Mahasiswa Yogyakarta Menilai UU Cipta Kerja Lemahkan Perlindungan Tenaga Kerja
Unjuk rasa untuk menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja mulai terjadi di Yogyakarta, Rabu (7/10/2020). Demonstran menilai UU tersebut menghilangkan perlindungan kepada buruh dan tenaga kerja.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Mahasiswa di Kota Yogyakarta menggelar unjuk rasa menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, Rabu (7/10/2020). Mereka menilai sejumlah pasal dalam undang-undang tersebut menghilangkan perlindungan terhadap para tenaga kerja.
Unjuk rasa digelar sekelompok mahasiswa yang menamakan dirinya Aliansi Seruan Mahasiswa Bersatu. Aksi tersebut digelar di Simpang Tiga Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada sekitar 80 orang terlibat dalam unjuk rasa itu.
”Tidak ada negosiasi politik bagi Omnibus Law (Undang-Undang Cipta Kerja). Kawan-kawan bersepakat bahwa, mau tidak mau, suka tidak suka, undang-undang ini harus dicabut. Karena, kami pikir undang-undang ini mengerikan,” kata Koordinator Umum Aliansi Seruan Mahasiswa Bersatu, Prabutapa, di lokasi aksi.
Prabutapa menyoroti sejumlah peraturan yang menghilangkan perlindungan terhadap buruh dalam paket undang-undang tersebut. Salah satunya, tenaga kerja hanya akan dikontrak tanpa kepastian pengangkatan sebagai karyawan tetap.
Lebih dari itu, Prabutapa menyayangkan sikap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terkesan abai terhadap berbagai penolakan publik terhadap Undang-Undang Cipta Kerja. Para wakil rakyat tetap saja mengesahkan peraturan yang menimbulkan berbagai aksi penolakan di sejumlah daerah.
”Masyarakat seperti tertipu. Lagi pula, ini masa pandemi (Covid-19). Rakyat dirumahkan. Aktivitas sosial dibatasi. Kenapa Undang-Undang (Cipta Kerja) ini seperti dipaksakan pengesahannya?” kata Prabutapa.
Prabutapa menambahkan, aksi-aksi unjuk rasa akan terus berlangsung. Gelombang perlawanan tidak akan berhenti hingga Undang-Undang Cipta Kerja dibatalkan. Pihaknya juga akan berkoordinasi dengan gerakan-gerakan masyarakat lain yang mempunyai visi sama mengenai peraturan tersebut.
Berdasarkan pantauan, aksi unjuk rasa yang digelar Aliansi Seruan Mahasiswa Bersatu berlangsung kondusif. Massa aksi mulai datang memadati lokasi aksi sekitar pukul 17.00. Lebih kurang pukul 18.15, massa mulai membubarkan diri. Lalu lintas dari simpang tiga, yang menjadi lokasi aksi, sempat tersendat. Namun, lalu lintas berangsur lancar setelah massa meninggalkan lokasi unjuk rasa.
Dihubungi terpisah, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa, Keluarga Mahasiswa, Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM) M Sulthan Farras menyampaikan, pihaknya tengah menyiapkan surat terbuka kepada para akademisi dari perguruan tinggi tersebut. Surat terbuka itu berisi tentang sikap para akademisi mengenai Undang-Undang Cipta Kerja. Para akademisi yang dimaksud itu terdiri dari Dewan Guru Besar UGM, Senat Akademik UGM, dan Rektorat UGM.
”Kami ingin, UGM sebagai institusi akademis, yang memegang peran penting, yang mengakar pada keberpihakan masyarakat itu punya sikap yang jelas (terhadap Undang-Undang Cipta Kerja),” kata Sulthan.
Lebih lanjut, Sulthan menyampaikan, pihaknya juga akan melakukan aksi menutup tulisan Universitas Gadjah Mada di Bundaran UGM dengan kain hitam. Kain hitam itu bertuliskan ”Mosi Tidak Percaya”, Kamis (8/10/2020). Menurut rencana, mereka juga akan bergabung dalam unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja bersama elemen masyarakat lainnya yang digelar di Gedung DPRD DIY, Yogyakarta, Kamis.
”Turun ke jalan adalah bentuk kekecewaan paling ekstrem. Ketika masyarakat sudah turun ke jalan, ini kredibilitas pemerintah dan legislatif sangat dipertanyakan. Jangan sampai nanti ketika pemerintahan ini berjalan tanpa kepercayaan masyarakat. Itu akan jadi bumerang yang berbahaya, terutama bagi pemerintah saat ini,” kata Sulthan.