Kekeringan ekstrem melanda pulau-pulau di NTT. Respons atas kejadian berulang ini masih sama, baik warga maupun pemerintah daerah, karena minimnya cakupan inovasi.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·6 menit baca
Iwan Bajo (25), warga Pulau Kera di Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, menarik selang yang tersambung ujung keran menuju kapal. Ujung selang masuk ke jeriken-jeriken di kapal motor. Begitulah cara penghuni puluhan pulau kecil di Nusa Tenggara Timur saat ini dalam memenuhi kebutuhan air. Kekeringan sedang ekstrem.
Iwan Bajo yang ditemui di Pelabuhan Tempat Pelelangan Ikan Oeba, Kota Kupang, Rabu (23/9/2020), mengatakan, satu-satunya sumur yang menghasilkan air tawar di Pulau Kera mengalami kekeringan sejak Februari 2020. Sejak itu pula, warga Pulau Kera mengangkut air dengan jeriken di dalam kapal motor dari Pelabuhan Oeba, Kota Kupang, menuju Pulau Kera, sekitar 40 mil (64 kilometer). Setiap jeriken berisi 20 liter air.
”Ada lima kapal motor dengan bobot yang sama secara rutin setiap hari mengangkut air dari Oeba menuju Pulau Kera. Setiap kapal mengangkut 25 jeriken dengan ukuran sama, 20 liter,” kata laki-laki yang tak pernah sekolah itu.
Pulau Kera sampai tahun 2015 tidak ada sekolah. Sekolah dasar Islam baru dibuka pada 2016, hanya kelas I-III, sedangkan kelas IV-VI dialihkan di Kota Kupang. Tidak ada pula fasilitas kesehatan, seperti puskesmas pembantu, apalagi puskesmas. Luas pulau hanya 1 kilometer persegi, sebagian besar ditumbuhi rumput ilalang. Air sumur di pulau ini terasa asin.
Menurut Iwan, setiap keluarga menitip satu jeriken atau 20 liter air. Air hanya cukup untuk kebutuhan minum dan memasak satu keluarga hari itu. Pada pukul 09.00 Wita, jeriken yang sama akan dititipkan dibawa ke Oeba untuk mengisi air lagi. Anggota satu keluarga berjumlah 3-7 orang.
Biaya pengangkutan air setiap jeriken Rp 2.000, sedangkan air dibeli Rp 4.000 per jeriken atau Rp 2.000 untuk jeriken ukuran 20 liter, 10 liter air dihargai Rp 1.000. Air di Oeba, Kota Kupang, itu milik warga, disiapkan khusus untuk warga Pulau Kera dan kapal nelayan yang hendak melaut. Pengangkutan air hanya dilakukan sekali setiap hari, kecuali ada keluarga yang membutuhkan air minum dalam jumlah lebih dari 20 liter, mereka ambil sendiri.
”Di pulau itu hampir semua keluarga punya kapal laut karena mereka nelayan. Hasil tangkapan nelayan dijual di TPI Oeba. Tidak ada yang bermata pencarian petani karena tidak ada lahan, juga hujan sangat terbatas. Hujan terjadi hanya pada Januari. Februari sampai November tidak ada hujan lagi,” kata Iwan.
Muhamat Hasan (54), neyalan asal Pulau Kera, mengatakan, selama musim hujan, warga mengonsumsi air hujan. Kebutuhan mandi dan mencuci, memanfaatkan air laut. Mereka sudah terbiasa dengan kondisi ini. ”Sudah beberapa ahli air payau datang ingin mengubah air itu menjadi tawar, tetapi selalu gagal,” katanya.
Oleh karena kondisinya itu, air bersih di Pulau Kera sangatlah berharga. Membuang air satu gelas terasa amat rugi. Hemat air bersih pun dipraktikkan serius di sana.
Dari sisi jumlah, ada 1.192 pulau di NTT. Sebanyak 432 pulau memiliki nama, yang lain belum bernama. Adapun jumlah pulau yang berpenghuni ada 540 buah, sedangkan 652 pulau tak berpenduduk. Pulau-pulau yang masuk kategori pulau besar yakni Flores, Sumba, dan Timor.
Pegunungan kering
Berbagai upaya dilakukan warga pulau-pulau yang dilanda kekeringan ekstrem itu. Pulau yang masuk dalam satu wilayah pemerintahan desa bisa memanfaatkan dana desa untuk mengadakan sumur bor. Namun, itu pun belum tentu bisa mendapatkan air tawar.
Yohanes Frans (43), warga Pulau Palue di Kabupaten Sikka, mengatakan, sejumlah sumur milik warga Desa Lidi terasa asin, hanya bisa untuk mandi dan mencuci. Kebutuhan air minum dan memasak diambil dari desa tetangga, yang terletak mengarah ke Gunung Rokatenda, seperti Desa Kesokoja dan Desa Ladolaka.
Namun, debit air sumur desa-desa di wilayah pegunungan pun sejak Juni 2020 menyusut sehingga warga dan kepala desa setempat melarang warga dari luar mengambil air di desa itu. Hampir semua desa di Palue mulai terancam ketersediaan air bersih.
Tahun lalu, Pemda Sikka bantu kami dengan mendatangkan air dengan feri, sekarang belum ada bantuan. (Yohanes Frans)
Pemerintah Desa Lidi pernah menggali sumur bor, tetapi air yang keluar terasa asin sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk minum dan masak, kecuali mandi dan mencuci. Warga Desa Lidi terpaksa mengambil air di Maumere, berjarak sekitar 57 mil (sekitar 91 km) dengan menggunakan perahu motor.
”Tahun lalu, Pemda Sikka bantu kami dengan mendatangkan air dengan feri, sekarang belum ada bantuan. Hidup makin susah. Dulu sumber air dekat-dekat saja, sekarang sumber air makin jauh di pulau seberang ini,” kata Frans.
Kekeringan ekstrem di NTT juga dirasakan warga di pulau lain, termasuk Pulau Rote Ndao. Christoper Ndun (51), warga Pulau Usu di Kabupaten Rote Ndao, mengatakan, jumlah pulau di kabupaten itu ada 96 buah, tetapi hanya enam yang dihuni. Pulau itu di antaranya Usu, Nuse, Ndana, dan Pulau Ndao.
Pulau-pulau itu memanfaatkan air laut yang diproses menjadi air tawar melalui sistem ”Reverse Osmosis” atau RO. Ada tiga pulau terpaksa mengambil air dari pulau sekitar karena alat mesin RO rusak. Tidak ada tenaga teknisi.
”Pulau Usu, misalnya, sekitar 98 warga di pulau itu mengambil air di Rote Timur, berjarak sekitar 45 mil (sekitar 72 km). Mereka mengangkut air di dalam jeriken 5 liter dengan kapal motor atau perahu sampan. Air itu tidak dibeli, setiap keluarga mengupayakan air sendiri,” kata Ndun.
Saat ini bukan hanya pulau-pulau itu yang kesulitan air bersih. Hampir semua desa dan kecamatan di Pulau Rote mengalami kekeringan serupa. Sejumlah sumber air, baik air permukaan maupun sumur gali (bor), milik warga kering karena kemarau panjang. Sebagian warga terpaksa mengambil air tangki seharga Rp 100.000 hingga Rp 500.000, tergantung jarak.
Marthen Sowe (32), penduduk Pulau Kepa, Alor, mengatakan, tidak ada air bersih di pulau itu. Sebuah sumur gali yang sebelumnya berisi air, meski berasa asin, juga kering. Sumur itu selama ini digunakan warga untuk mencuci dan mandi.
Ia mengatakan, 15 keluarga di pulau itu selama ini mengambil air dari Pulau Alor untuk minum dan memasak, sekaligus mencuci dan mandi. ”Untungnya jarak Pulau Kepa dengan Pulau Alor hanya 15 menit. Apalagi semua keluarga di Kepa memiliki perahu motor sehingga kapan saja bisa ambil air di Alor,” kata Sowe.
Bupati Sabu Raijua Niko Rihi Heke mengatakan, saat ini Pemkab Sabu Raijua sedang berusaha membantu warga yang kesulitan air bersih. Pemda mengadakan tiga sumur bor bagi enam desa, satu sumur bor untuk warga dua desa.
Pemda juga telah mengajukan lima tangki air untuk melayani masyarakat yang tinggal di desa-desa yang jauh dari sumber air. Namun, sebagian besar anggaran dipangkas DPRD Sabu Raijua sehingga hanya bisa mengadakan tiga mobil tangki.
Sebenarnya, kekeringan ekstrem bukan kali ini saja melanda daratan dan pulau-pulau di NTT. Namun, setiap kali kekeringan itu datang, kepanikan serta respons warga dan pemerintah daerah seperti tidak berubah.