Batik Kriyan, dari Kepompong Menuju Kupu-kupu
Selama canting perajin bergerak, pasti ada jalan. Saatnya sekarang menjadi kepompong, berdiam dulu tapi tetap berkarya. Lalu, nanti terbang jadi kupu-kupu.
Pandemi Covid-19 adalah masa menjadi kepompong, menyelimuti diri dengan karya. Kelak, ketika menjelma kupu-kupu, banyak orang menikmati keindahannya. Beginilah cara perajin Batik Story Kriyan menghadapi wabah yang menghantam hampir semua sektor, termasuk industri batik.
Ketika usia Batik Story Kriyan (BSK) baru dua tahun, pandemi Covid-19 datang. Berbagai rencana pameran hingga festival batik batal. Namun, organisasi asal Kota Cirebon, Jawa Barat, yang terbentuk atas bantuan Korea Arts and Culture Education Service (KACES) ini tidak patah semangat.
Seperti siang itu, Jumat (2/10/2020), 10 perajin bersama Ferry Sugeng Santoso (40), pelatih mereka, menggelar makan bersama di markas BSK, RW 017 Kriyan, Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk. Menyantap nasi putih, ikan lele, tempe, dan rumba merupakan ungkapan syukur merayakan Hari Batik Nasional. Sederhana, tapi penuh makna.
Baca juga : Batik Trusmi, Mati Tidak Hidup Pun Sepi
Tempat lauk dan piring dilapisi daun jati. Sebelum digunakan makan, daun jati tersebut menjadi cetakan motif batik. Di dalam daunnya, terdapat gambar, seperti angka, bangunan ruang, hingga kupu-kupu. Anak-anak bisa belajar dari motifnya.
Motif daun jati dilahirkan Ferry agar perajin dan siapa pun tidak lupa tempat leluhurnya, yakni Gunung Jati yang pernah didiami Sunan Gunung Jati. Pemimpin Cirebon abad ke-15 ini juga merupakan wali sanga atau tokoh besar penyebar Islam di Jawa.
Tidak hanya motif, para perajin juga membuat batik dengan pewarna alam. Setelah berdoa dan makan bersama, tangan mereka kembali ungu, biru tua, dan coklat. Aneka warna itu berasal dari tanaman indigo, kayu tegeran, kulit kayu tingi, hingga aneka kulit buah. Limbah pewarna alam diyakini lebih aman dibandingkan pewarna sintetis.
Empat lembar batik motif daun jati infonya dipesan oleh sebuah kementerian di Jakarta. Salah satunya karya Euis Komariah (49), ibu rumah tangga dengan enam anak. ”Saya sampai pulang jam 11 malam karena membatik. Anak bilang, jaga kesehatan,” ucapnya sambil meniup canting berisi lilin.
Meski dikejar waktu, Euis menikmatinya. Sebelum bergabung di BSK, Maret lalu, ia adalah pedagang kosmetik dan pengajar sampoa. Namun, usahanya dihantam pandemi Covid-19. Untung saja, saudaranya, Ela, mengajaknya membatik.
Karya awalnya adalah motif korona. Bentuknya seperti virus korona baru dengan bulatan yang dilapisi bintik-bintik. Sebenarnya, motif yang juga dikenal tiga roda itu sudah ada sejak dulu. Karena lagi ramai wabah, motifnya pun dinamakan korona.
”Waktu saya posting (unggah) di Instagram, ada orang mengaku dari Serbia tertarik beli. Alhamdulillah, laku Rp 400.000,” kata istri karyawan perusahaan rotan ini. Berikutnya, pelanggan tersebut memesan tujuh lembar ukuran 2,5 meter x 1,15 meter. Euis pun bakal meraup Rp 2,8 juta.
”Tetapi, saya belum bisa kerjain sekarang karena ada pesanan motif daun jati. Ada orang Puskesmas Cangkol juga pesan untuk satu minggu batiknya jadi. Saya enggak bisa buru-buru,” ungkapnya. Satu lembar batik tulis dengan pewarna alam butuh waktu sepekan hingga dua pekan, tergantung kerumitan motifnya.
Dengan batik, Shelvia (27) juga melawan dampak pandemi Covid-19. Ibu dua anak ini memilih keluar dari pekerjaannya sebagai koki restoran sebuah mal di Cirebon karena pengunjung kian sepi. Setengah bulan setelah keluar, ternyata teman-temannya dirumahkan akibat Covid-19.
Keluarga bilang, ngapain duduk membatik lama-lama. Enggak ada uangnya. Padahal, dapat pelatihan gratis itu sudah bermanfaat sekali.
Tangannya yang biasa memegang spatula pun berganti canting, sejak Maret lalu. Ia mengikuti program pelatihan batik oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Cirebon di BSK. ”Keluarga bilang, ngapain duduk membatik lama-lama. Enggak ada uangnya. Padahal, dapat pelatihan gratis itu sudah bermanfaat sekali,” ujarnya.
Beberapa minggu berlalu, Shelvia membuat selembar batik tulis motif korona dan dibeli Disnaker, Rp 150.000. Setelah itu, ia menerima pesanan selembar batik dengan harga Rp 400.000. ”Hasil penjualannya dipakai untuk operasi usus buntu bapak. Keluarga pun mendukung saya membatik,” ungkapnya.
Giska Febrian (15), perajin lainnya, juga membuka ”lembaran” baru di hidupnya dengan membatik. Anak putus sekolah dasar ini telah berpenghasilan dan membantu orangtuanya yang berjualan di warung kecil.
”Empat lembar kain saya sudah dibeli. Harganya Rp 400.000-Rp 500.000,” kata Giska yang punya impian membuka toko batik. Karyanya dibeli oleh pegawai di Pemkot Cirebon juga anggota DPR.
Ketua BSK Sulistio mengatakan, Kriyan tidak punya tradisi membatik seperti daerah Trusmi atau Ciwaringin yang sudah tenar. Namun, 2018, Pemkot Cirebon memilih Kriyan untuk program pelatihan batik oleh KACES. ”Padahal, kami tidak punya dasar membatik,” ucapnya.
Lembaga asal Korea Selatan yang mendukung pengembangan seni dan budaya itu memfasilitasi alat dan bahan membatik hingga pelatihan dari pakar di Indonesia, Malaysia, dan Korea. Sebanyak 12 perajin yang merupakan warga setempat belajar membatik, sedangkan pemasarannya dibantu mediator, Dr Siska.
Saatnya sekarang menjadi kepompong, berdiam dulu, tapi tetap berkarya. Lalu, nanti terbang jadi kupu-kupu.
Ferry kaget dengan perkembangan para perajin. Lakunya karya perajin menunjukkan kualitas mereka meningkat. Baginya, belajar batik tidak hanya soal darah atau kerutunan, tetapi juga keterampilan. Selama perajin mau belajar dan sabar, mereka bisa membatik.
Membatik bahkan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. ”Orang dengan ijazah itu dicari kantor atau perusahaan. Nah, yang tidak punya ijazah bagaimana? Mereka bisa membatik,” kata Pemangku Padepokan Alam Batik Pasuruan yang mempekerjakan 20 pembatik, termasuk anak-anak putus sekolah.
Kupu-kupu
Masa pandemi ini, katanya, menjadi waktu tepat bagi perajin untuk berkarya. Selama canting perajin bergerak, pasti ada jalan. ”Saatnya sekarang menjadi kepompong, berdiam dulu, tapi tetap berkarya. Lalu, nanti terbang jadi kupu-kupu,” katanya.
Ferry mengaku, membuat lebih 50 motif batik tulis pewarna alam selama mengurung diri di rumah. Pegawainya pun diizinkan membatik di rumah masing-masing. Ia dan perajinnya masih punya pesanan sekitar 4.000 lembar batik meskipun pesanan 9.000 lembar batik dari rumah sakit batal.
Membatik, menurut dia, mengajarkan makna hidup. Mencanting, misalnya, dimulai dari kiri ke kanan. ”Kalau kita berbuat buruk (kiri), harus segera bergeser ke hal baik (kanan). Canting juga biasanya dari belakang ke depan. Artinya, kita harus memandang masa depan,” ujarnya.
Itu sebabnya, Ferry selalu mengingatkan perajin BSK untuk terus berkarya dan sabar seperti kepompong. Jika mereka lulus melewati pandemi, Ferry yakin impiannya bisa terwujud.
”Saya membayangkan, para perajin ini nanti buka toko batik di rumahnya masing-masing. Jadilah Kampung Batik Kriyan,” katanya.
Dari BSK yang berada dekat dengan aliran Sungai Kriyan, lalu lintas manusia sejak berabad-abad lalu, para perajin tidak hanya belajar membatik, tetapi juga memaknai hidup. Selamat Hari Batik.
Baca juga : Terus Membatik di Tengah Hantaman Pandemi