Saluran drainase di Betun, ibu kota Kabupaten Malaka, NTT, belum dibangun secara baik. Ancaman banjir dan penyakit menghantui.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
BETUN, KOMPAS — Jaringan drainase di Betun, ibu kota Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, belum tertata secara baik. Kondisi itu menimbulkan genangan di sejumlah titik selokan dan banjir yang menggenangi permukiman pada saat hujan dengan intensitas tinggi. Pemerintah kabupaten setempat mengaku belum memiliki rencana penataan.
Menurut pantauan Kompas di Jalan Bakateu, Jumat (9/10/2020), di parit yang memanjang sejauh lebih kurang 100 meter, tergenang air yang warnanya menghitam dan berbau. Air terjebak lantaran menemui jalan buntu. Genangan yang berasal dari hujan itu bercampur dengan sampah plastik. Rumput-rumput juga tumbuh di dalam parit tersebut.
Di Betun, ruas parit dibangun sepotong-sepotong sehingga tidak saling terhubung. Tak ada juga kanal besar yang dibangun untuk mengalirkan air ke sungai atau laut. Sungai terdekat adalah Benenai yang berjarak sekitar 9 kilometer dan pesisir terdekat adalah Laut Timor yang berjarak sekitar 7 kilometer.
Di beberapa ruas parit lainnya, yang juga masih berada di pusat kota itu, genangan air hampir mencapai permukaan. Jika terjadi hujan lebat dalam beberapa menit saja, air di parit dengan kedalaman 1,5 meter itu akan meluap kemudian menggenangi permukiman penduduk yang berada di sekitar jalurnya.
”Pada saat hujan lebat Februari lalu, banjir sampai masuk ke dalam rumah. Pokoknya, setiap kali hujan lebat, kami mulai khawatir. Dulu belum banyak bangunan sehingga air cepat menyerap, sekarang sudah ramai dan bangunan ada di mana-mana,” ujar Yustina (40), warga Betun.
Ia khawatir, jika pembangunan fisik semakin pesat dan tidak ada lagi daerah resapan, banjir di Betun semakin parah. Masyarakat kini mulai berpikir mendesain rumah yang aman dari banjir, seperti menaikkan tinggi fondasi rumah. Risiko ekonomi yang ditimbulkan akan semakin besar sebab Betun merupakan pusat ekonomi di Malaka.
Direktur Yayasan Pijar Timur Indonesia Vinsen Kia Beda berpendapat, penataan kota yang tidak ideal juga berdampak pada kesehatan masyarakat. Genangan yang hitam dan bau itu menunjukkan kesehatan lingkungan di daerah tidak memenuhi standar sanitasi total berbasis masyarakat. Banyak penyakit akan timbul sehingga dapat berujung terjadinya stunting pada anak-anak.
Menurut data Badan Pusat Statistik, tahun 2018, terdapat 864 kasus diare, 309 kasus malaria, dan 18 kasus demam berdarah. Penyakit itu muncul disebabkan oleh lingkungan dengan sanitasi buruk. Adapun kasus stunting di Malaka tahun 2019 hampir mencapai 5.000 atau sekitar 25 persen dari total anak balita.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Malaka Yohanes Nahak mengakui, saluran drainase di Betun belum ditata secara baik. ”Memang kondisi demikian. Kami juga belum mempunyai grand design (desain besar) bagaimana menata saluran drainase. Daerah ini belum lama mekar sehingga masih banyak yang perlu dibenahi,” katanya.
Ia mengatakan, terdapat sejumlah kesulitan dalam membuat saluran drainase yang bermuara ke laut atau ke sungai, terutama anggaran. APBD Malaka mencapai hampir Rp 1 triliun. Namun, jumlah itu sebagian besar untuk belanja pegawai dan pembenahan infrastruktur. Malaka yang berada di perbatasan masih minim pembangunan infrastruktur dasar.
Malaka merupakan kabupaten yang terbentuk tahun 2013, dimekarkan dari Kabupaten Belu. Betun, ibu kota kabupaten, berjarak 241 kilometer dengan waktu tempuh 6 jam dari Kupang, ibu kota Provinsi NTT. Betun kini mulai tumbuh menjadi pusat ekonomi dengan pertanian sebagai sektor unggulan.