Perempuan Petani Berjibaku Mencoba Solutif di Ladang Gambut Kalteng
Perempuan tani di Kalimantan Tengah terus berinovasi, menyiasati situasi tidak menguntungkan menjadi peluang dan ladang kesejahteraan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Mengolah gambut tanpa membakar bukanlah perkara mudah bagi petani di Kalimantan Tengah. Enggan menyerah pada keadaan, para perempuan petani di pedalaman Kalteng berinovasi menghadirkan solusi.
Rabu (23/9/2020) siang, di teras salah satu rumah kayu di Desa Kandan, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Sri Maryati (44) dan Jiyarti (36) sibuk menggoreng adonan buah naga. Adonan dibuat dari tepung terigu, tapioka, dan beragam bumbu, yang kemudian dicampur dengan buah naga yang sudah diblender. Buah naga itu diambil dari buah-buah kualitas dua yang jika dijual harganya turun.
”Sudah dua tahun belakangan ini kami bikin stik buah naga, habisnya kebun suami kami, tuh, semua kena hama penyakit,” kata Jiyarti.
Desa Kandan memang terkenal sebagai penghasil buah naga. Setidaknya ada 53 hektar (ha) lahan di desa itu yang semuanya ditanami buah naga. Sisanya, sekitar 20 ha, ditanami beragam komoditas, seperti karet dan padi ladang.
Desa Kandan dihuni 625 keluarga, 350 di antaranya warga transmigran. Sebagian besar warga memanfaatkan kebun hingga pekarangannya untuk menanam buah naga.
Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi pada awal 2019 melakukan panen buah naga karena hasilnya yang melimpah. Namun, seusai panen itu, hama semakin merajalela.
Awalnya, lahan seluas 1 ha atau sama dengan ukuran lapangan sepak bola itu bisa menghasilkan 3-4 ton buah naga. Kini, bisa mendapatkan 100 kilogram (kg) per hektar saja sudah beruntung.
Lahan milik suami Sri Maryati pada tahun ini malah tak menghasilkan apa-apa. ”Kalaupun ada, kualitas buahnya buruk dan harganya murah banget,” kata Sri.
Harga buah naga kualitas terbaik Rp 25.000 per kg, sedangkan kualitas nomor dua Rp 10.000 per kg. Seusai diserang hama yang membuat daun hingga kulit buah berbintik seperti cacar, harganya anjlok menjadi Rp 5.000 per kg.
Jatuhnya harga buah naga ini disiasati Kelompok Wanita Tani Sumber Rejeki yang diketuai Sri Maryati. Dengan 30 anggota, mereka berinovasi membuat keripik dan dodol dari buah naga kualitas dua.
”Isi buah sebenarnya tak rusak, hanya ada bintik-bintik di bagian kulit. Kalau rasanya, dibandingkan dengan kualitas yang bagus itu sama. Hanya saja enggak ada yang mau beli, makanya dibuat stik,” tuturnya.
Jatuhnya harga buah naga ini disiasati Kelompok Wanita Tani Sumber Rejeki yang diketuai Sri Maryati. Dengan 30 anggota, mereka berinovasi membuat keripik dan dodol dari buah naga kualitas dua.
Gagasan itu lantas dikembangkan Dinas Pertanian Kotawaringin Timur dengan memberikan pelatihan dan bantuan peralatan. Mereka pun mulai memproduksi camilan dari buah naga dan menjualnya Rp 12.500 untuk kemasan 200 gram dan Rp 25.000 per 400 gram.
Penjualan makanan ringan itu mampu mengobati jatuhnya harga buah naga. Penjualannya pun sampai ke ibu kota provinsi, Palangkaraya.
Serupa Desa Kandan, kelompok wanita tani di Desa Gandang Barat juga menyiasati hidup di lahan gambut yang penuh dilema karena adanya kebijakan larangan membakar.
Meski diterjang pandemi Covid-19 yang membuat omzet kopi mereka menurun, para perempuan tani itu lantas bersiasat dengan cara membuat kemasan yang lebih kecil untuk dijual di warung-warung sekitar desa. ”Lumayan hasilnya, bisa menutupi keuntungan yang menurun dari penjualan ke kafe-kafe di kota,” kata Ketua Kelompok Usaha Bersama Bisa Iin Darwati.
Mereka semua memiliki kesamaan, yakni enggan menanam padi lantaran takut masuk penjara atau gagal panen. Jika membakar lahan untuk menanam padi, mereka bisa masuk penjara. Namun, jika tidak membakar lahan, gagal panen membayangi.
Ketua Kelompok Tani Lancang Mandiri Saruman (53) mengungkapkan, lahan 1 ha miliknya semula ditanami padi. Namun, dalam dua kali percobaan tanpa membakar, dua kali juga ia gagal.
”Itu dikerjakan secara manual, tanpa ada alat, tanpa bantuan apa-apa, jadinya gagal. Saya yakin, banyak petani mengalami hal sama,” katanya.
Mereka semua memiliki kesamaan, yakni enggan menanam padi lantaran takut masuk penjara atau gagal panen.
Program pangan
Kelompok-kelompok perempuan tani itu berada jauh dari ingar-bingar program lumbung pangan (food estate) di Pulang Pisau dan Kapuas, Kalteng. Pemerintah pusat pada tahun ini memulainya di lahan 30.600 ha dengan rincian 10.600 ha di Pulang Pisau dan 20.000 ha di Kapuas.
Kelompok-kelompok tani di dua wilayah itu sebenarnya tak jauh berbeda dengan kelompok tani lain yang bertani di lahan gambut. Namun, mereka yang di lokasi megaproyek pangan itu berhasil memanfaatkan lahan gambut dan mengelolanya tanpa membakar.
Betapa tidak, mereka membuat gambut yang awalnya rawa menjadi sawah. Apalagi, Kementerian Pertanian memberikan bantuan alat pertanian berupa 200 traktor roda dua dan 150 traktor roda empat yang dapat digunakan untuk menyiapkan lahan seluas 1.000 ha yang direncanakan ditanami secara serentak saat Presiden Joko Widodo tiba di Kalteng.
Kalteng saat ini memang surplus beras. Hal itu berkat dua kabupaten, yaitu Pulang Pisau dan Kapuas, yang jadi penghasil beras terbesar di Kalteng. Berdasarkan Data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Pertanian Kalteng, pada Maret- April 2020 terdapat 44.448,69 ha (hampir empat kali luas Kota Bogor) lahan yang dipanen dengan hasil 129.041,11 ton gabah kering giling. Jumlah itu sudah memenuhi kebutuhan beras di Kalteng selama Maret dan April, bahkan lebih 17.851 ton beras.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Kalteng Sunarti mengungkapkan, pihaknya berencana mengembangkan singkong di lahan seluas 1 juta ha di luar kawasan gambut. Semua program ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat.
Banyak wilayah lain di luar lokasi lumbung pangan yang masih berjuang mengolah lahan gambut tanpa membakar guna memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Meski tidak menjadi bagian dari proyek strategis nasional itu, para perempuan tani di Kalteng terus berinovasi, menyiasati situasi tidak menguntungkan menjadi peluang dan ladang kesejahteraan.