Gempa M 5,4 Guncang Buton Selatan, Mitigasi Menjadi Kendala
Gempa bermagnitudo 5,4 mengguncang wilayah Buton, Sulawesi Tenggara. Gempa ini adalah yang terbesar terekam tahun ini. Mitigasi di pesisir menjadi kendala.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Gempa bermagnitudo 5,4 mengguncang wilayah Buton Selatan, Sulawesi Tenggara, Jumat (9/10/2020). Pergerakan sesar aktif sekitar 0,1 milimeter per tahun terus membuat guncangan di wilayah tersebut. Masyarakat diimbau tidak panik, tetapi tetap meningkatkan kewaspadaan.
Gempa terjadi sekitar pukul 10.00 Wita dengan guncangan yang dirasakan selama beberapa detik. Guncangan gempa dirasakan warga di Kabupaten Buton Selatan hingga Kota Baubau, keduanya di Pulau Buton. Gempa membuat getaran di dalam rumah dan beberapa benda bergoyang cukup kuat. ”Terasa sekali guncangannya, tetapi cuma sebentar, sekitar beberapa detik. Saya kira ada truk lewat, ternyata gempa,” kata Salman, warga Baubau.
Sejumlah warga, kata Salman, cukup panik dengan guncangan gempa. Mereka keluar rumah dan berjaga-jaga mengingat guncangan gempa cukup besar. Warga mengkhawatirkan adanya gempa susulan atau adanya gelombang tsunami. Setelah beberapa saat, peringatan BMKG menyatakan gempa ini tidak disertai tsunami.
Tidak hanya di Baubau, guncangan juga dirasakan hingga Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, di sebelah barat Pulau Buton. Sejumlah orang melaporkan merasakan guncangan cukup kuat selama sekitar dua detik. Berdasarkan data BMKG, episentrum gempa terjadi di laut pada jarak 44 kilometer barat daya Buton Selatan. Pusat gempa cukup dangkal, yaitu pada kedalaman 10 kilometer.
Kepala Stasiun Geofisika BMKG Kendari Rosa Amalia menjelaskan, gempa pada Jumat pagi itu salah satu yang cukup besar yang terjadi di Sesar Buton tahun ini. Meski demikian, gempa yang terjadi di laut ini tidak berpotensi tsunami. ”Laporan kerusakan juga belum kami terima. Hanya ada guncangan sampai MMI III di wilayah Buton Selatan dan MM II di Buton,” kata Rosa.
Gempa yang terjadi kali ini, menurut Rosa, merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat aktivitas Sesar Buton. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault). Gempa terjadi di Sesar Buton segmen B.
Sesar Buton merupakan salah satu sesar aktif di wilayah Sulawesi Tenggara. Sesar ini memiliki pergerakan 0,1 milimeter per tahun. Sesar ini memiliki dua segmen, yaitu segmen A sepanjang 60 kilometer di Pulau Muna dan segmen B sepanjang 29 km di Pulau Buton. ”Gempa susulan terekam dua kali dengan kekuatan M 4,1 dan 3,5. Gempa terjadi di lokasi yang sama dengan kedalaman 10 km dan 35 km,” ucapnya.
Sejak awal Juli, Rosa melanjutkan, pihaknya memang sudah mencatat ada peningkatan aktivitas di sesar tersebut. Total ada tujuh kali gempa pada Juli, di mana enam di antaranya dirasakan masyarakat. Sesar Buton ini sesar lokal yang berada di daratan dua pulau terbesar di Sultra tersebut.
Oleh karena itu, ucap Rosa, ia mengharapkan agar masyarakat tetap tenang dan tidak terpengaruh informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya. Masyarakat juga tetap bersiap diri dengan mengetahui mitigasi dasar.
Di Sultra, selain Sesar Buton, terdapat sejumlah sesar aktif lainnya, di antaranya Sesar Naik-Tolo, Sesar Kendari, Sesar Tolo, dan Sesar Lawanopo. Sesar Buton termasuk yang cukup aktif, ditandai dengan guncangan gempa yang terjadi beberapa kali di wilayah ini.
Pada 2013, gempa dengan kekuatan M 4,6 mengguncang Buton sehingga membuat sekitar 300 rumah rusak dan ribuan warga mengungsi. Dampak gempa saat itu paling terasa di Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton, yang menjadi titik pusat gempa.
Tingginya ancaman gempa di wilayah kepulauan membuat daerah pesisir rawan akan guncangan gempa, tsunami, hingga likuefaksi. Bangunan, rumah warga, hingga infrastruktur harus menjadi perhatian karena rentannya ancaman.
Riset oleh Barbara Neumann di jurnal PLOS One (2015) menyebutkan, Indonesia merupakan satu dari lima negara di Asia dengan jumlah penduduk paling banyak tinggal di pesisir yang rentan bencana alam. Hal itu meliputi peningkatan muka air laut karena perubahan iklim, banjir, hingga tsunami.
Seiring waktu, risiko bencana tsunami di Indonesia meningkat karena tren pertumbuhan kota-kota ke arah pesisir. Apalagi, lima tahun terakhir, pemerintahan Joko Widodo memprioritaskan pembangunan infrastruktur di pesisir demi mendukung tol laut dan pengembangan kawasan pantai (Kompas, 21/11/2019).
Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Sultra Jamhir Safani menyampaikan, gempa yang terjadi beberapa kali di wilayah Buton menunjukkan adanya aktivitas sesar yang terus terjadi beberapa waktu terakhir. Hal ini sebaiknya menjadi pengingat bagi pemerintah dan masyarakat akan rentannya bencana.
”Hal ini harus menjadi perhatian karena di sekitar kita ada sesar yang aktif dan terus bergerak. Pemerintah harus memperhitungkan dampak dan upaya mitigasi sedini mungkin,” ucapnya.
Mitigasi, tambah Jamhir, bisa dimulai dengan membuat sistem zonasi di setiap wilayah. Zonasi menunjukkan lokasi dengan risiko rendah, sedang, hingga tinggi. Selain itu, juga membuat hitungan bangunan yang berada di lokasi risiko tinggi. Hal itu untuk mengurangi korban ketika terjadi bencana, khususnya gempa. Rencana mitigasi ini harus dikaitkan dengan perencanaan pembangunan.
Akan tetapi, Jamhir melanjutkan, aplikasi metode ini di lapangan masih sangat rendah. ”Permasalahannya, perhitungan risiko di Sultra sangat minim. Bahkan, setahu saya, belum ada bangunan pemerintah yang dibuat dengan hitungan tahan gempa. Ini menjadi masalah dan belum juga dilakukan pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” katanya.