Positif Covid-19, Calon Wali Kota Bontang Meninggal
Calon Wali Kota Bontang Nomor Urut 1, Adi Darma, meninggal dalam keadaan positif Covid-19. Adi merupakan peserta Pilkada 2020 kedua yang meninggal akibat Covid-19 di Kalimantan Timur.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Calon Wali Kota Bontang Nomor Urut 1, Adi Darma, meninggal dalam keadaan positif Covid-19. Adi merupakan peserta Pilkada 2020 kedua yang meninggal akibat Covid-19 di Kalimantan Timur.
Wakil Direktur Pelayanan RSUD Taman Husada Bontang Toetoek Pribadi Ekowati mengatakan, Adi Darma dirawat sejak 24 September. Ia memeriksakan diri pada 23 September karena mengalami keluhan mirip gejala Covid-19. Kondisi Adi memburuk pada Kamis (1/10/2020) dan meninggal pada pukul 11.40 Wita.
”Saat ini kami sedang berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Bontang dan keluarga almarhum. Menurut rencana, almarhum akan dimakamkan di TPU Bontang Kuala sesuai protokol pemakaman pasien Covid-19,” kata Toetoek saat dihubungi dari Balikpapan, Kamis (1/10/2020).
Adi tercatat sebagai pasien Covid-19 di Kota Bontang dengan kode BTG 463. Sejak saat itu, kontak erat Adi ditelusuri, termasuk relawan dan pasangannya di Pilkada 2020 Kota Bontang, Basri Rase. Berdasarkan unggahannya di media sosial, sejak Agustus, Adi dan Basri beberapa kali mengadakan pertemuan terbatas dengan partai pengusung dan simpatisan. Setelah melakukan uji usap hidung dan tenggorokan, Basri dinyatakan negatif Covid-19.
Karena terkonfirmasi positif Covid-19, Adi tidak hadir dalam pengundian nomor urut pilkada di Kantor KPU Bontang pada 24 September. Saat pengundian nomor urut, Basri didampingi Ketua Tim Pemenangan Adi-Basri, Maming. Basri mengatakan, saat ini tengah fokus menyiapkan pemakaman Adi.
”Saat ini, kami fokus dulu ke pemakaman dan mendampingi keluarga almarhum. Untuk kelanjutan pilkada, nanti bisa dibicarakan,” kata Basri.
Adi meninggal pada usia 60 tahun. Ia pernah menjabat sebagai Wali Kota Bontang periode 2011-2016. Di Pilkada 2020 ini, Adi berdampingan dengan Basri diusung PDI-P dan PKB dengan jumlah 5 kursi dari total 25 kursi di DPRD Kota Bontang.
Ketua KPU Bontang Erwin ST mengatakan, calon kepala daerah yang meninggal bisa digantikan jika meninggal dalam tahapan pilkada. Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, partai politik atau gabungan parpol dapat mengusulkan calon pengganti paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara.
Partai pengusung masih bisa mengajukan calon pengganti sesuai peraturan.
”Kami turut berduka atas meninggalnya Pak Adi Darma. Partai pengusung masih bisa mengajukan calon pengganti sesuai peraturan. Kami akan sosialisasikan kembali terkait petunjuk teknisnya,” ujar Erwin.
Adi Darma adalah calon kepala daerah kedua di Kaltim yang meninggal dalam keadaan positif Covid-19. Sebelumnya, Bupati Berau Muharram meninggal di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan, pukul 16.45 Wita, Selasa (22/9/2020).
Muharram juga maju dalam Pilkada 2020 berpasangan dengan Gamalis. Muharram terkonfirmasi positif Covid-19 setelah memeriksakan diri ke RS Kanujoso Djatiwibowo, Balikpapan, pada 9 September, sebagai persyaratan pencalonan Pilkada 2020. Sejak saat itu, ia dirawat di RS Pertamina Balikpapan dan menjalani perawatan intensif.
Sebelum terkonfirmasi positif, Muharram mendampingi Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo saat berkunjung ke Maratua, Berau, 1 September 2020. Belakangan, sejumlah pejabat di kementerian itu dikabarkan terpapar Covid-19.
Hingga Kamis (1/10/2020) pukul 12.00 Wita, kasus Covid-19 di Kaltim masih tinggi. Total pasien terkonfirmasi positif berjumlah 8.651 orang, dengan rincian 2.547 dirawat, 5.772 sembuh, dan 332 meninggal. Kota Bontang tercatat sebagai kota dengan jumlah kasus positif terbanyak keempat di Kaltim, yakni 525 kasus.
Sebelumnya, pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, mengatakan, persoalan pokok pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini terletak pada regulasi yang tidak kuat. Ia menilai UU No 6/2020 tidak menjangkau aspek kesehatan masyarakat dalam pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19.
Ia mengatakan, pemerintah lambat dalam mengantisipasi potensi penularan Covid-19 sejak awal proses pilkada. Hal itu terbukti dengan tidak adanya tindakan tegas saat proses pendaftaran calon kepala daerah. Tidak ada pula sanksi tegas bagi orang yang mengumpulkan massa dalam jumlah banyak saat proses pendaftaran calon kepala daerah.
”Kalau bicara pilkada, mestinya diatur spesifik dalam UU Pilkada. Di tengah pandemi seperti ini, jika ada peserta pilkada yang mengumpulkan massa, seharusnya itu berdampak kepada sanksi administratif diskualifikasi. Itu bisa menekan penyebaran Covid-19 karena sanksinya tegas,” ujar Herdiansyah.