Aksi Penolakan di Kendari Berujung Bentrok, 7 Orang Ditangkap
Bentrok antara demonstran penolak RUU Cipta Kerja dan aparat keamanan di Kendari tak terhindarkan dan berlangsung hingga malam hari. Tujuh peserta aksi ditangkap dan saat ini dimintai keterangan di Polda Sultra.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Bentrokan antara demonstran penolak Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja dengan aparat kepolisian di Kendari, Sulawesi Tenggara, tidak terhindarkan. Selain kantor DPRD Sultra yang rusak, sejumlah demonstran terluka dan tujuh orang ditangkap. Aparat masih menyisir dan membubarkan massa yang bertahan hingga malam hari.
Kericuhan dalam aksi penolakan RUU Cipta Kerja di Kendari terjadi hingga Kamis (8/10/2020) malam. Ratusan personel kepolisian berusaha membubarkan massa yang berkumpul di sekitar Gedung DPRD Sultra. Aksi saling lempar terus terjadi. Massa lalu mundur hingga sekitar 1 kilometer dari kantor DPRD Sultra. Hingga pukul 19.30 Wita, sejumlah demonstran masih bertahan di beberapa titik di Kendari.
Ketua DPRD Sultra Abdurrahman Saleh menyayangkan aksi penyampaian pendapat yang berakhir ricuh ini. Sebab, pihaknya telah menerima hampir semua organisasi dan aliansi yang datang menyuarakan penolakan RUU Cipta Kerja. Kantor DPRD Sultra bahkan sengaja dibuka agar demonstran bebas menyuarakan aspirasi.
”Kami terima semua dan menandatangani pernyataan sikap terkait RUU Cipta Kerja ini. Saya nyatakan juga menolak dengan tegas RUU Cipta Kerja ini karena bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas. Kami akan mengirim surat terkait hal ini ke pemerintah pusat,” ucap Rahman.
Akan tetapi, ia melanjutkan, saat akan menemui demonstran lain di luar gedung, lemparan batu tiba-tiba terjadi. Bentrok dengan aparat pun tidak terhindarkan. Sebagian kaca dan dinding gedung rusak terkena lemparan. Rahman menyayangkan adanya aksi anarkistis yang dilakukan sebagian demonstran. Seharusnya, aspirasi dilakukan dengan santun dan tidak merusak fasilitas umum.
”Itu mungkin cara mereka menyampaikan suara. Yang kami tekankan juga agar aparat keamanan tidak bertindak represif dalam melakukan pengamanan aksi. Saya pantau sampai sore masih sesuai protap, yaitu hanya dengan gas air mata dan water cannon,” ucapnya.
Kericuhan di Kendari mulai terjadi saat ribuan peserta unjuk rasa menduduki kantor DPRD Sultra, jelang sore. Massa di luar area kantor mendesak agar perwakilan DPRD menemui mereka dan menjelaskan posisi DPRD Sultra terkait RUU Cipta Kerja yang telah disahkan untuk menjadi undang-undang oleh DPR beberapa hari sebelumnya.
Akan tetapi, belum sempat ditemui, lemparan batu dari arah belakang massa terjadi. Ratusan demonstran lalu ikut terpancing dan melempari kantor DPRD Sultra. Aparat kepolisian menembakkan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan massa. Sejumlah demonstran terlihat terluka akibat terkena lemparan batu dan gas air mata. Beberapa peserta aksi juga terlihat dibawa aparat saat kejar-kejaran terjadi.
Pelaksana Harian Kepala Bidang Humas Polda Sultra Komisaris Besar La Ode Proyek mengatakan, pembubaran massa akan dilakukan jelang malam. Lebih dari setengah jumlah personel Polda Sultra disiagakan untuk menjaga keamanan dalam aksi penolakan RUU Cipta Kerja kali ini. Sejumlah demonstran juga diamankan dan tengah diinterogasi.
”Total ada tujuh orang yang diamankan dalam aksi tadi, Mereka saat ini diperiksa di Polda Sultra untuk didalami keterangannya. Nanti setelah itu baru akan diketahui tindak lanjut setelah dimintai keterangan,” katanya.
Selama aksi, tambah Proyek, aparat bertindak preventif dalam pengamanan. Semua personel tidak dibekali dengan senjata api dan peluru tajam. ”Bisa dilihat kami sejak tadi hanya melakukan tindakan preventif, mengamankan area kantor DPRD Sultra agar tidak terjadi aksi perusakan dan pembakaran. Kami hanya menghalau dengan water cannon dan gas air mata,” katanya.
Ribuan demonstran mendatangi Gedung DPRD Sultra sejak pagi hingga siang hari. Mereka bergantian melakukan orasi dan menyuarakan pendapat terkait disetujuinya aturan omnibus law ini. Mahasiswa dari Universitas Halu Oleo (UHO), IAIN Kendari, HMI, PMII, dan elemen lainnya turun bersama. Mereka membakar ban, melakukan orasi, dan meneriakkan lagu perjuangan.
Rahmat Manangkiri, salah seorang koordinator dari Universitas Halu Oleo, mengungkapkan, poin demi poin RUU Cipta Kerja tidak hanya menyengsarakan buruh, tetapi juga memberi ”karpet merah” terhadap investasi asing. Hal tersebut menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap masyarakat kecil. ”Asing diistimewakan, pengusaha diberi karpet merah, dan buruh ditindas. Karena itu, kita harus tolak omnibus law dan duduki DPRD Sultra,” ucapnya.
Harli Basukri dari IAIN Kendari mengungkapkan, aksi kali ini adalah aksi damai sebagai bentuk komitmen mahasiswa terhadap inkonsistensi pemerintah. Dalam kondisi pandemi Covid-19, DPR dan pemerintah membahas dan menyetujui RUU Cipta Kerja yang tidak berpihak ke masyarakat.
”Setiap kebijakan, aturan, harus berdasarkan kepentingan masyarakat banyak. Namun, omnibus law ini menerabas hak buruh, lingkungan hidup, hingga pendidikan. Hal ini merupakan kejahatan terorganisasi,” ucapnya.
Oleh karena itu, tambah Harli, mahasiswa menuntut agar Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan aturan untuk membatalkan RUU Cipta Kerja yang tidak berpihak pada rakyat tersebut. Aturan ini sama saja membuat rakyat semakin menderita karena itu harus dibatalkan.