Mantra Tubuh Rianto, Pergumulan dan Peleburan Manusia dengan Semesta
Di aliran Sungai Pelus, Rianto penari lengger lanang Banyumas menggelar pertunjukan bertajuk ”Mantra Tubuh”. Berselimut gelap malam, berpayung sinar purnama, tarian itu merefleksikan bersatunya tubuh dengan alam raya.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Hujan baru saja reda saat jarum jam menunjuk angka tiga. Berbalut kabut dini hari dan berpayung temaram purnama, dua sosok manusia bergumul memanggungkan ”Mantra Tubuh” di tengah arus Sungai Pelus, Banyumas. Simbol bersatunya manusia dengan alam semesta.
Bermula dari gelap dan ketiadaan, sesosok tubuh manusia berdiri tegak di atas panggung yang dibangun di tengah Sungai Pelus, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Berlatarkan semak dan pepohonan hutan lereng Gunung Slamet, penari laki-laki bertelanjang dada dan berambut gondrong itu mulai mengangkat kaki bergantian. Ia berlari kecil di tempat seirama tabuhan kendang dari pemusik. Entakan kakinya menyibak air.
Ialah Dani (21), penari muda, mengawali pertunjukan tari berjudul ”Mantra Tubuh” karya Rianto (39), penari lengger lanang Banyumas. Sejurus kemudian, tangannya pun menyusul bergerak berputar, melingkar, ke depan, ke atas. Gerakannya menyibak asap pekat yang mengepul di sekitar panggung. Sorot lampu berwarna biru kemudian meredup mengiringi Dani yang menghilang ke dalam air dan sorot lampu berwarna hijau mengiringi kehadiran Rianto (39) ke atas panggung.
Sambil bertiarap dan seolah memeluk air, Rianto mengatupkan kedua tangan di atas kepala. Gerakannya seakan menyembah kepada Yang Kuasa sekaligus memohon restu atas pertunjukan dini hari itu. Sambil perlahan bangkit, Rianto pun meliuk-liukkan tubuhnya, berputar sekaligus menggerakkan kedua tangan serta melentikkan jari-jarinya, bahkan sesekali melompat sehingga menimbulkan cipratan air di atas panggung.
Sesaat kemudian terjalin interaksi antara Rianto dan pemusik Cakwati dan Rumpoko Setyoaji. Rianto yang tertarik mendekat ke sumber suara musik-musik tradisional, kemudian ditolak mendekat. Berkali-kali Rianto menjauh, lalu mendekat, diusir, menjauh lagi hingga akhirnya dia terlempar. Aneka ekspresi tersirat di wajahnya. Sedih. Penasaran. Bingung. Marah. Namun, di tengah keterasingan itu, tubuhnya secara alamiah bergerak mengikuti tabuhan musik yang ada.
Selanjutnya, Dani datang kembali membawa seutas tali tambang putih. Keduanya mulai berkolaborasi memainkan tali, saling menarik dan bergumul satu sama lain. Sorot lampu berpendar menjadi ungu. Gerakan-gerakannya kian dinamis dan ototnya berguratan di permukaan kulit. Tubuh mereka seolah bergerak sambil menerima energi lain yang ada di sekitarnya. Energi semesta yang melebur dalam diri keduanya. Pada pengujung pertunjukkan, keduanya saling membasuh dan menyiramkan air perlambang penyucian diri.
”Mantra tubuh ini diambil dari sebuah konsep tentang napas alam, napas tubuh manusia dan tubuh makhluk-makhluk yang hidup di bumi. Jadi, untuk pembersihan dari segala pikiran yang negatif ataupun hal-hal yang negatif, dan bersumber dari penguatan tubuh tradisi yang saya miliki dari bentuk-bentuk spiritual perjalanan ketubuhan saya bersinggungan dengan alam,” kata Rianto, Jumat (2/10/2020).
Pertunjukan ”Mantra Tubuh” itu disutradarai Agus Noor dan digelar di kompleks Baturraden Adventure Forest di Banyumas, Jawa Tengah. Itu adalah rangkaian proses rekaman video yang didukung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyambut Pekan Kebudayaan Nasional pada 31 Oktober 2020 yang digelar dalam jaringan. ”Karya Mantra Tubuh ini sebagai simbol dari bagaimana kita menyikapi, merefleksikan terhadap alam, respek terhadap alam, juga memaknai bahwa tubuh ini adalah bagian dari alam,” katanya.
Menurut Rianto, mantra-mantra dari tubuh penari ataupun ucapan-ucapan para pemusik sudah melewati beberapa sejarah yang dimediumkan pada masa sekarang. Menurut dia, sejarah dalam artian para leluhur yang sudah menciptakan pengetahuan melewati kebutuhan-kebutuhan dan juga melewati kehidupan dengan alam. Bagi Rianto, mantra tubuh ini panggungnya adalah alam karena bagaimana tubuh ini bisa melebur dengan alam.
Panggung saya sebenarnya panggung di mana pun ketika alam ini sudah menyediakan, itulah panggung saya. (Rianto)
Malam bulan purnama dipilih Rianto untuk pentas karena, menurut dia, bulan purnama bagi masyarakat di seluruh Nusantara memiliki kekuatan besar. Elemen dari Bulan, Matahari, Bintang, segalanya dari makhluk kosmos dan mikro kosmos yang ada di seluruh jagat ini terefleksi pada waktu bulan purnama. ”Panggung saya sebenarnya panggung di mana pun ketika alam ini sudah menyediakan, itulah panggung saya,” kata Rianto.
Pandemi
Dalam konteks pandemi Covid-19, Rianto berharap setiap tubuh-tubuh bisa merefleksikan tubuhnya masing-masing. ”Tubuh itu adalah bagian dari alam. Jadi, bagaimana kita bisa menjaga alam, bagaimana bersinergi dengan alam, yaitu dengan menjaga kebersihan. Kebersihan itu dimulai dari kebersihan diri kita sendiri, dari perasaan, batin, pikiran, segalanya,” tuturnya.
Bagi Rianto, kebudayaan adalah alam. Budaya itu muncul karena ada alam. Permenungan Rianto menghasilkan pemikiran bahwa alam membuat sebuah kebudayaan dan peradaban. Jadi, menurut dia, peleburan antara budaya dan alam itu sebuah unsur yang menyatu. Manusia adalah budaya.
”Apa yang ada di sekitar kita ataupun lingkungan kita itu adalah budaya yang mana siklus kehidupannya itu bernapas bersama,” paparnya.
Manusia wajib menjaga alam karena tubuh manusia sudah diberikan banyak sekali pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang berasal dari alam.
Rianto mengatakan, ketika alam itu rusak berarti merefleksikan tubuh kita juga yang rusak. Oleh karena itu, manusia wajib menjaga alam. Manusia wajib menjaga alam karena tubuh manusia sudah diberikan banyak sekali pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang berasal dari alam.
”Jadi, pikiran-pikiran negatif itu yang merusak tubuh kita. Jika Kita merusak alam, itu akan merusak tubuh kita. Sama saja. Tubuh kita, misalnya, seharusnya pakaiannya adalah pakaian batik, terus dipakai pakaian bikini itu juga tidak pas. Ketika tubuh kita dilukai orang lain atau orang lain melukai tubuh kita, sama saja itu merusak alam. Alam adalah refleksi dari tubuh kita,” paparnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sri Hartini mengatakan, karena Pekan Kebudayaan Nasional akan digelar dalam jaringan (online), para seniman yang terlibat pada Pekan Budaya Nasional itu melakukan rekaman di tempatnya masing-masing. Ada sekitar 20 lokasi rekaman di seluruh Indonesia. Video rekaman para seniman akan diputar selama sebulan penuh sepanjang November selama 1 jam setiap hari lewat TVRI serta saluran media sosial kementerian.
Untuk mendukung pergelaran tersebut, Sri mengatakan, kementerian mengalokasikan dana hingga Rp 70 miliar. Dana itu untuk memproduksi pertunjukan di sejumlah daerah dan melibatkan sekitar 5.000 pekerja seni. Kegiatan ini diharapkan bisa menjadi penyemangat dan energi baru bagi seniman terutama pada masa pandemi.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ahmad Mahendra menambahkan, pekan kebudayaan nasional (PKN) yang digelar ingin mengangkat tentang ketahanan masyarakat Indonesia menghadapi pagebluk.
”PKN ini berkaitan dengan ketahanan masyarakat semua, kita punya empon-empon, tradisi-tradisi, ritual-ritual yang berkaitan dengan ketahanan masyarakat. Ritual-ritual itu kan bagian dari menjaga diri dan kewaspadaan,” kata Mahendra.
Lewat seni dan budaya, manusia kembali diingatkan pentingnya menjaga dan menghormati alam seperti menjaga dan menghargai tubuhnya sendiri. Lewat tubuh Rianto yang melebur dalam pelukan alam semesta, tersimpan syukur atas anugerah dari Sang Pencipta. Dari lereng Gunung Slamet, di bawah pancaran sang purnama, terlantun pula doa dan harap supaya pandemi segera pergi.