Komnas HAM ”Cium” Adanya Dugaan Penyerobotan Lahan dalam Konflik Kinipan
Konflik lahan adat Kinipan berlarut-larut tak menemui jalan keluar. Komisi Nasional HAM pun ikut mengendus adanya pelanggaran HAM dan penyerobotan lahan dalam konflik tersebut dan mendatangi lokasi di Kinipan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menggali fakta-fakta dugaan pelanggaran HAM dan penyerobotan lahan dalam konflik lahan adat di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Setelah bertemu masyarakat dan pemerintah daerah, mereka mendorong agar masyarakat adat dilindungi, diakui, dan diberikan hak-haknya.
Tim dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terdiri dari empat orang dan dipimpin Subkoordinator Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Nurjaman. Mereka mendatangi Desa Kinipan bertemu dengan masyarakat, pihak perusahaan perkebunan sawit yang berkonflik dengan masyarakat, dan pemerintah daerah, mulai dari kabupaten hingga provinsi.
”Setelah bertemu semua pihak, kami mendapatkan banyak fakta yang nantinya akan kami analisis bersama pimpinan sebelum menjadi rekomendasi. Kami juga bertemu pihak Polda Kalteng dalam kasus penangkapan Effendi Buhing,” kata Nurjaman di Palangkaraya, Kamis (1/10/2020).
Nurjaman menjelaskan, pihaknya melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM dalam kasus tersebut karena adanya laporan dari beberapa lembaga juga dari Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing, beberapa waktu lalu. Mereka berada di Kalteng sejak Senin (26/10/2020) hingga Rabu sore kembali ke Jakarta.
Dari catatan Kompas, konflik di Laman Kinipan sudah dimulai sejak penolakan mereka terhadap hadirnya perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan yang mereka kelola selama bergenerasi. Penolakan pertama itu terjadi sekitar tahun 2012.
Pada 2016, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) kemudian melakukan pemetaan bersama warga dan menghasilkan peta luasan hutan adat Kinipan yang mencapai 16.000 hektar. Peta itu kemudian diberikan ke Dinas Kehutanan Kalteng untuk ditindaklanjuti dan diakui keberadaannya bersama dengan 11 peta wilayah adat lainnya oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng pada 2018.
Namun, kawasan adat itu bertabrakan dengan izin konsesi milik PT Sawit Mandiri Lestari. Saat ini sekitar 2.629 hektar lahan dari lokasi hutan adat yang diklaim Komunitas Adat Laman Kinipan itu dibuka dan ditanami ribuan tanaman kelapa sawit.
”Konflik lahan masyarakat dengan perusahaan ini memang kompleks, tetapi kami bisa mendorong pemerintah daerah wajib melindungi, mengakui, dan memberikan hak-hak masyarakat adat,” kata Nurjaman.
Menurut Nurjaman, banyak kebijakan, bahkan undang-undang yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Hal itu seharusnya bisa menjadi acuan pemerintah daerah untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
Sudah seharusnya perlindungan terhadap masyarakat adat itu diberikan. Mereka dan wilayah kelolanya harus diakui dan itu tugas pemerintah.
”Dalam pertemuan dengan pemerintah daerah, baik kabupaten maupun provinsi, mereka lebih menekankan legalitas hutan adat. Meskipun demikian, pada dasarnya pemerintah menghormati keberadaan mereka,” kata Nurjaman.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah Kalteng Fahrizal Fitri saat ditemui Kompas di ruangannya mengungkapkan, pemerintah tetap berupaya mencari jalan keluar dari konflik lahan di Kinipan juga daerah lain di Kalimantan Tengah. Pemerintah tidak bisa begitu saja melarang perusahaan untuk beroperasi, apalagi semua perizinannya sudah lengkap.
”Perusahaan ini memberikan 60 persen wilayahnya untuk plasma bagi masyarakat sekitar, hal yang belum pernah dilakukan perusahaan perkebunan lainnya. Sebab, sesuai aturan, kan, hanya 20 persen,” kata Fahrizal.
Terkait pengakuan masyarakat adat dan hutan adat, Fahrizal menyayangkan, masyarakat terlambat memberikan usulan karena tahun 2017 perusahaan sudah mendapatkan hak guna usaha, sedangkan usulan hutan adat baru diberikan tahun 2018.
Di hari yang sama, Staf Khusus Milenial Presiden yang juga menjabat Duta SDG’s Indonesia Billy Mambrasar mengunjungi Kalimantan Tengah untuk bertemu pemuda yang salah satunya membahas tentang masyarakat adat.
”Saya mau menekankan kembali bahwa dalam setiap investasi mereka (masyarakat adat) memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, salah satunya soal perizinan hingga pengembangan usaha,” kata Billy.
Rekomendasi
Nurjaman menambahkan, selain mencermati pelanggaran HAM dalam konflik lahan di Kinipan, pihaknya juga menyoroti proses penangkapan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing yang sempat viral di media sosial. Mereka juga bertemu Polda Kalteng untuk membahas hal itu.
Menurut Nurjaman, pihaknya akan mengeluarkan rekomendasi minimal dalam waktu satu minggu ke depan. ”Kalau soal penangkapan Pak Buhing itu mungkin bisa lebih cepat keluarnya, kalau konflik adatnya rumit,” ujar Nurjaman.
Di Kalteng, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng mencatat sejak 2005 hingga 2018 setidaknya terdapat 345 konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit yang penyelesaiannya tidak optimal. Sebagian besar konflik itu hingga kini belum usai dan banyak yang berujung pada kriminalisasi.
”Sudah seharusnya perlindungan terhadap masyarakat adat itu diberikan. Mereka dan wilayah kelolanya harus diakui, dan itu tugas pemerintah,” kata Nurjaman.