datang dari sejumlah akademisi di Kaltim. Mereka meminta Presiden mempertimbangkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Puluhan akademisi di Kalimantan Timur tergabung dalam Aliansi Akademisi untuk Tolak Omnibus Law. Aliansi itu terdiri dari 432 akademisi dari 119 perguruan tinggi di Indonesia dan 3 perguruan tinggi luar negeri dari berbagai latar belakang keilmuan. Mereka meminta Presiden menerbitkan perppu sebagai jalan konstitusional untuk perlindungan keselamatan warga di tengah pandemi Covid-19 ini.
Salah satu akademisi yang tergabung dalam aliansi itu adalah akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. Ia mengatakan, penolakan omnibus law UU Cipta Kerja kian meluas di berbagai penjuru Tanah Air. Benturan dan kekerasan juga terjadi dalam aksi ataupun penanganan aksi unjuk rasa. Ia mengatakan, aliansi khawatir jatuh korban nyawa dari gelombang penolakan ini.
Terlebih, aksi penolakan terjadi di tengah pandemi Covid-19. Hal itu dikhawatirkan menimbulkan masalah baru, yakni penularan Covid-19 yang melonjak dan menyulitkan pengendalian Covid-19 di banyak daerah. Imbasnya, layanan kesehatan di Indonesia menjadi semakin terbatas untuk menangani keselamatan pasien.
”Itu sebabnya, setelah pertemuan wakil-wakil akademisi pada siang hingga sore tadi, kami memutuskan bersama untuk mendesak Presiden Joko Widodo segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan pemberlakuan UU Cipta Kerja,” ujar Herdiansyah.
Hal itu dinilai sebagai langkah konstitusional pemerintah yang paling mungkin dilakukan sekaligus memberikan kepastian hukum. Mereka juga meminta Presiden Jokowi tidak menggunakan cara-cara represif dan melanggar hak asasi manusia dalam menangani ekspresi politik warga yang menolak RUU Cipta Kerja.
Koordinator Balikpapan Labor Solidarity Center Hirson Kharisma mengatakan, DPR tidak terbuka karena belum memberikan draf RUU Cipta Kerja akhir yang disetujui. Berdasarkan draf akhir yang beredar, beberapa pasal dinilai sangat karet dan merugikan pekerja. Misalnya, Pasal 156 mengenai pesangon bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja.
Dalam UU Cipta Kerja, ketika terjadi PHK, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja. Namun, pemberian uang pesangon diatur dengan diksi ”paling banyak sesuai ketentuan”, berbeda dengan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi ”paling sedikit”.
Hal itu dinilai berpotensi merugikan buruh. Misal, dalam UU Ketenagakerjaan, masa kerja kurang dari satu tahun, mendapat pesangon paling sedikit satu bulan upah. Namun, jika mengacu UU Cipta kerja, bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun akan mendapat pesangon paling banyak satu bulan upah. Artinya, pengusaha boleh memberikan pesangon lebih kecil dari satu bulan upah.
”Itu berpotensi merugikan pekerja. Pengusaha bisa saja memberikan uang pesangon setengah dari satu bulan upah, bahkan lebih kecil. Sebab, dalam UU Cipta Kerja, yang diatur adalah batas maksimal, bukan batas minimal,” ujar Hirson.