Kisah Suram di Balik Kilau Emas
Kisah hidup para petambang rakyat jauh dari kilau emas yang sehari-hari mereka buru. Mereka harus bertaruh nyawa di dalam lubang pengap dan sempit dengan penghasilan tidak menentu.
Untuk mendapatkan emas, petambang rakyat di Sukabumi bagian selatan, Jawa Barat, harus bertaruh nyawa di dalam lubang pengap berdiameter 1-2 meter. Sebagian dari mereka sakit-sakitan karena bergumul dengan debu. Penghasilan mereka pun kadang tak menentu.
Kisah hidup suram para gurandil, sebutan petambang liar ini, jauh dari kilau emas yang sehari-hari mereka buru.
Di kursi teras Puskesmas Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Amat terdiam lesu. Pandangan matanya kosong. Perlahan-lahan, lelaki 33 tahun tersebut menyandarkan punggung dan kepalanya ke dinding. Ia berusaha menenangkan diri.
”Pengap. Kalau habis jalan 10 meter saja sudah sesak,” ujar Amat sambil mengatur napas yang terengah-engah, Jumat (4/9/2020).
Hari itu adalah kali kedua Amat menyambangi Puskesmas Ciemas. Dua pekan sebelumnya, ia divonis menderita penyakit paru-paru berdasarkan hasil rontgen. Mantan gurandil itu pun diminta menjalani rangkaian pengobatan selama enam bulan.
Sudah lama Amat mengalami sesak napas. Awalnya, dia mendatangi bidan kampung untuk mengobati sesak napasnya. Sambil sesekali berobat, dia tetap bekerja seperti biasa. Namun, penyakit yang mulanya diremehkan mulai menghambat keseharian Amat.
Baca juga: Sembilan Petambang Emas Tewas Tertimbun di Solok Selatan
Amat mendapat Rp 5 juta-Rp 10 juta per bulan dari upahnya sebagai pemahat di dalam lubang tambang dan mengolah emas dengan gelundung, alat pengolahan tradisional berupa roda besi yang berputar dengan menggunakan merkuri. Biaya pengobatan ke bidan sebesar Rp 70.000 per kedatangan, awalnya tak memberatkannya.
Namun, kondisi keuangannya berputar 180 derajat ketika kesehatannya memburuk sekitar enam bulan lalu. Napasnya tersengal-sengal setiap kali beraktivitas, mulai dari berjalan jauh, mengangkat beban, hingga menghirup asap rokok. Akhirnya, ia memutuskan rehat total dari aktivitas menambang dan mengolah emas sehingga sejak itu pula ia kehilangan penghasilan.
Tabungan terkuras
Di sisi lain, memburuknya kesehatan Amat membuatnya semakin bergantung pada obat. Setiap pekan, ia perlu berkonsultasi ke bidan sambil membeli obat. Karena sudah tak lagi berpenghasilan, Amat mengandalkan tabungan untuk melanjutkan pengobatan dan memenuhi kebutuhan hidup.
Tabungan pun terkuras habis pada bulan kelima. Seperti napasnya yang sesak, kondisi ekonomi Amat pun terengah-engah dan tak lagi sanggup berobat ke bidan yang dekat dari rumah. Alhasil, dia memilih berobat secara gratis ke Puskesmas Ciemas yang berjarak lebih jauh dari rumah.
Sudah 21 tahun Amat menjadi petambang emas rakyat. Sejak lulus sekolah dasar, ia bekerja sebagai pemahat, orang yang masuk ke dasar lubang tambang untuk mengikis batuan berurat emas. Hampir setiap hari Amat harus menghabiskan waktu 8-9 jam di dalam lubang tambang.
Di dalam lubang orangnya banyak, makanya pengap. Orang-orang pada merokok, pakai hammer (palu untuk menghancurkan batu). Bagaimana atuh, asap ngebul dan debunya banyak banget.
”Di dalam lubang orangnya banyak, makanya pengap. Orang-orang pada merokok, pakai hammer (palu untuk menghancurkan batu). Bagaimana atuh, asap ngebul dan debunya banyak banget,” kata Amat sambil tersenyum getir.
Amat bukan satu-satunya warga yang menderita gangguan sesak napas setelah berpuluh tahun menjadi gurandil. Di desanya, sebagian petambang bernasib serupa. Salah satunya Jaelani (49) yang menderita penyakit paru-paru selama tiga tahun.
Akibat penyakit itu, Jaelani tak hanya kehilangan penghasilan karena harus berhenti dari pekerjaan yang telah digeluti selama 30 tahun. Dia juga ditinggal sang istri. Kini, pria yang akrab disapa Obet itu menumpang hidup bersama kakaknya. Ia kesulitan hidup mandiri karena kondisi tubuhnya lemah.
Berisiko
Tidak hanya berisiko terkena penyakit seperti yang diderita Amat dan Jaelani, para gurandil yang bekerja di pertambangan emas tanpa izin (PETI) juga bertaruh nyawa karena berjam-jam berada di lubang sempit dengan pengamanan seadanya. Ancaman tanah longsor datang sewaktu-waktu.
Tim Kompas mendapati salah satu tambang emas rakyat di dalam kawasan Perhutani di Desa Waluran Mandiri, Kecamatan Waluran, Kamis (3/9/2020). Lokasi tambang liar itu cukup tersembunyi. Sekalipun berada tepat di sisi jalan utama di kawasan Taman Bumi Ciletuh-Palabuhanratu, tempat itu tertutup tebing dan pepohonan.
Untuk mencapainya harus berjalan kaki menuruni jalan setapak yang curam sekitar 200 meter. Lubang tambang berdiameter 1-1,5 meter. Untuk menyusurinya, petambang harus jongkok atau merangkak. Dalam kondisi aktif, lubang sedalam 100 meter itu pernah dimasuki 30 orang.
Uloh (55), koordinator petambang di lubang itu, mengatakan, petambang bekerja selama delapan jam per hari di dalam lubang. Selama itu, petambang bergumul dengan lumpur dan debu serta menahan diri dari buang air kecil dan air besar karena dilarang di dalam lubang.
Baca juga: Di Dalam Lubang Tambang Itu Seperti Pasar Ikan...
Dari ruang pengap itu pula mereka memanggul berkarung-karung batu dan mengeluarkannya secara estafet. Selama pemahatan berlangsung, mau tidak mau petambang menghirup langsung debu dari batu-batu yang dikikis. Mereka bekerja tanpa alat pelindung. Mereka hanya membawa peralatan seperti lampu sorot kepala, mesin pemahat, dan sedikit makanan.
Hidup yang berat sebenarnya bukan pilihan bagi para petambang. Latar belakang pendidikan mereka umumnya rendah, sementara ketersediaan lapangan kerja di daerah setempat juga terbatas. ”Kalau ada pilihan pekerjaan lain, lebih baik bekerja di sektor lain karena menjadi petambang itu berat. Usia juga tidak lagi muda, gampang sakit-sakitan,” kata Uloh yang sudah hampir 40 tahun menjadi petambang.
Camat Ciemas AG Senjaya mengakui, petambang rakyat ataupun warga yang bekerja sebagai pengolah emas tidak tercatat dalam data kependudukan sebagai profesi resmi di Kecamatan Ciemas. Ia berdalih warga yang bekerja di tambang ataupun mengolah emas enggan mengakuinya sebagai pekerjaan.
Padahal, merujuk data Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Sukabumi, ada sekitar 10.000 petambang rakyat yang masih aktif. Sebagian besar berkedudukan di Kecamatan Ciemas, Simpenan, dan Waluran.
Saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (3/10/2020), Bupati Sukabumi Marwan Hamami tidak menampik adanya pertambangan emas ilegal yang ada di kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu. Akan tetapi, tindak lanjut terhadap aktivitas tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi Jabar. Pemkab Sukabumi berperan memberdayakan warga yang masih menambang dengan memberikan pelatihan. Namun, pelatihan yang dimaksud dan keberlangsungannya tidak dijelaskan.