Di Bawah Ancaman Merkuri dan Sianida
Selama bertahun-tahun, masyarakat di kawasan Ciletuh, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, hidup di bawah ancaman merkuri dan sianida. Bahan beracun dan berbahaya tersebut berkelindan dengan keseharian mereka.
Selama bertahun-tahun, masyarakat di kawasan Ciletuh, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, hidup di bawah ancaman merkuri dan sianida. Bahan-bahan beracun itu berpotensi menyatu dengan air yang diminum, ikan yang dimakan, atau udara yang dihirup.
”Tak, tak, tak, tak, tak, tak!” Bunyi batuan yang dihantam palu itu makin lama semakin lantang. Tangan Ani Mariani (41) yang menggenggam palu semakin keras memukul batu-batuan yang terhampar di halaman rumahnya di Desa Mekar Mukti, Kecamatan Waluran, Kabupaten Sukabumi, Rabu (2/9/2020) siang.
Batu yang dihancurkan Ani adalah bongkahan batuan yang diduga mengandung emas. Batu yang sudah halus kemudian dimasukkan ke dalam mesin gelundung, rangkaian beberapa tabung baja yang berfungsi untuk menggiling batuan.
Baca juga: Tambang Emas Ilegal Gunakan Merkuri
Untuk menggelundung, dibutuhkan air dan bahan kimia untuk memisahkan emas dari hasil gilingan. Bahan kimia yang dimaksud adalah kuik, istilah masyarakat lokal untuk merkuri. Logam emas yang menempel pada batuan membutuhkan merkuri untuk mengikatnya. Merkuri diteteskan pada batu yang sudah dimasukkan ke dalam setiap tabung gelundung sebelum mesin dijalankan.
Satu gelundung dikasih seujung sendok kuik,” ujar Ani sembari menunjukkan botol plastik 300 mililiter yang setengahnya terisi merkuri. Warnanya perak mengilap.
Proses gelundung berlangsung selama lima jam, menyisakan limbah berupa lumpur. Permukaan lumpur berwarna putih mengilap. Mirip dengan kilau merkuri.
Lumpur kemudian dibuang ke kubangan persis di depan mesin gelundung yang ada di halaman samping rumah. Posisinya berdampingan dengan sumur air tanah yang digunakan untuk mandi, cuci, minum, dan memasak. Selain masuk kubangan, sebagian lumpur juga berceceran, masuk ke selokan dan mengalir ke areal persawahan. Ani tak peduli karena tak memahami bahaya di balik penggunaan merkuri.
Limbah pengolahan
Lumpur sisa pengolahan emas juga memenuhi berpetak-petak sawah milik Dedi (45) dan Rita (43), pasangan suami istri di Desa Waluran Mandiri, Kecamatan Waluran. Hamparan padi hijau kontras dengan lumpur putih yang menggenang di bagian dasarnya. Sebagian lumpur juga tampak di selokan yang mengalir ke sungai. Dedi tak menyangkal, lumpur itu merupakan limbah pengolahan emas.
Sejak beberapa tahun lalu, petani itu menambah usaha dengan pengolahan batuan berurat emas. Mereka membeli batu langsung dari petambang yang harganya berkisar Rp 500.000 dan Rp 2,5 juta per karung.
Awalnya, mereka hanya menggunakan gelundung untuk mengolah emas. Beberapa bulan terakhir pasangan itu membangun bak beton setinggi 4 meter dengan diameter 1,5 meter untuk mengolah emas dengan teknik perendaman atau ngerendem. Kapasitas bak mencapai 45 karung batu.
Teknik rendeman ramai digunakan warga setempat selama beberapa tahun terakhir. Prosesnya menggunakan bahan kimia lain, yaitu sianida, kapur, dan karbon. Di kawasan itu terlihat bak-bak pengolahan berkapasitas hingga 100 karung atau dua kali lebih besar dari milik Rita dan Dedi. Bak-bak beton berderet di beberapa lokasi.
Selain bak beton yang meninggi, beberapa orang membuat rendaman di dalam tanah. Sekilas mirip dengan sumur karena lokasinya juga berada di pekarangan rumah warga. Hanya saja, galian untuk merendam emas itu ditandai dengan atap terpal warna-warni. Konon, mereka sengaja menempatkan pengolahan emas, baik gelundung maupun rendaman di sebelah rumah agar aman dari pencurian.
Rita membeli merkuri dari penadah emas hasil pengolahannya. Harganya Rp 160.000 per ons dan bisa dipakai berulang kali. Namun, jual beli kuik harus dilakukan secara tersembunyi, terbatas pada pihak yang sudah saling mengenal. Penjual kuik enggan menjualnya secara terbuka.
Adapun sianida dan kapur bisa dibeli bebas di toko bangunan. Setiap kilogram sianida, yang lazim disebut Cn, harganya Rp 90.000. Sianida hanya bisa sekali dipakai karena langsung ikut terbakar dalam prosesnya.
Rita dan Dedi mengatakan, perendaman emas dilakukan karena masih ada sisa emas yang bisa didapat dari limbah gelundung. Seperti pada Rabu sore, ketika ditemui di pondoknya, mereka tengah menunggu proses gelundungan selesai. Tidak hanya menunggu hasil emas, tetapi juga bersiap untuk merendam limbah lumpurnya.
Lumpur sisa itu kemudian direndam dalam campuran air, sianida, dan kapur selama tiga hari. Hasil perendaman kemudian dibakar menggunakan karbon. Pembakaran campuran lumpur dan bahan-bahan kimia itu menghasilkan asap berbau tajam.
Manusia bisa terpapar
Peneliti Lingkungan dari Universitas Juanda, Bogor, Jawa Barat, Miftahudin, menjelaskan, pengolahan emas menggunakan merkuri dan sianida itu sejalan dengan sifat logam emas. Emas yang menempel pada batuan hanya bisa diikat oleh merkuri. Untuk menjadi emas murni, emas dan merkuri dipisahkan dengan cara mencucinya menggunakan sianida.
Sebagai pengguna, manusia bisa terpapar merkuri yang terserap lewat kulit dan rambut. Selain itu, limbah pengolahan yang mengalir ke sungai atau persawahan juga berpotensi memasukkan merkuri ke rantai makanan yang akhirnya masuk ke tubuh manusia.
Merkuri tergolong bahan berbahaya dan beracun yang penggunaannya dilarang. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minamata untuk Merkuri. Dampak racun bahan tersebut tidak hanya merusak kesehatan manusia, tetapi juga lingkungan.
Baca juga: Bahaya Pencemaran Merkuri
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 57 Tahun 2016 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Dampak Kesehatan Akibat Pajanan Merkuri Tahun 2016-2020 dijelaskan, merkuri merupakan logam berat yang terdiri dari tiga jenis, yaitu merkuri elemental, anorganik, dan organik. Ketiganya memiliki toksisitas dan efek kesehatan yang berbeda. Merkuri elemental, misalnya, sangat toksik terhadap sistem saraf pusat dan perifer. Sementara itu, merkuri anorganik menyebabkan iritasi pada mata, kulit, dan saluran pencernaan.
Berbagai bentuk merkuri yang terhirup, tertelan, dan terabsorpsi melalui kulit dapat menyebabkan gangguan saraf dan perilaku dengan gejala seperti kejang, insomnia, kehilangan daya ingat, pusing, serta disfungsi kognitif dan motorik. Ginjal dan sistem saraf pusat adalah dua organ yang menjadi target merkuri.
Kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan karena pengolahan emas menggunakan merkuri pun sudah terjadi dimana-mana. Contohnya, pada 2004, ada lebih dari 100 warga Buyat, Ratatotok, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, yang menderita penyakit minamata. Mereka diduga terkontaminasi logam berat arsen dan merkuri yang mencemari Teluk Buyat. Logam-logam berat ini diduga berasal dari limbah penambangan emas PT Newmon Minahasa Raya (Kompas, 21/7/2004).
Gejala penyakit minamata yang dialami warga diawali gatal-gatal dan kejang pada tubuh. Kemudian muncul benjolan dalam banyak varian di tangan, kaki, tengkuk, pantat, kepala, dan payudara. Pencemaran logam berat itu diduga berakibat kematian Andini Leizun, bayi berusia lima bulan, yang pada awal Juli 2004 menderita gatal, kejang, dan muncul benjolan di tubuhnya.
Efek merkuri juga telah merusak Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, yang sudah dirambah petambang emas liar secara masif sejak 2011. Pengolahan emas yang dilakukan di permukiman, persawahan, dan sungai telah mencemari ekosistem. Pada 2015, kandungan merkuri terbukti ada pada tubuh manusia dan udang, jumlahnya lebih tinggi ketimbang ambang batas aman (Kompas, 28/3/2019).
Penanggung jawab medis Puskesmas Ciemas, dr Anda Sumarna, mengatakan, sejauh ini belum ada penyakit yang terkonfirmasi disebabkan oleh pertambangan dan pengolahan emas. Hanya saja, ada beberapa petambang emas ilegal pernah berobat mengeluhkan gatal-gatal, batuk, dan sesak napas.
Anda menduga, penyakit kulit yang diderita beberapa orang terjadi karena iritasi merkuri. ”Sejauh ini, yang saya temukan kulit merah dan gatal, tetapi tanpa penyebab yang jelas. Kalau ditanya riwayat, pasti ada aktivitas pertambangan,” katanya.
Namun, puskesmas tidak pernah menguji keterkaitan antara penyakit warga dan pencemaran merkuri karena keterbatasan peralatan. ”Penyakit (akibat pencemaran merkuri) sifatnya tidak langsung tampak, bisa dalam beberapa tahun ke depan,” kata Anda.
Penyakit (akibat pencemaran merkuri) sifatnya tidak langsung tampak, bisa dalam beberapa tahun ke depan.
Presiden pun sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri. Di dalamnya memuat rencana untuk membatasi peredaran, penggunaan, dan pengendalian emisi merkuri secara bertahap. Selain itu, ada pula rencana untuk melarang produksi, penggunaan, dan penggantian merkuri dengan bahan alternatif yang lebih ramah pada manusia dan lingkungan. Ditargetkan, Indonesia bisa bebas merkuri pada 2030.
Perpres itu juga meminta pemerintah daerah setempat, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, untuk menyusun rencana aksi daerah pengurangan dan penghapusan merkuri tersebut. Akan tetapi, Bupati Sukabumi Marwan Hamami tidak merespons pertanyaan Kompas seputar hal ini. Ia hanya mengatakan, pihaknya membina warga yang masih mengolah emas menggunakan merkuri dengan mengadakan pelatihan.
Bahan beracun yang saat ini dibuang sembarangan itu belum terlihat merusak alam Ciletuh. Efek bahan berbahaya dan beracun yang terhirup dan tertelan juga tidak muncul seketika, masih tertutup kilau emas yang setiap hari diolah.