Blitar Meminta BMKG Beri Sosialisasi Gempa untuk Masyarakat Pesisir
Munculnya kajian oleh tim peneliti soal potensi gempa bermagnitudo 9,1 yang bisa memicu timbulnya tsunami besar membuat masyarakat perlu diingatkan kembali tentang mitigasi.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Ada peningkatan permintaan sosialisasi untuk masyarakat pesisir selatan Jawa Timur terkait masalah gempa dan mitigasi bencana tsunami dalam sepekan terakhir. Permintaan itu muncul seusai adanya kajian tim peneliti dari Global Geophysics Research Group Institut Teknologi Bandung soal potensi gempa bermagnitudo 9,1 di selatan Jawa yang bisa memicu timbulnya tsunami besar.
Permintaan dilakukan pemerintah daerah kepada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG. Kepala BMKG Stasiun Geofisika Malang, Musripan, Minggu (4/10/2020), mengatakan, salah satu pemerintah daerah (pemda) yang meminta sosialisasi adalah Kabupaten Blitar. Menurut rencana, sosialisasi dan sarasehan akan dilakukan di Pantai Tambakrejo, Kecamatan Wonotirto, kemudian berlanjut ke Pantai Serang di Panggungrejo, 8 Oktober nanti.
”Sementara ini baru dua lokasi yang ada di undangan. Selebihnya menyusul, seperti pantai-pantai di Kecamatan Wates. Cara seperti ini bagus, warga harus dipersiapkan menghadapi bencana. Dan kami mengapresiasi meski mereka mengaku tidak ada anggaran,” katanya.
Menurut Musripan, sosialisasi terhadap masyarakat pesisir sebenarnya sudah rutin dilakukan setiap tahun. Namun, munculnya kajian oleh tim peneliti dari Global Geophysics Research Group Institut Teknologi Bandung soal potensi gempa bermagnitudo 9,1 di selatan Jawa yang bisa memicu timbulnya tsunami besar membuat masyarakat perlu diingatkan kembali tentang mitigasi.
”Bukan berarti masyarakat belum paham. Tapi mitigasi bencana perlu diingatkan terus meski kami sudah memasang peralatan sistem penerima pesan (warning receiver system/WRS) di kantor BPBD,” ucapnya.
Tahun 2020 ini BMKG telah memperbarui WRS generasi baru di sekitar 20 titik di Jawa Timur untuk menggantikan WRS lama. Dari jumlah itu, delapan di antaranya dipasang BMKG Stasiun Geofisika Malang di kabupaten/kota yang berada di pesisir selatan.
Kedelapan titik itu, antara lain di kantor BPBD Kota dan Kabupaten Malang, kantor Bupati Malang, BPBD Kediri, BPBD Lumajang, dan BPBD Jember, serta BPBD Bondowoso. Menurut rencana, tahun depan akan dilakukan pembaruan peranti yang sama di daerah lain.
WRS berisi informasi terkini soal peristiwa gempa bumi yang terjadi di berbagai tempat. Di dalamnya menyebutkan data mengenai lokasi episenter, hiposenter, besaran, dan peringatan ada atau tidak tsunami akibat gempa tersebut. Melalui peranti ini BPBD dan pegawai di kantor pemerintah daerah bisa memantau perkembangan yang terjadi untuk diambil tindakan.
”BMKG sebenarnya sudah memasang WRS sejak 2010, tetapi bukan generasi baru. Generasi baru ini lebih lengkap,” ucap Musripan. Ia menambahkan bahwa tahun ini juga akan dilakukan latihan kesiapan menghadapi tsunami (Indian Ocean Tsunami Exercise 2020/Iowave) secara virtual. Iowave 2018 digelar di Pacitan.
Di Jawa Timur terdapat sekitar 30 sensor gempa. Sensor ini akan menerima sinyal gempa bumi yang kemudian diproses BMKG menjadi informasi gempa. ”Ada parameter-parameter. Data ini dikirim melalui WRS. Ini yang dimaksud dengan alat peringatan dini tsunami,” kata Musripan.
BMKG sebenarnya sudah memasang WRS sejak 2010, tetapi bukan generasi baru. Generasi baru ini lebih lengkap.
Sementara itu, Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Malang Bambang Istiawan, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, masyarakat pesisir selatan Kabupaten Malang pernah mengalami tsunami tahun 1994 di Pantai Tamban, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, sebagai dampak dari tsunami Banyuwangi.
”Dari pengalaman itu sebagian masyarakat sudah paham tentang tsunami. Namun sosialisasi juga sering kita lakukan agar mereka tetap waspada. Dan kebetulan di pesisir selatan Kabupaten Malang cukup banyak pegunungan yang punya ketinggian di atas 20 meter sehingga bisa menjadi tempat aman untuk berlindung,” ujarnya.