Tantangan Mitigasi Ganda di Sulteng
Kemiskinan dan ancaman bencana tektonik di Sulawesi Tengah sama-sama menentukan eksistensi daerah itu ke depannya.
Kemiskinan dan bencana tektonik sama-sama mengancam eksistensi Provinsi Sulawesi Tengah dari waktu ke waktu. Pemimpin hasil Pemilihan Kepala Daerah 2020 harus mendesain secara terukur upaya mitigasi kedua masalah tersebut agar daerah yang terus berkembang itu bisa hebat dan warganya makin cerdas.
Provinsi Sulteng akan menggelar Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur pada 9 Desember 2020 bersama delapan provinsi lain dan 261 kabupaten/kota dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 yang diadakan serentak. Pasangan calon yang bertarung adalah Hidayat Lamakarate-Bartholomeus Tandigala dan Rusdy Mastura-Ma’mun Amir.
Tantangan terbesar yang menunggu kepala daerah baru nanti adalah kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Sulteng dalam lima tahun terakhir tak menurun signifikan. Badan Pusat Statistik Sulteng mencatat, pada September 2015, jumlah penduduk miskin 408.340 jiwa atau sekitar 14,07 persen dari jumlah penduduk.
Jumlah tersebut hanya menurun tipis menjadi 404.030 jiwa pada 2019 (13,18 persen). Pada Maret 2020, turun tipis menjadi 398.730 (12,92 persen). Angka kemiskinan Sulteng lebih tinggi dari angka kemiskinan nasional, sebesar 9,22 persen pada September 2019 atau 9,41 persen pada Maret 2020.
Tak kurang dari 80 persen warga miskin bermukim di desa. Jumlah penduduk miskin terbanyak di Kabupaten Parigi Moutong dengan 81.360 jiwa dan Donggala 55.830 jiwa. Jumlah penduduk miskin seprovinsi tersebut bahkan lebih banyak dari jumlah penduduk Kota Palu sebanyak 391.380 jiwa. Palu, ibu kota Provinsi Sulteng, merupakan daerah dengan konsentrasi terbesar penduduk di Sulteng.
Kondisi kemiskinan itu ironis karena Sulteng dalam beberapa tahun terakhir kerap mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional. Salah satu dampak langsung kemiskinan adalah tak berubah drastisnya angka partisipasi sekolah, terutama pada rentang usia 19-24 tahun. Pada 2013, persentasenya 21,76 persen, lalu ”hanya” naik menjadi 26,31 persen pada 2017. Angka itu naik tipis menjadi 27,39 persen pada 2019.
Astati (45), warga Desa Sidera, Kecamatan Sigi Biromaru, mengalami langsung kondisi itu. Empat tahun lalu, ia tak bisa membiayai pendidikan lanjut anak sulungnya karena kesulitan biaya kuliah.
”Saya juga pikir-pikir apakah dua anak saya yang saat ini di SMA bisa lanjut kuliah atau tidak. Saya ingin mereka kuliah, tapi situasinya susah,” ujar warga RT 003, Dusun 1, Desa Sidera, yang berjarak 20 kilometer dari Palu, saat ditemui, Jumat (2/10/2020).
Astati, yang suaminya bekerja sebagai buruh tani, berharap pemerintahan hasil Pilgub Sulteng 2020 bisa membantu menyekolahkan anaknya dengan beasiswa. Dengan stimulan itu, masa depan anaknya bisa lebih baik daripada kehidupannya.
Selain itu, ibu empat anak itu menginginkan pemerintah memberikan modal usaha sebagai rangsangan untuk membuka usaha kecil skala rumahan. Ia yang mendapatkan Program Keluarga Harapan karena pandemi Covid-19 punya usaha kecil berjualan gorengan di pinggir jalan.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, Palu, Ahlis Djirimu, melihat selama ini tak ada program istimewa untuk pengentasan warga dari kemiskinan di Sulteng. Alhasil, jumlah warga miskin tak berkurang signifikan. ”Program yang digulirkan hanya bersifat memadamkan api,” ujarnya.
Program-program pengentasan rakyat miskin selama ini, antara lain, Program Keluarga Harapan dari pemerintah pusat dan bantuan modal usaha atau sarana produksi dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Program di pemerintah daerah bersifat sporadis, tersebar di berbagai organisasi perangkat daerah (OPD). Pemerintah Provinsi Sulteng sempat menelurkan program bedah rumah selama lima tahun (2011-2015), tetapi tak dilanjutkan lagi.
Ahlis melihat postur APBD yang tak kurang dari Rp 4 triliun selama ini sangat kecil porsinya untuk ”urusan” masyarakat. Separuh lebih anggaran dihabiskan untuk belanja pegawai atau urusan birokrasi yang kadang tumpang tindih.
Menurut Ahlis, pengentasan rakyat dari kemiskinan perlu dirancang dengan baik dan sinergis antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Salah satu caranya dengan pendekatan spasial (kewilayahan). Pemerintah memetakan dulu di daerah mana kemiskinan diberantas lalu fokus di desa-desa dengan penanganan yang sesuai konteks yang dihadapi warga dengan berbasis rumah tangga.
”Kalau memang modal usaha yang cocok, lakukan dengan memanfaatkan badan usaha milik desa. Infrastruktur digital untuk pemasaran, misalnya, harus disediakan dan warga dilatih memanfaatkan sarana digital,” katanya.
Dalam jangka pendek, lanjut Ahlis, pendekatan padat karya bisa diterapkan. Proyek-proyek pemerintah yang menyebar ke desa-desa, seperti jalan, bisa dijadikan ”arena” untuk padat karya. Tujuannya agar warga tetap memiliki kas sehingga daya beli terjaga di luar masa panen pertanian. Program ini tak bisa disubstitusi sepenuhnya oleh dana desa yang terbatas jumlahnya.
Untuk memastikan stimulan penanganan kemiskinan berjalan baik, pengajar sosiologi Universitas Tadulako, Cristian Tindjabate, menyarankan pemerintah untuk memahami akar persoalan yang dihadapi masyarakat. Biasanya, kemiskinan karena tiga faktor, yakni kondisi atau kejadian alam/natural, seperti tanah tidak subur atau bencana; lalu faktor struktural berupa kebijakan yang tak tepat; dan masalah budaya/kultural, cara pandang atau perilaku yang melanggengkan kemiskinan.
”Meskipun pernah terjadi pada 2018 dengan gempa, saya lebih yakin faktor struktural dan kultural yang jadi masalah di Sulteng,” ucapnya.
Untuk itu, ia meminta pengentasan orang miskin perlu dievaluasi secara menyeluruh. Program-program yang menyebar di sejumlah OPD harus dilihat ulang dengan merujuk pada indikator kemandirian keluarga atau warga miskin. Jika dalam beberapa tahun warga masih berkategori miskin, itu berarti intervensi yang dilakukan tak menjawab persoalan yang dihadapi.
”Kalau memang kebijakannya tidak cocok, ya, diganti. Harus dipastikan stimulan yang diberikan kepada warga miskin mampu membangkitkan potensinya untuk mandiri. Pemimpin hasil pilkada diharapkan mendesain ulang upaya penanganan kemiskinan karena indikator kemajuan utamanya adalah menurunnya jumlah penduduk miskin,” katanya.
Mitigasi bencana
Di tengah pergulatan dengan masalah kemiskinan, Sulteng juga menghadapi potensi bahaya lain yang tak kalah serius, yakni bencana alam. Bencana pun bisa memperparah masalah kemiskinan.
Namun, di luar itu, masalah ini menjadi sangat krusial karena berkaitan langsung dengan keselamatan manusia, seperti yang telah ditunjukkan saat gempa yang disusul tsunami dan likuefaksi pada 28 September 2018. Tewasnya tak kurang dari 4.000 orang pada gempa dua tahun lalu harus jadi cermin besar betapa Sulteng yang rawan bencana tektonik rapuh dalam menyiapkan mitigasi.
Hampir semua daerah di Sulteng rawan bencana tektonik. Selain di Palu, Sigi, dan Donggala dengan sumber gempa Sesar Palu Koro, Kabupaten Buol dan Tolitoli juga dalam bayang-bayang ancaman gempa dan tsunami dari zona Subduksi Sulawesi utara di laut Sulawesi. Gempa bermagnitudo 7,7 pernah mengguncang Buol meskipun tak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Gempa juga tak diikuti tsunami.
Di Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai Laut, banyak sumber gempa yang berpotensi mengguncang tiga daerah itu kapan saja. Pada 2000, gempa diikuti tsunami menghantam Banggai Kepulauan. Tak kurang dari 50 orang tewas. Gempa kembali terjadi pada awal April 2019 dengan magnitudo 6,9, tanpa adanya korban.
Di Morowali dan daerah di dekatnya, Morowali Utara, ada pembangkit bencana berupa Sesar Matano yang terbentang dari Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, menuju laut di Bahodopi, Morowali. Daerah-daerah sekitar sesar itu saat ini menjadi kawasan pertambangan dan diikuti berkembangnya permukiman. Sesar ini belum tercatat menghasilkan gempa besar lagi setelah era 1900-an dengan kekuatan M7.
Sumber-sumber bencana itu sudah lama diketahui, tetapi tak dijadikan bagian dari kebijakan pembangunan pengurangan risiko. Tak apa-apa permukiman di bangun di pesisir, tetapi warga dibekali dengan pengetahuan mitigasi agar selamat dari bencana.
Saya hanya dengar soal potensi gempa dan tsunami di Buol dari mulut ke mulut atau isu-isu begitu.
Di Buol, ibu kota Kabupaten Buol, dan permukiman lain yang berada di pantai tak terlihat petunjuk arah evakuasi. Tak ada pula simulasi menghadapi situasi darurat bencana. Warga bahkan tak pernah mendengar secara resmi kerentanan daerah itu terhadap gempa dan tsunami.
”Saya hanya dengar soal potensi gempa dan tsunami di Buol dari mulut ke mulut atau isu-isu begitu. Bagaimana persisnya saya tak pernah mendengar langsung dari pemerintah,” ujar Zukri (40), warga Buol.
Dua rupa mitigasi itu harus menjadi perhatian utama pasangan calon Hidayat Lamakarate-Bartholomues atau Rusdy Mastura-Ma’mun Amir jika terpilih nanti. Keduanya memang menjanjikan gelontoran anggaran stimulan untuk pemberdayaan serta perbaikan infrastruktur, tetapi bisa jadi program-program itu hanya replikasi dari yang sebelumnya. Persoalan bisa bertambah pelik karena masalah mitigasi tak sepenuhnya jadi perhatian besar kedua pasangan calon.
Pertarungan politik
Dengan tetap menggarisbawahi dua isu penting sebelumnya, pertarungan pasangan calon Hidayat-Bartholomeus dan Rusdy-Ma’mun punya banyak variabel menarik, mulai dari sepak terjang hingga peta kekuatan partai politik.
Hidayat-Bartholomeus berlatar belakang murni birokrat. Hidayat adalah mantan Sekretaris Daerah, sedangkan Bartholomeus adalah mantan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sulteng.
Di pihak lain, Rusdy-Ma’mun adalah politisi tulen. Rusdy, yang disapa Cudy, adalah mantan Wali Kota Palu dua periode. Ma’mun pernah menjadi Bupati Banggai lalu anggota DPD. Modal-modal tersebut tentu keuntungan tersendiri bagi para calon.
Baca juga : Koalisi Gemuk Berhadapan dengan Koalisi Ramping di Pilgub Sulteng
Dari segi dukungan partai politik dengan tolok ukur kursi di DPRD Sulteng, kontestasi Hidayat-Bartholomues dan Rusdy-Ma’mun bak pertarungan koalisi ramping melawan gemuk. Hidayat disokong PDI-P dan Gerindra dengan 12 kursi. Sementara Rusdy didukung 33 kursi dengan motor utama Partai Nasdem.
Kantong-kantong suara diperkirakan juga menjadi arena perebutan. Kota Palu dengan pemilih terbanyak, misalnya, menjadi medan kontestasi menarik karena Hidayat dan Rusdy sama-sama memiliki irisan di ibu kota Provinsi Sulteng itu.
Baso Lamakarate, ayah Hidayat, pernah menjabat sebagai Wali Kota Palu (2000-2004). Artinya, pengaruh Baso dapat menjadi modal penting bagi Hidayat. Sementara, Rusdy dua kali memimpin Kota Palu (2005-2010, 2010-2015). Memimpin selama satu dekade, tentu pengaruh Rusdy juga membekas di benak warga Palu.
Tentu saja, kalkulasi tersebut hanya gambaran peta politik. Banyak faktor yang berkelindan yang menjadi preferensi politik seseorang. Jawaban absolutnya ditentukan pada 9 Desember 2020.
Baca juga : Dua Paslon Pilgub Sulteng Berkomitmen Cegah Polarisasi Masyarakat