Para buruh sawit di Kalimantan Tengah belum sejahtera dengan sistem kerja dan pengupahan perusahaan. Kondisi itu akan jauh lebih buruk ketika UU Cipta Kerja dijalankan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Di masa pandemi Covid-19, para buruh kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah masih terus bekerja. Sebagian besar dari mereka bekerja dengan sistem borongan dengan target yang tidak masuk akal. Nasib ini akan jauh lebih buruk dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja.
Suryanti (40), buruh sawit tetap di sebuah perusahaan perkebunan di Desa Tabiku, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, sudah 15 tahun bekerja. Ibu empat anak itu biasanya bertugas memanen buah sawit dan membersihkan rumput liar di sekitar pohon sawit.
Ia bekerja sejak pukul 07.00 WIB, lalu beristirahat pukul 11.00 WIB, dan bekerja kembali pada pukul 14.00 WIB. Meski sudah menjadi buruh tetap, ia mendapatkan upah dengan sistem borongan. Sistem itu ditarget, jika tidak memenuhi target, upahnya dipotong.
Suryanti menjelaskan kepada Kompas, caranya memanen atau yang ia sebut menjangkos itu menggunakan dodos sebuah alat panen seperti tombak dengan ujung pisau. Dalam sehari, ia ditarget bisa memanen satu lorong dengan lima hingga enam pekerja lainnya. Namun, tak jarang ia sendirian.
Satu lorong itu, menurut Suryanti, bisa mendapatkan 26 ton buah tandan sawit yang memenuhi dua truk. Satu truk berkapasitas 13 ton. Jumlah itu tidak pernah bisa ia penuhi sendiri.
”Saya dan kawan-kawan sering mendapatkan target borongan tiga lorong dengan upah Rp 107.000. Upahnya kadang dipotong kalau enggak selesai,” kata Suryanti saat dihubungi dari Palangkaraya, Rabu (7/10/2020).
Biasanya, lanjut Suryanti, ia mendapatkan Rp 60.000 atau Rp 50.000 per hari. ”Jadi, saya lebih baik kerja dulu, nanti dalam seminggu atau sebulan baru saya ambil upahnya. Biasa dapatnya banyak,” kata Suryanti.
Hal serupa terjadi di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng. Sekretaris Serikat Pekerja Sawit Indonesia (Sepasi) Provinsi Kalteng Dianto Arifin mengungkapkan, ratusan ribu buruh kebun sawit di Kalteng saat ini diupah dengan sistem kerja borongan. Sistem itu juga dilakukan dengan target yang tidak logis.
”Sistem itu, kan, menggunakan target. Misalnya, kalau hari ini memupuk targetnya 40 karung per hari, tetapi normalnya kami hanya bisa 25 karung. Jadi, upahnya dibayar setengah saja,” kata Dianto.
Dianto mengungkapkan, jika bisa memenuhi target borongan, buruh mendapatkan Rp 119.000 per hari. Namun, situasi di lapangan berbeda. ”Paling upah hanya setengahnya, padahal kami kerja kadang tak pakai pelindung diri, bahkan kami beli sendiri peralatan,” katanya.
Dengan disahkannya UU ini, akan semakin membenarkan sikap perusahaan yang memperlakukan buruh harian dengan buruk.
Keputusan DPR yang menyetujui RUU Cipta Kerja agar disahkan menjadi undang-undang memicu banyak respons hingga ke daerah. Di Palangkaraya, mahasiswa mulai berdemo meski dihadang dan dibubarkan polisi.
Ketua Palangkaraya Ecological and Human Rights Studies atau Lembaga Penelitian dan Pelatihan terkait Lingkungan dan HAM (Progress) Kartika Sari mengungkapkan, pihaknya masih menemukan buruh harian lepas (BHL) yang diupah Rp 84.000 per hari seperti yang terjadi di Kabupaten Seruyan. Padahal, mereka sudah bekerja bertahun-tahun.
”Ada yang di-PHK sepihak, buruh tanpa jaminan kesehatan, belum lagi persoalan jaminan keselamatan, dan fasilitas kerja. Kondisi yang sudah buruk ini akan jauh lebih buruk lagi karena kebijakan tersebut,” kata Kartika.
Kartika mengungkapkan, UU Cipta Kerja atau omnibus law akan semakin menguatkan perusahaan dalam perlakuan buruk terhadap buruh. ”Dengan disahkannya UU ini, akan semakin membenarkan sikap perusahaan yang memperlakukan buruh harian dengan buruk,” katanya.