Tindak Represif Polisi dalam Penanganan Aksi di Kendari Dikecam
Bentrokan antara mahasiswa dan polisi mewarnai aksi peringatan setahun kematian dua mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kendari. Sejumlah mahasiswa ditangkap.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Aksi peringatan setahun kematian dua mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kendari berujung bentrokan dengan aparat kepolisian. Sedikitnya empat mahasiswa ditangkap pada kejadian tersebut. Sejumlah elemen mengecam penanganan aksi aparat kepolisian yang dianggap berlaku sewenang-wenang dan tidak belajar dari kesalahan sebelumnya.
Ratusan mahasiswa dari sejumlah kampus dan elemen kembali melakukan aksi di Markas Polda Sulawesi Tenggara sejak Sabtu (26/9/2020) siang. Mereka melakukan aksi solidaritas peringatan setahun tragedi September Berdarah, yang membuat dua mahasiswa, Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi, meninggal. Mereka menuntut polisi bertanggung jawab terkait hal itu dan menyelesaikan kasus yang hingga saat ini belum juga jelas.
Aksi berlangsung damai, dengan beberapa koordinator melakukan orasi. Sebuah helikopter milik Polairud Sultra kemudian terbang di atas kerumunan massa. Helikopter tersebut terbang rendah dan berputar tiga kali di atas kerumunan massa. Hal ini memicu kemarahan sejumlah mahasiswa.
Mahasiswa lalu kembali melanjutkan aksi. Mereka menuntut Kepala Polda Sultra Inspektur Jenderal Yan Sultra Indrajaya menemui mereka dan menjelaskan duduk perkara penanganan kasus Randi-Yusuf. Meski demikian, hingga jelang sore, tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Jabal, salah seorang koordinator aksi, dalam orasinya menyampaikan, penanganan kasus Randi memiliki banyak kejanggalan. Mulai dari barang bukti, saksi, hingga tersangka yang kini menjadi terdakwa. Sementara kasus Yusuf belum sama sekali ada kejelasan hingga saat ini.
”Oleh karena itu, kami meminta Kepala Polda Sultra Irjen Yan Sultra untuk menjelaskan hal ini. Apalagi beliau ini setahun lalu adalah perwira paling tinggi yang berada di lokasi menangani aksi,” ucap Jabal.
Merasa tuntutannya tidak dipenuhi, sejumlah demonstran mencoba menerobos pengamanan aparat. Bentrokan pun tidak terhindarkan. Aksi saling lempar batu terjadi. Aparat menembakkan meriam air, juga gas air mata.
Sejumlah mahasiswa ditangkap. Dua orang terlihat luka di kepala sembari digelandang ke Markas Polda Sultra. Hingga Sabtu sore, sedikitnya empat mahasiswa ditangkap.
Bentrokan antara demonstran dan aparat terus berlangsung hingga malam. Aksi saling lempar masih terjadi. Massa bertahan di jalan sekitar 1 kilometer dari Mapolda Sultra. Mereka juga membakar ban dan menutup jalan.
Sejumlah mahasiswa ditangkap. Dua orang terlihat luka di kepala sembari digelandang ke Markas Polda Sultra.
Direktur Polairud Polda Sultra Komisaris Besar Suryo Aji, dari dalam mobil meriam air, mengarahkan agar massa mundur dan menghentikan lemparan. Suryo bertindak selaku penanggung jawab lapangan aparat kepolisian. Sejumlah aparat juga terlihat membalas melempar batu ke arah massa.
Suryo tidak mengangkat telepon atau membalas pesan saat dihubungi pada Sabtu malam. Yan Sultra Indrajaya juga tidak membalas pesan yang dikirimkan. Kepala Bidang Humas Polda Sultra Ajun Komisaris Besar Ferry Walintukan juga tidak membalas pesan.
Hidayatullah, aktivis prodemokrasi Sultra, mengecam tindakan aparat yang ia nilai kembali represif dalam penanganan massa. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya perubahan penanganan massa di kepolisian meski sebelumnya telah merenggut dua nyawa.
”Saya lihat tidak ada kemajuan dari penanganan aksi oleh aparat. Mereka tetap melakukan kekerasan dan langsung membubarkan massa. Padahal, aksi ini adalah buntut dari ketidakjelasan penanganan kasus oleh kepolisian sendiri,” tutur mantan Ketua KPU Sultra ini.
Menurut Hidayatullah, kematian dua mahasiswa Randi-Yusuf merupakan catatan kelam demokrasi di Indonesia. Hal ini menambah deretan catatan buruk kepolisian dalam menangani massa. Meski begitu, hingga saat ini, pelaku dan aktor utama penembakan dua mahasiswa ini belum juga terungkap.
Rahman Paramai dari Aliansi Mahasiswa Sedarah mengungkapkan, aparat telah bertindak sewenang-wenang dengan melakukan pemukulan, pengusiran dengan helikopter, hingga perusakan barang mahasiswa. Seorang mahasiswa yang ditangkap bahkan dipukuli hingga buang air besar.
Padahal, lanjut Rahman, Pasal 28 Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum melarang sikap arogansi kepada massa aksi, terlebih pada kelompok aksi kategori hijau. Pasal di atas juga melarang polisi untuk membalas melempar demonstran dan menangkap dengan kekerasan.
”Barang-barang kami selama aksi damai dengan kemah di depan Mapolda Sultra juga dirusak dan dibakar saat bentrokan tadi. Hal ini berarti polisi terus melanggar perkapolri itu sendiri. Oleh karena itu, kami menuntut Kapolda Sultra untuk mundur dari jabatannya,” ucap Rahman.
Selain itu, ia menambahkan, aparat yang bertindak sewenang-wenang harus diberi hukuman selain aturan. DPR juga seharusnya mengevaluasi penggunaan senjata oleh aparat kepolisian dalam penanganan aksi unjuk rasa.
”Dan, yang tidak kalah penting, kasus penembakan Randi-Yusuf harus dituntaskan. Dugaan keterlibatan Pejabat Polda Sultra dalam intervensi kesaksian dalam proses BAP juga harus diusut,” lanjutnya.
Aksi demonstrasi kali ini merupakan buntut kejadian tepat setahun lalu yang menewaskan Randi dan Yusuf. Randi tertembak di ketiak kiri yang tembus ke dada kanan. Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan ini meninggal beberapa saat setelah penembakan karena kehabisan darah.
Sementara Yusuf mengalami luka terbuka di kepala. Menurut polisi, luka tersebut akibat benda tumpul. Akan tetapi, berdasarkan temuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), mahasiswa vokasi D-3 Teknik Sipil ini meninggal karena luka tembakan.
Temuan itu diperoleh dari keterangan saksi mata yang tepat berada di samping Yusuf ketika kejadian berlangsung. Menurut saksi, setelah terkena tembakan, Yusuf jatuh tersungkur di depan kantor Disnakertrans Sultra, lalu seseorang diduga oknum aparat kembali datang memukul korban.
Setahun setelah penembakan kedua mahasiswa ini, kasusnya belum terungkap jelas. Untuk kasus Randi, telah menyeret Brigadir AM sebagai terdakwa. Brigadir AM adalah satu dari enam polisi yang diketahui membawa dan menembakkan senjata saat penanganan massa. Mereka telah dihukum disiplin karena hal tersebut.
Sidang penembakan Randi masih mendengarkan keterangan saksi. Saksi ahli balistik menyebutkan, dua anak peluru dan satu selongsong yang menjadi barang bukti identik dengan senjata Brigadir AM. Akan tetapi, dua selongsong tidak memiliki kesamaan dengan 14 senjata api yang diperiksa sebagai barang bukti.
Adapun kasus Yusuf hingga saat ini masih sebatas penyelidikan. Kepala Bidang Humas Polda Sultra Komisaris Besar Ferry Walintukan pada Agustus lalu menyampaikan, pihaknya saat ini terus melakukan penyelidikan atas tewasnya Yusuf Kardawi. Namun, aparat kesulitan untuk pemenuhan alat bukti dan saksi yang melihat langsung peristiwa meninggalnya Yusuf.