Demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja berujung pada perusakan aset negara dan fasilitas publik di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020). Hal ini diatasi dengan kecepatan petugas membersihkan dan membenahi lokasi.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA, AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
”Kamu tahu, aku bangun ini, kota ini ’nggo (untuk) rakyatku juga. Kenapa kamu rusak kotaku?” kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dengan suara bergetar menahan kemarahan luar biasa kepada seorang pemuda berambut gondrong, tak berbaju, yang bersimpuh di aspal depan Taman Apsari seberang Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020) malam.
Di dekat Risma memarahi pemuda yang mengaku dari Madiun itu tegak berdiri Monumen Gubernur Suryo. Patung sosok mendiang gubernur pertama Jatim, kelahiran Magetan, Juli 1898, dan tewas dibunuh di Ngawi, November 1948, itu seolah menatap tajam ke arah pemuda yang ditangkap karena unjuk rasa anarkistis, merusak aset negara (Grahadi) serta fasilitas umum (Taman Apsari, halte, rambu, dan lampu jalan).
Demonstrasi dari sejumlah elemen masyarakat se-Jatim ke Surabaya dengan titik konsentrasi di Grahadi terkait penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (omnibus law) yang belum lama disetujui oleh DPR untuk disahkan. Aksi massa pada Kamis dan eskalasinya merupakan puncak dari serangkaian unjuk rasa sejak Selasa (6/10/2020) atau sehari setelah persetujuan RUU Cipta Kerja oleh DPR dalam rapat paripurna.
Kamu tega sekali. Aku bangun kota ini setengah mati, tanganku sampai patah belain wargaku. Kenapa kamu hancurin. Tega sekali kamu. (Tri Rismaharini)
Sambil menahan kejengkelan yang luar biasa, belum sempat melepas helm dan jaket hitam, Risma bergegas memerintahkan aparaturnya untuk segera membersihkan dan merapikan Taman Apsari. Tidak perlu waktu lama bagi aparatur Pemerintah Kota Surabaya untuk mengatasi kerusakan akibat demonstrasi tesrebut. Kerusakan di Grahadi, rumah dinas Gubernur Jatim, terutama gerbang dan lampu taman yang roboh, juga telah ditangani.
Vandal
Rabu sekitar pukul 17.00, tiba-tiba ada pesan menginformasikan Risma yang dibonceng aparatur di sepeda motor listrik bergegas ke depan Grahadi. Risma meminta kalangan pejabat teras dan petugas pemerintah untuk mengikuti ke lokasi demonstrasi yang berlangsung sejak siang.
Mereka sempat melewati Jalan Basuki Rahmat menuju Jalan Gubernur Suryo yang telah berantakan akibat perusakan fasilitas umum oleh demonstran. Rambu patah, pos polisi hangus terbakar, tempat sampah dibongkar dan dibuang, trotoar bahkan kursi dirusak, halte dibuat porak poranda. Tanaman di tepi jalan dan taman juga rusak terinjak-injak. Bahkan, ada pohon yang dicabut dan dibuang ke jalan.
Setiba di depan Taman Apsari, Risma bergegas memunguti batu dan sampah. Dua kendaraan berat dan mobil pemadam kebakaran tiba untuk turut membersihkan bekas ban dibakar di aspal. Saat sibuk memunguti benda-benda yang berserakan itu, ada seorang pemuda yang dipaksa jalan jongkok setelah ditangkap polisi dan berhenti di depan Risma.
Perempuan pertama menjabat Wali Kota Surabaya ini kaget dan naik pitam ketika mengetahui demonstran yang turut merusak itu berasal dari luar kota, yakni mengaku dari Madiun.
”Kamu tega sekali. Aku bangun kota ini setengah mati, tanganku sampai patah belain wargaku. Kenapa kamu hancurin. Tega sekali kamu,” ujar Risma.
Saat masih memunguti sampah, Risma bertemu lagi dengan sekelompok remaja yang ditangkap petugas dan jalan jongkok. Lagi-lagi Risma bertanya kepada anak-anak itu tujuan datang ke Surabaya. Mereka menjawab ikut demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja. ”Apa isinya aturan itu, ayo jawab,” kata Risma, tetapi yang ditanya bungkam sambil terus menunduk.
Kepala Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Kota Surabaya Anna Fajriatin mengatakan telah menurunkan kekuatan penuh, yakni petugas serta peralatan, untuk membersihkan sampah dan sarana yang rusak akibat demonstrasi.
Kerusakan perlu segera ditangani meski terkesan itu sepele. Misalnya, bola-bola beton penghias trotoar dan tanaman yang bisa diangkut sementara diamankan. Tanaman perlu dirawat terlebih dahulu sebelum dikembalikan ke lokasi semula.
Dalam 2-3 jam, lokasi yang sempat berantakan telah dapat dibersihkan. Petugas dan jajaran perlu diapresiasi karena tidak mengabaikan sesuatu, yakni estetika sebagai darma bakti kepada warga yang akan mulai beraktivitas kembali esok hari.
Perhatian
Tidak sekali itu saja aparatur Surabaya bertindak cepat mengatasi kerusakan fasilitas umum karena suatu acara. Tahun lalu, rombongan Bonek, pendukung Persebaya Surabaya, konvoi malam dan dalam perjalanan mencabuti tanaman hias serta sarana publik. Seusai konvoi melintas, jajaran pemerintah segera membersihkan dan membenahi lokasi yang berantakan.
Kalangan warga mungkin masih ingat peristiwa Risma marah-marah di Taman Bungkul pada Mei 2014. Saat itu, ada antrean warga karena pembagian es krim cuma-cuma. Namun, mereka tidak tertib sehingga menginjak-injak tanaman median Jalan Raya Darmo dan Taman Bungkul. Risma yang datang ketika itu, dengan dingin, lantas menghardik panitia.
Kemarahan ketika melihat sesuatu yang tak baik memang menjadi dua sisi Risma. Namun, selama ini, Risma mengatakan, kemarahan dirinya masih terukur dan dengan alasan yang tepat. Perusakan taman, misalnya, berarti menghalangi warganya yang ingin datang untuk menikmati keindahan. Merusak tanaman hias juga bisa dipandang dalam perspektif yang setara.
Perusakan terhadap fasilitas publik saat demonstrasi, Kamis itu, juga mencederai kepercayaan dunia kepada Surabaya yang dalam kurun waktu 5-7 Oktober 2020 menjadi tuan rumah peringatan internasional Hari Habitat Sedunia. Perayaan ini, salah satu nilainya, ialah mendorong para pemimpin perkotaan untuk lebih peka dalam perencanaan, penataan, dan program perkotaan yang memanusiakan warga.
Selama memimpin Surabaya dua periode dan akan berakhir pada 17 Februari 2021, pemerintahan Risma telah melaksanakan penataan di 1.139 lokasi, yakni sekolah, taman, kantor umum, lapangan olahraga, kampung, sekaligus jaringan vital, yakni instalasi air dan pengolahan limbah. Selama ini sudah terbangun 533 taman yang bisa dinikmati warga meski untuk sementara ditutup terkait situasi wabah Covid-19 sebagai upaya pencegahan penularan.
Dengan begitu, tidak berlebihan jika ada warga Surabaya yang merasa berhak tinggal di ”Bumi Pahlawan” serta mengharapkan kotanya indah dan terasa nyaman. Tetap memperhatikan estetika, dilihat dari upaya aparatur dengan cepat membenahi kerusakan fasilitas umum, merupakan bentuk tanggung jawab pemenuhan hak-hak warga sehingga tetap bangga menjadi Arek Suroboyo karena kotanya ciamik soro atau amat bagus.