Jadi Terdakwa Kekerasan Anak, Wakil Bupati Buton Utara Dicopot dari Jabatan
Setelah lebih dari sepekan menyandang status terdakwa, Kemendagri memberhentikan Ramadio sebagai Wabup Buton Utara, sekaligus penjabat Bupati Butur. Ia sebelumnya dilantik meski menyandang status terdakwa kekerasan anak.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Terdakwa kasus kekerasan seksual anak, yang juga Wakil Bupati Buton Utara, Sulawesi Tenggara, Ramadio, akhirnya diberhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian ini bersamaan dengan sidang perdana terdakwa di Pengadilan Negeri Raha.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik menyampaikan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo telah memutuskan memberhentikan sementara Ramadio dari jabatannya sejak Kamis (1/10/2020). Selain diberhentikan sementara sebagai Wakil Bupati Buton Utara, Ramadio juga diberhentikan dari jabatannya sebagai penjabat sementara Bupati Buton Utara.
”Keputusan ini untuk memberikan kepastian hukum dan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah di Buton Utara. Untuk sementara, jabatan pelaksana harian Bupati Buton Utara akan dijabat Sekda Buton Utara,” terang Akmal, dihubungi dari Kendari, Sultra.
Menurut Akmal, pemberhentian itu berdasarkan usulan dari Gubernur Sultra melalui surat Nomor 132.74/4830 pada 30 September 2020. Surat tersebut berisi pengusulan Pemberhentian Sementara Wakil Bupati Buton Utara Ramadio sebagai Wakil Bupati Buton Utara.
Menurut Akmal, Ramadio sebagaimana disebutkan dalam surat Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara tertanggal 30 September 2020, didakwa Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 83 Ayat (1) Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Berdasarkan laman Pengadilan Negeri Raha, kasus yang melibatkan Ramadio telah terdaftar di pengadilan sejak Rabu (23/9/2020). Sejak saat itu, status Ramadio resmi sebagai terdakwa. Namun, meski telah menyandang status terdakwa, Pemerintah Provinsi Sultra melantik Ramadio sebagai penjabat sementara Bupati Buton Utara pada Jumat (25/9/2020). Padahal, berdasarkan aturan, seseorang yang menyandang status terdakwa tidak boleh menjabat kepala daerah.
Terkait hal ini, Akmal mengaku baru mengetahuinya pada Rabu, sesuai isi surat Pemprov Sultra. ”Kami baru tahu hal ini, berdasarkan surat yang dikirim Pemprov Sultra per tanggal 30 September. Baru kemarin dikirim suratnya. Sejak saat itu langsung diproses dan hari ini sudah diberhentikan sementara,” tambahnya.
Sekretaris Daerah Sultra Nur Endang Abbas menjabarkan, pihaknya baru mengetahui secara resmi status terdakwa Ramadio pada Rabu (30/9/2020). Hal itu diperoleh secara resmi setelah bersurat ke Kejaksaan Tinggi Sultra.
Verifikasi status Ramadio telah dilakukan sebelum pengangkatan sebagai penjabat sementara Bupati Buton Utara. Namun, saat itu, statusnya baru tersangka dan tidak ditahan. (Nur Endang Abbas)
Menurut Endang, verifikasi status Ramadio telah dilakukan sebelumnya, khususnya sebelum pengangkatan sebagai penjabat sementara Bupati Buton Utara. Namun, saat itu, status Ramadio baru sebagai tersangka dan tidak ditahan.
”Kami tahu hal ini dari media, lalu kami verifikasi lagi. Dan kemarin itu ada surat resmi dari Kejati Sultra terkait status Ramadio. Kami juga tidak bisa mengambil keputusan tanpa ada surat resmi,” ucapnya.
Endang menambahkan, ”Kalau dibilang kecolongan itu asumsi orang. Kami hanya menjalankan prinsip kehati-hatian. Lebih baik terlambat sedikit tetapi tidak melanggar hukum.”
Pemberhentian sementara Ramadio ini bersamaan dengan sidang perdana yang dia jalani, Kamis siang. Sidang berlangsung di Pengadilan Negeri Raha, di Kabupaten Muna.
Dihubungi terpisah, Humas PN Raha Dio Dera Darmawan menyampaikan, sidang perdana telah berlangsung dengan agenda pembacaan dakwaan. Terdakwa hadir ke persidangan dan mendengarkan pembacaan dakwaan.
”Sidang perdana itu telah dimulai, dengan berlangsung tertutup. Sidang kedua diagendakan pekan depan dengan pemeriksaan saksi,” kata Dio. Menurut dia, status terdakwa ditetapkan sejak 23 September 2020 sesuai Pasal 1 Ayat 15 KUHAP. Saat itu, kasus ini resmi terdaftar di PN Raha.
Meski demikian, terdakwa tidak ditahan di rumah tahanan, tetapi berstatus tahanan kota. Hal tersebut sesuai status terdakwa sejak di kejaksaan. Selain itu, terdakwa diketahui kooperatif dan mendapat jaminan untuk status tahanan kota.
Pemberhentian seharusnya telah dilakukan jauh-jauh hari mengingat status terdakwa telah disandang sejak delapan hari lalu.
Ina Yustina Fendrita, Direktur Yayasan Lambu, lembaga yang mendampingi korban dalam kasus kekerasan seksual ini menyampaikan, pemberhentian terdakwa menjadi kabar baik di tengah kasus yang berlangsung berlarut-larut. Pemberhentian terdakwa bisa menjadi contoh terhadap pelaku kriminal lain yang merupakan pejabat daerah. Hanya saja, pemberhentian seharusnya telah dilakukan jauh-jauh hari mengingat status terdakwa telah disandang sejak delapan hari lalu.
”Selama ini sangat melukai rasa keadilan korban, keluarga dan masyarakat. Korban terpinggirkan dengan segala luka dan dampak kekerasan seorang diri, sedangkan pelaku masih mendapatkan hak istimewa. Kondisi ini menjadi preseden buruk untuk tata kelola pemerintahan di Indonesia,” ucap Yustina.
Padahal, tambah Ina, penuntasan kasus kekerasan seksual menjadi atensi khusus Presiden RI Joko Widodo yang sangat serius mengeluarkan kebijakan penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.
Ramadio menjadi tersangka kekerasan seksual terhadap seorang anak berumur 14 tahun di Buton Utara, Sulawesi Tenggara, sejak akhir 2019. Ayah korban menjelaskan, ia mendapatkan laporan jika anaknya menjadi korban asusila oleh seorang pejabat tinggi Buton Utara. Anak gadis satu-satunya itu memang menetap di kampung mereka di Kabupaten Buton Utara (Butur), sedangkan dia dan istrinya di Kota Baubau. Berdasarkan pengakuan korban, pelaku dua kali melakukan tindak asusila ke korban.
Hariman Satria, pengamat hukum dari Universitas Muhammadiyah Kendari menyampaikan, pengangkatan pejabat yang menyandang status terdakwa tidak hanya sebuah bentuk maladministrasi. Namun, juga melukai etika hukum dan rasa keadilan.
Sebab, seorang pejabat tersebut tidak hanya diatur dengan norma hukum, tetapi juga etika hukum. Terlebih lagi, dengan kasus tindak asusila, pejabat tersebut seharusnya mundur dari jabatannya. Jika tetap menjabat, ia memiliki kekuasaan luas untuk mengintervensi kasus yang dihadapi.
”Pemprov Sultra juga seharusnya menyeleksi dan memverifikasi betul status seseorang sebelum diangkat menjadi pejabat. Sebab, mengangkat seseorang terdakwa kekerasan anak menjadi pejabat, bukan hanya kekeliruan hukum, tetapi melukai asas keadilan bagi korban,” ucapnya.
Saat hendak dikonfirmasi, Ramadio tidak menjawab pesan yang dikirimkan ataupun menjawab telepon.