Ciptakan Ruang Sepadan antara Calon Tunggal dan Kolom Kosong
Pilkada di Kota Balikpapan hanya diikuti calon tunggal berhadapan dengan kolom kosong. Bisakah kolom kosong dikampanyekan? Bagaimana mekanisme jika kolom kosong menang?
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Seumpama ring tinju, melihat Pilkada 2020 di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, ibarat menonton seorang petinju bertanding melawan samsak. Tak ada lawan nyata, hanya calon tunggal. Perbedaannya, dalam pilkada, calon tunggal mungkin menang, mungkin juga kalah. Penyampaian informasi mengenai calon tunggal dan kolom kosong perlu sepadan.
Rahmad Mas’ud-Thohari Aziz sebagai calon tunggal di pilkada Balikpapan diusung koalisi gemuk. Mereka diusung delapan partai politik dengan dukungan 40 kursi dari 45 kursi di DPRD Balikpapan. Partai Hanura (2 kursi) dan Nasdem (3 kursi) gagal mengumpulkan dukungan minimal 20 persen dari total kursi di DPRD Balikpapan untuk mengusung calon mereka, yakni Ahmad Basir.
Setelah pengundian letak kolom suara pada Kamis (24/9/2020), Rahmad-Thohari menempati posisi kolom kanan dari posisi pemilih dengan kolom kosong di sisi kirinya. Sejak masa perpanjangan pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah, bukan hanya foto Rahmad-Thohari yang beredar di media sosial dan spanduk, tetapi juga spanduk tentang kotak kosong atau kolom kosong.
Di media sosial, terdapat akun @kolomkosongbalikpapan. Akun itu memberi keterangan di menu bio sebagai berikut: Kolom Kosong Balikpapan (Bukan Akun Kebencian). Kami berusaha menawarkan alternatif untuk warga yang aspirasinya tidak tertampung oleh Pilkada Balikpapan 2020.
Akun itu membuat unggahan pertama kali pada 15 September, dua hari setelah penutupan masa perpanjangan pendaftaran bakal calon kepala daerah ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Balikpapan. Akun itu memposting tangkapan layar berita dan peraturan mengenai kolom kosong. Selain itu, terdapat pula spanduk yang dipasang di beberapa tepi jalan protokol Balikpapan. Lantas, bisakah kolom kosong dipromosikan?
Ketua KPU Kota Balikpapan Noor Thoha mengatakan, kampanye untuk kolom kosong tidak diatur spesifik dalam Peraturan KPU. Dalam peraturan itu, definisi kampanye pemilihan adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program calon kepala daerah. Adapun tim kampanye adalah tim yang dibentuk oleh pasangan calon kepala daerah, partai, atau gabungan partai yang didaftarkan ke KPU.
Thoha mengatakan, oleh sebab itu, tidak ada istilah kampanye kolom kosong. Yang ada hanyalah sosialisasi. Menurut dia, karena kampanye kolom kosong ini tidak diatur oleh PKPU, sosialisasi atau promosi kolom kosong terikat dengan aturan dan kaidah lain. Ia mengimbau agar warga berhati-hati agar tidak terjerat UU ITE, pemfitnahan, dan mengangkat isu SARA.
”Tentu saja harus mengikuti kaidah sosialisasi. Beda antara kampanye dan sosialisasi. Kalau kolom kosong ini kan tidak ada pasangan calonnya, maka tidak ada tim kampanye. Sosialisasi itu bisa dilakukan siapa saja yang berkepentingan dalam rangka meningkatkan partisipasi pemilih,” kata Thoha ketika ditemui Kamis (24/9/2020).
Butuh aturan
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, berpandangan berbeda. Menurut Herdiansyah, fenomena kolom kosong dalam pilkada adalah situasi yang secara legal dibenarkan dan diatur dalam undang-undang. Persoalannya adalah, tidak ada aturan teknis apakah bisa kolom kosong dikampanyekan.
”Tetapi, bicara soal hukum, sepanjang tidak diatur, proses kampanye terhadap kolom kosong atau kotak kosong itu saya pikir sah saja. Terlebih, kalau belum memasuki masa kampanye,” ujar Herdiansyah.
Herdiansyah menilai, masih ada celah aturan dalam pilkada yang akhirnya hanya diikuti calon tunggal. Selama ini, terdapat perdebatan yang selalu muncul ketika ada kolom kosong dalam pilkada. Kampanye yang diatur dalam undang-undang hanya bisa dilakukan oleh tim kampanye yang terdaftar di KPU.
”Pertanyaannya adalah, apakah kolom kosong juga boleh direpresentasikan oleh kelompok tertentu? Itu yang mesti diatur ke depannya. Adanya calon tunggal menghadirkan kolom kosong. Keduanya bisa menjadi pilihan sebagai wujud dari hak pilih masyarakat,” katanya.
Dalam pilkada yang memunculkan calon tunggal, pemilih bisa memilih calon tunggal atau kolom kosong. Herdiansyah berpendapat, setiap masyarakat itu dijamin hak untuk memilih dan dipilih. Maka, hak untuk memilih itu juga bisa dijamin dengan aturan yang memadai ketika ada kelompok yang mengkampanyekan kolom kosong. Sebab, kolom kosong adalah juga pilihan bagi masyarakat yang tidak setuju dengan calon yang tersedia.
”Jika ada yang bilang kampanye kolom kosong itu rentan untuk pencemaran nama baik, justru itu yang menjadi alasan kenapa ada kebutuhan untuk mengatur soal kolom kosong lebih detail. Kalau masyarakat mau memilih kotak kosong, mestinya itu dikanalisasi dan dibuatkan regulasinya agar hak untuk memilih itu dijamin dengan baik,” ujarnya.
Kemenangan
Fenomena calon tunggal di pilkada meningkat sejak 2015. Pada pilkada serentak 2015 ada tiga daerah dengan pasangan calon tunggal, kemudian pada 2017 jumlah calon tunggal naik menjadi sembilan daerah. Pada pilkada kali ini, jumlahnya naik derastis menjadi 25 daerah.
Berkaca dari pilkada sebelumnya, sebagian besar calon tunggal memenangi pilkada. Ada juga beberapa wilayah dengan calon tunggal kalah. Pilkada di Makassar pada 2018 misalnya, pemilihan wali kota hanya diikuti satu pasangan, yakni Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi. Pasangan itu "kalah" dan akhirnya pemerintah menunjuk pejabat wali kota untuk memimpin Makassar hingga pilkada selanjutnya.
Sama halnya dengan pilkada dengan pilihan dua pasangan calon, dalam pemilihan calon tunggal, setiap surat suara dinyatakan sah jika pemilih memilih salah satu kolom, baik kolom calon tunggal atau kolom kosong. Pada Pasal 54 UU No 10 Tahun 2016, calon tunggal dinyatakan menang jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah.
Jika calon tunggal tak berhasil mendapatkan dukungan lebih dari 50 persen suara sah, kolom kosong yang ”menang”. Jika demikian, pemerintah akan menugaskan penjabat gubernur, penjabat bupati, atau penjabat walikota untuk memimpin daerah tersebut.
Dengan adanya calon tunggal ini, penyelenggara pilkada diharapkan melakukan sosialisasi dengan baik. Informasi yang komprehensif dan merata diharapkan bisa memberi gambaran kepada masyarakat secara utuh sehingga tidak menguntungkan calon tunggal. Masyarakat diharapkan bisa menentukan pilihan politik secara sadar.
”Sosialisasi yang dilakukan perlu dipastikan utuh dan mengedukasi masyarakat. Masyarakat dijamin haknya untuk memilih calon tunggal ataupun kolom kosong. Jika setuju dengan calon tunggal, bisa dipilih. Jika tidak, pilihan politik masih bisa dilakukan dengan memilih kolom kosong,” ujar pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Samarinda, Lutfi Wahyudi.