Keluarga Korban Adelina Sau Kecewa Pembebasan Majikan di Malaysia
Pembebasan majikan Adelina Sau, Ambika MA Shan, oleh Mahkamah Banding di Penang, Malaysia sangat melukai keluarga korban Adelina Sau (20) di Desa Abi, Kecamatan Oenino, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
SOE, KOMPAS — Pembebasan majikan Adelina Sau, Ambika MA Shan, oleh Mahkamah Banding di Penang, Malaysia, sangat melukai keluarga korban Adelina Sau (20) di Desa Abi, Kecamatan Oenino, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Pihak keluarga mendorong Pemerintah Indonesia segera berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung Malaysia agar kasus penganiayaan yang berakibat kematian Adelina Sau diproses secara adil.
Anggota DPRD Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Mercu Buana Mbau, yang dihubungi di Soe, Rabu (30/9/2020), mengatakan, keputusan Mahkamah Banding Banding Malaysia di Putrajaya, Selasa (22/9/2020), yang membebaskan terdakwa Ambila MA Shan sangat mengejutkan masyarakat Timor Tengah Selatan, khususnya keluarga korban. Alasan Mahkamah Banding bahwa terdakwa sudah masuk lanjut usia (lansia) tidak dapat diterima keluarga korban.
Apa yang diputuskan hakim dalam Mahkamah Banding Malaysia jauh dari keadilan. Keputusan itu patut dipertanyakan, karena semua pihak yang peduli pada masalah pekerja migran menunggu keadilan. (Sarhetian)
”Kalau dia itu lansia, korban Adelina Sau yang dia aniaya sampai meninggal pun seorang anak di bawah umur saat itu. Karena itu, anggota keluarga, anggota DPRD, dan masyarakat Timor Tengah Selatan menolak keputusan itu,” kata anggota Fraksi Nasdem ini.
Ia mengatakan, setiap pengadilan, di mana pun, tidak mengedepankan faktor lansia dalam proses hukum, tetapi keadilan hukum. Kasus penganiayaan hingga menyebabkan kematian Adelina Sau termasuk pelanggaran HAM berat sehingga pelaku harus mendapat hukuman yang berat pula.
Untuk itu, keluarga korban dan anggota DPRD setempat mendesak Pemerintah Indonesia melalui Konsulat Jenderal RI Besar di Penang, Malaysia, mendorong kasus ini agar dibuka kembali. Kematian Adelina Sau, 11 Februari 2018, di Rumah Sakit Bukit Mertajam, Penang, telah mengundang reaksi kemarahan dari para pekerja migran di dunia. Pengadilan Malaysia harus menempatkan keadilan hukum di atas segala-galanya ketimbang pertimbangan usia lanjut seorang majikan.
Koordinator Jaringan Solidaritas Kemanusiaan untuk Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Nusa Tenggara Timur Emmy Sarhetian mengatakan, Mahkamah Banding Malaysia memberi kesempatan kepada Jaksa Agung Malaysia untuk memberikan hak jawab atas keputusan itu 10 hari, terhitung sejak 22 September 2020.
Pihak orangtua korban dan lembaga keagamaan di NTT mendukung langkah Konsulat Jenderal RI di Penang mendorong Kejaksaan Agung Malaysia membuka kembali kasus ini. ”Apa yang diputuskan hakim dalam Mahkamah Banding Malaysia jauh dari keadilan. Keputusan itu patut dipertanyakan karena semua pihak yang peduli pada masalah pekerja migran menunggu keadilan,” kata Sahertian.
Orangtua korban Adelina Sau, yakni Marthen Sau dan Yohana Banunaek, dengan dukungan Gereja Kristen Masehi Injili di Timor (GMIT), telah menyurati Presiden Joko Widodo meminta agar pemerintah turut memperhatikan kasus hukum atas kematian Adelina Sau. GMIT atas nama orangtua Adelina Sau juga telah membangun kerja sama dengan sejumlah LSM di Malaysia, seperti Tenaganita Malaysia, Gereja Katolik Malaysia, dan Migran Care Malaysia.
Pembebasan majikan Adelina Sau pertanda buruk bagi semua pekerja migran di mana saja, terutama di Malaysia. Para majikan di Malaysia bakal tetap bertindak sewenang-wenang terhadap pekerja migran karena beranggapan tidak akan mendapatkan hukuman setimpal dengan perbuatan mereka. Mereka sebagai pelaku tetap mendapatkan posisi lebih menguntungkan ketimbang korban.
Hukuman mati atau hukuman seumur hidup terhadap majikan Ambika MA Shan layak diberikan. Ini untuk menegaskan kepada seluruh dunia bahwa Malaysia adalah negara hukum, berpihak pada kebenaran dan keadilan.
Sampai sekarang masih banyak majikan di Malaysia yang bertindak baik terhadap pekerja migran. Namun, beberapa di antaranya ada yang bertindak kasar sehingga patut diberi peringatan. ”Hukuman terhadap majikan yang melanggar hak asasi manusia seperti Ambika Shan layak diberikan pihak pengadilan. Ini untuk memberikan efek jera kepada semua majikan yang mempekerjakan pekerja migran termasuk NTT,” kata Emmy.
Adelina Sau berangkat ke Malaysia tahun 2015. Saat itu ia masih berusia 17 tahun. Ia diajak salah satu calo perempuan sebagai perekrut. Calo itu mendatangi langsung rumah Adelina di Desa Abi Kecamatan Oenino pada bulan Mei pada malam hari dan menyerahkan uang Rp 150.000 kepada orangtua Adelina.
Pagi hari, saat kedua orangtua Adelina pergi ke ladang, calo perempuan itu datang lagi. Ia menemui Adelina sendirian di rumah dan membawa pergi Adelina dari rumah itu dengan janji segera mendapatkan pekerjaan yang layak di Malaysia dan digaji Rp 5 juta per bulan sebagai percobaan.