Menanti Angin Segar Bagi Komoditas Unggulan Bumi Nyiur Melambai
Pertanian dan perkebunan adalah napas utama Sulawesi Utara. Warga pun menantikan angin segar dari calon pemimpin provinsi untuk mengangkat sektor yang kerap jatuh-bangun itu.
Segala macam tanaman bisa tumbuh di Sulawesi Utara yang tanahnya subur. Sektor pertanian pun menjadi tulang punggung utama perekonomian Bumi Nyiur Melambai, tetapi para petani tak merasa sejahtera. Mereka menantikan sosok gubernur dan wakil gubernur yang dapat mendongkrak harga.
“Seharusnya, harga jual cengkeh dari petani itu minimal Rp 90.000 per kilogram. Kalau sudah begitu, baru petani bisa sejahtera. Setidaknya berkecukupan,” kata John Watti (80), tokoh petani cengkeh asal Sonder, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, akhir Juli lalu.
Harga cengkeh saat itu Rp 61.000 per kg, lebih rendah dari kisaran Rp 70.000 per kg pada masa panen 2019. Menurut John, 1 kg cengkeh kering berasal dari 6 liter cengkeh basah. Artinya, seliter cengkeh basah bernilai sekitar Rp 10.000.
Nilai itu sudah terpangkas setengah untuk upah buruh petik cengkeh. Belum lagi ada biaya lain seperti tangga bambu, terpal, upah buruh jemur cengkeh, dan perawatan kebun yang totalnya jutaan rupiah.
John hanya dapat mengenang masa kejayaan cengkeh di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang harganya mencapai Rp 70.000 per kg. Waktu itu, harga emas Rp 80.000-Rp 90.000 per gram.
Harga cengkeh di tingkat petani jatuh semakin dalam pada Agustus 2020 menjadi Rp 55.000 per kg. Perlambatan aktivitas pabrik rokok di Jawa, konsumen utama cengkeh asal Sulut, akibat pandemi Covid-19 adalah penyebabnya.
Vivi (49), petani cengkeh asal Minahasa, telanjur mengacu harga jual tahun lalu untuk menetapkan upah buruh petik sebesar Rp 4.500 per liter. Untungnya pun jadi tipis. “Seharusnya pemerintah bisa umumkan harga yang berlaku menjelang panen agar kami bisa menyesuaikan biaya,” kata dia.
Pemprov Sulut telah menyatakan berhasil mendorong Kementerian Keuangan memangkas pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen menjadi 1 persen untuk penjualan cengkeh dari pedagang ke pabrik. Pedagang pengumpul diharapkan tak perlu menekan harga beli dari petani. Akan tetapi, dampaknya tak dirasakan petani.
Sebaliknya, petani kelapa bisa sedikit bernapas lega. Harga kopra saat ini Rp 8.700 per kg. Bagi George Umpel, ketua Asosiasi Petani Kelapa Sulawesi Utara yang tinggal di Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan, keadaan pernah jauh lebih buruk saat harga kopra hanya Rp 4.000 per kg.
Keuntungan bersih petani didapat dari total penjualan kopra dipotong setengah untuk upah buruh pengasap kelapa. Namun, semakin sulit mencari buruh yang mau membuat kopra karena harganya fluktuatif.
Baca juga: Mencari Figur Nakhoda ”Bumi Segantang Lada” Kepulauan Riau
“Makanya, banyak juga yang jual butiran karena lebih cepat terjual. Harga kelapa butir bahkan lebih tinggi, Rp 2.100-2.200 per butir. Butuh enam butir kelapa untuk membuat 1 kg kopra,” kata George.
Menurut George, harga kopra yang ideal setara dengan beras premium. Sangat bagus jika harganya sekarang bisa mencapai Rp 10.000 per kg.
Meski harga komoditas rendah, sektor pertanian selalu menyumbang rata-rata 13,19 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Sulut selama 2015-2019. Sebagai perbandingan, pariwisata sebagai sumber pertumbuhan baru, kontribusinya mencapai 13,15 persen.
Nilai PDRB dari pertanian pun terus naik dari Rp 9,76 triliun pada 2015 menjadi Rp 11,47 triliun pada 2019. Tanaman perkebunan selalu memberi sumbangan terbesar, rata-rata Rp 4,63 triliun pada 2019.
Tak mengherankan jika sawah dan kebun, bersama sektor perikanan, menjadi lapangan kerja terbesar bagi warga Sulut. Tak kurang dari 322.683 dari 1,13 juta orang dalam angkatan kerja hidup sebagai petani, peternak, dan nelayan.
Statistik menunjukkan perekonomian Sulut bertumpu pada kinerja petani dan nelayan. Namun, keluhan harga rendah yang senantiasa terdengar membuktikan sektor andalan ini belum membawa kesejahteraan bagi penggeraknya. Nilai tukar petani (NTP) Sulut pun tak pernah mencapai angka 100 selama 2019 hingga September 2020.
Produktivitas ikut anjlok di tengah luas dan suburnya lahan. Meski Sulut adalah daerah dengan lahan perkebunan kelapa terluas kedua di Indonesia (275.524 hektar), produktivitasnya hanya di peringkat ketujuh nasional (1.217 kg per hektar).
Lebih ironis lagi, lahan cengkeh terluas Indonesia ada di Sulut (75.371 hektar), tetapi produktivitasnya bertengger di posisi ke-29 nasional (125 kg per hektar). Karena itu, petani seperti George berharap pemenang kursi gubernur-wakil gubernur Sulut pada Pilkada 2020 bisa membawa perbaikan harga dan produktivitas.
“Jantung Sulut adalah pertanian. Kita butuh pemimpin yang fokus memperkuat usaha tani, menyediakan pupuk dan bibit unggul, serta memperbaiki harga. Pemimpin seperti itulah yang disukai rakyat,” kata George.
Janji
Tiga pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur tampil dengan janji. Sesuai nomor urut, mereka adalah (1) Christiany Eugenia Paruntu-Sehan Salim Landjar, (2) Vonnie Anneke Panambunan-Hendry Runtuwene, dan (3) Olly Dondokambey-Steven Kandouw.
Christiany, yang akrab dipanggil Tetty, mengaku miris melihat harga cengkeh yang anjlok dan kopra yang tak pernah naik. Ia berjanji akan membeli cengkeh petani dengan harga lebih bagus.
Baca juga: Benang Kusut Pengangguran Sumbar
“Kalau kami dipilih rakyat, kami akan beli cengkeh lewat dana APBD. Kami akan beri anggaran kepada BUMD (badan usaha milik daerah). Kami beri standar harga melalui kajian bersama para ahli,” kata Tetty, 6 September lalu, setelah pendaftaran bakal paslon.
Tetty juga menyatakan akan membuat badan penyangga cengkeh sebagaimana pernah dilakukan pemerintah pusat pada awal 1980-an dengan mendirikan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). “Ini bukan hanya janji, tapi akan kami lakukan,” kata dia.
Pasangan Vonnie-Hendry tak ketinggalan menyerukan janji bagi petani dan nelayan di hari yang sama. Namun, keduanya tidak memaparkan garis besar atau memberi contoh kebijakan yang akan mereka ambil.
“Saya ingin meningkatkan pertanian, mulai dari kelapa, cengkeh, dan lain-lainnya. Perikanan juga. Sulut ini tanahnya sangat subur, lautnya luas. Jika saya terpilih jadi gubernur, saya akan bisa meningkatkan semua itu,” kata Vonnie.
Mereka berencana mengoperasionalkan Terminal Peti Kemas Bitung sebagai pelabuhan simpul ekspor ke kawasan Pasifik demi meningkatkan harga dan daya saing produk unggulan Sulut. Ini tertera dalam visi dan misi mereka.
Sementara itu, petahana Olly-Steven tancap gas lebih dulu. Akhir Juli 2020, di depan para petani di Tomohon, Olly menyatakan rencana program asuransi bagi para petani dalam susunan APBN 2021. Asuransi itu diberikan sebagai ganti rugi kegagalan panen.
“Kalau datang musim hama lalu petani diserang, ruginya langsung tiga bulan. Nanti pemerintah yang menanggung (risiko gagal panen),” kata Olly saat itu. Janji itu ia ulangi lagi jelang kampanye, kali ini disebutnya program andalan yang membidik petani dan peternak.
Jualan mereka hampir sama, semua teriak pertanian.
Olly-Steven menyatakan, penguatan ekonomi Sulut bertumpu pada pertanian, perikanan, pariwisata, dan jasa. Mereka pun berjanji menambah nilai jual pertanian dan perikanan Sulut melalui ekspor ke kawasan Pasifik melalui Terminal Peti Kemas Bitung, mimpi yang sampai kini belum terealisasi.
Meski program telah diwacanakan, Ferry Daud Liando, pengajar Ilmu Pemerintahan Universitas Sam Ratulangi, sangsi ini akan menjadi acuan utama bagi pemiih dalam menentukan pilihan. “Jualan mereka hampir sama, semua teriak pertanian. Ini justru bikin masyarakat bingung, seakan-akan ketiga calon ini copy-paste visi dan misi,” kata Ferry.
Pengaruh ketokohan
Menurut Ferry, faktor ketokohan dan identitas para calon maupun tim suksesnya akan lebih berpengaruh. Apalagi, lima dari enam kontestan pemilihan gubernur Sulut masih berstatus kepala daerah, yaitu Tetty di Minahasa Selatan, Sehan (Bolaang Mongondow Timur), Vonnie (Minahasa Utara), dan Olly-Steven sebagai petahana.
Mereka pun dapat memobilisasi dukungan dari daerah yang mereka pimpin sekaligus dengan memanfaatkan pengaruh bupati dan wali kota separtai. Pengaruh untuk menggalang dukungan akan semakin kuat jika calon adalah elite partai, seperti Tetty (Golkar), Sehan (PAN), dan Olly (PDI-P).
Dengan begitu, basis dukungan Tetty-Sehan kuat di Minahasa Selatan, Bolaang Mongondow Timur, Tomohon, dan Kepulauan Sangihe. Keberadaan Sehan sebagai satu-satunya calon Muslim dan berasal dari Bolaang Mongondow Raya juga dapat menarik para pemilih sosiologis yang memilih berdasarkan kesamaan latar belakang identitas dan kedekatan emosional.
Namun, keretakan internal Golkar dapat menyebabkan kebocoran lumbung suara. Kader Golkar seperti Wakil Wali Kota Tomohon Syerly Adelyn Sompotan dan mantan Wali Kota Manado Jimmy Rimba Rogi berbalik mendukung Olly-Steven setelah batal dicalonkan dalam pemilihan wali kota daerah masing-masing. Wakil Bupati Sangihe Helmud Hontong bahkan masuk tim sukses Olly-Steven.
Lumbung suara Vonnie-Hendry, selain di Minahasa Utara, terletak di kota/kabupaten yang dipimpin kader dan elite Nasdem, seperti Bitung, Kotamobagu, dan Kepulauan Talaud. Beberapa nama penting dari partai seperti Ketua DPD Nasdem Sulut Max Lomban hingga ketua Komisi IX DPR RI Felly Runtuweneyang menjadi penasihat tim sukses dapat menggaet suara jika dukungan mereka sering diperdengarkan kepada publik.
Sosok Hendry sebagai mantan Sekretaris Umum Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) dapat menarik dukungan. GMIM adalah gereja dengan keanggotaan terbesar di Sulut. Pada 2018, diperkirakan 32 persen dari warga Sulut (795.809 jiwa) adalah umat GMIM.
Adapun pusat dukungan bagi Olly-Steven tersebar di Minahasa, Minahasa Tenggara, Kepulauan Sitaro, Bolaang Mongondow Selatan, dan Bolaang Mongondow Utara yang dipimpin bupati dari PDI-P dan PPP. Olly juga mampu menggaet dukungan Bupati Bolaang Mongondow Yasti Soepredjo Mokoagow yang tidak berpartai.
Yasti bahkan menargetkan kemenangan 80 persen suara dari Bolaang Mongondow bagi Olly-Steven. Ia telah dibekali janji pembangunan Kawasan Industri Mongondow yang didanai APBN. Ini menunjukkan kuatnya pengaruh Olly sebagai petahana sekaligus tokoh PDI-P yang dekat dengan pemerintah pusat.
Pilkada 2020 di Sulut adalah adu pengaruh persona. Namun, pengaruh itu tak ada maknanya bagi para petani jika harga komoditas penting seperti cengkeh dan kelapa tak kunjung naik. Mereka menantikan angin segar meniup daun-daun yang menjulang di Bumi Nyiur Melambai.