Desa Pesisir Minahasa Utara Disiapkan Jadi Desa Wisata
Masyarakat di desa-desa pesisir Likupang, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, didorong mengembangkan potensi ekowisata. Ada potensi besar di masa depan seiring rencana pembangunan KEK Likupang.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA UTARA, KOMPAS — Masyarakat di desa-desa pesisir Likupang, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, didorong mengembangkan potensi ekowisata agar dapat turut merasakan manfaat kawasan ekonomi khusus pariwisata di masa depan. Upaya ini dimulai Bank Indonesia perwakilan Sulut dengan mempersiapkan infrastruktur dan kelompok sadar pariwisata di Desa Bahoi.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Sulut Arbonas Hutabarat meresmikan bantuan infrastruktur berupa rumah apung, jembatan gantung, dan jembatan bambu di Desa Bahoi, Likupang Barat, Senin (5/10/2020). Berbagai alat penunjang pariwisata bahari, seperti alat snorkel dan perahu, juga disediakan.
”Nilai bantuan untuk infrastruktur saja sudah mencapai Rp 499,69 juta. Ini adalah bagian dari PSBI (Program Sosial Bank Indonesia) yang sejak 2019 telah kami laksanakan, salah satunya dalam pembentukan desa wisata,” kata Arbonas.
Desa Bahoi dipilih sebagai desa wisata pertama yang dikembangkan BI perwakilan Sulut karena potensi ekologisnya. Sebanyak 17 jenis mangrove tumbuh di sepanjang garis pantai desa, antara lain lolaro (Rhizopora mucornata),makurung merah (Bruguiera gymnorrhiza), dan pasa merah (Lumnitzera littorea).
Pesisir desa ini juga ditumbuhi padang lamun yang terbagi menjadi sembilan spesies. Di laut yang lebih dalam, ditemukan 32 jenis terumbu karang yang menjadi daya tarik utama wisata selam dan snorkeling. Ada pula dugong yang hidup di ekosistem tersebut.
Pendataan dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan, Manengkel Solidaritas. Ketua LSM itu, Ando Manarisip, mengatakan, pihaknya telah lebih dulu merintis kesadaran lingkungan warga Bahoi sejak 2015. Mereka membuat zonasi perlindungan laut yang terbagi menjadi inti, pemanfaatan, dan penyangga.
”Masyarakat sudah bisa melindunginya sendiri. Kami beri mereka pelatihan pengawasan dan survei pula agar bisa menjaga ekosistem laut di desa mereka. Sejak 2019, kami kerja sama dengan BI untuk memberdayakan masyarakat melalui pokdarwis (kelompok sadar wisata) di bawah BUMDes (badan usaha milik desa),” kata Ando.
Potensi ekologis yang kini telah dilengkapi infrastruktur dan sarana pendukung pariwisata harus dibarengi pengembangan kapasitas masyarakat. Arbonas mengatakan, warga mendapat pelatihan menjadi pramuwisata, pelestarian lingkungan hidup, administrasi keuangan, bahasa Inggris, kuliner, dan pengelolaan rumah singgah (homestay). Ada 20 rumah yang ditetapkan menjadi homestay dengan tarif Rp 150.000 per malam.
”Tanpa pelatihan dan pembekalan, ini tidak akan berkelanjutan. Di bidang kuliner, misalnya, kami bahkan mendatangkan konsultan dari Jakarta untuk melihat potensi desa apa yang bisa diolah, seperti kacang kenari yang bisa dibikin kue. Pelatihan akan kami lanjutkan sampai masyarakat benar-benar mandiri,” kata Arbonas.
Warga yang telah mendapatkan pelatihan ia harapkan bisa memanfaatkan peluang pariwisata. Sebab, Desa Bahoi sudah kedatangan wisatawan lokal sejak lama. Pariwisata pun ia sebut akan semakin berkembang setelah Likupang ditetapkan menjadi lokasi kawasan ekonomi khusus (KEK) pariwisata.
Peraturan Pemerintah No 84 Tahun 2019 telah menetapkan Likupang sebagai Destinasi Super Prioritas bersama empat daerah lainnya, yaitu Danau Toba (Sumatera Utara), Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), dan Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur). Pariwisata Sulut pada 2019 menunjukkan pertumbuhan konstan dengan kunjungan 129.587 wisatawan mancanegara, meningkat dari 122.100 wisatawan pada 2018 dengan devisa diperkirakan 141,5 juta dollar AS.
Semua warga desa diupayakan terlibat dalam pengembangan pariwisata.
Koordinator pemandu wisata pokdarwis Desa Bahoi, Dolfiance Lahading (34), mengatakan, ekosistem Desa Bahoi sudah sangat lengkap. Tidak semua desa memiliki mangrove, padang lamun, dan terumbu karang sekaligus. Karena itu, semua warga desa diupayakan terlibat dalam pengembangan pariwisata.
”Ada berbagai divisi, misalnya kuliner yang diisi ibu-ibu, seni tari oleh anak-anak sekolah, kesenian masamper (menyanyi dan bergoyang khas Sangihe) oleh orang dewasa, dan sebagainya. Jadi, hampir semua warga terlibat,” katanya.
Para nelayan pun juga mendapatkan pemasukan lain dari menjadi pemandu wisata memancing. Kini, Dolfiance dan kawan-kawannya berupaya mengajak lebih banyak anak muda bergabung, diawali dengan pendidikan soal ekosistem desa.
Kendati demikian, pandemi Covid-19 masih menghambat pariwisata di Desa Bahoi. Warga takut terjangkit virus korona ketika melayani wisatawan yang tidak mereka kenal. ”Jadi, kami berusaha menyesuaikan diri dengan protokol kesehatan, misalnya kelompok mancing kami kurangi dari 10 orang menjadi lima saja sekali jalan,” kata Dolfiance.
Noortje Datang (58), ketua kelompok kuliner Tanjung Kemala Desa Bahoi, mengatakan, para anggotanya berencana memaksimalkan hasil pelatihan membuat makanan ringan yang mereka dapat dengan menjualnya di pulau-pulau di lepas pantai Likupang. Ia berharap, Covid-19 bisa segera teratasi sehingga perekonomian desa dapat segera terangkat.
Sementara itu, Pejabat Sementara (Pjs) Bupati Minahasa Utara Clay Dondokambey mengatakan, apa yang telah dibentuk di Desa Bahoi perlu dipertahankan. Ia memiliki masa jabatan dua bulan sebelum mengembalikannya kepada pemenang Pilkada 2020 di Minahasa Utara.
”Yang bisa saya lakukan saat ini adalah memfokuskan APBD perubahan untuk mendanai pembangunan infrastruktur di Desa Bahoi. Ada beberapa yang belum selesai, seperti jembatan beton dan gedung pusat selam,” katanya.