Pengolahan Merkuri di Maluku Masih Terus Berlangsung
Kendati Presiden Joko Widodo telah memerintahkan untuk ditutup, tambang sinabar di Pulau Seram, Maluku, diduga masih beroperasi. Sinabar yang dihasilkan diolah menjadi merkuri dan dijual secara ilegal.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Dalam satu bulan terakhir, polisi menyita sekitar 295 kilogram merkuri ilegal yang hendak dibawa ke luar Ambon, Maluku. Merkuri yang diolah di sejumlah lokasi itu berasal dari batu sinabar hasil penambangan liar di Pulau Seram, yang pernah diperintahkan untuk ditutup oleh Presiden Joko Widodo.
Hingga Kamis (24/9/2020), sejumlah anggota Kepolisian Sektor Leihitu masih memburu para pelaku yang terlibat dalam perdagangan merkuri. Beberapa lokasi yang diduga menjadi tempat penyimpanan dan pengolahan merkuri dalam incaran petugas untuk digerebek. ”Saat ini dalam penelusuran,” ujar Kepala Polsek Leihitu Inpektur Satu Julkisno Kaisupy.
Penelusuran itu berawal dari penangkapan sepasang suami-istri pada Minggu (20/9) pukul 02.30 WIT. LAL (40) bersama istrinya, WJ (42), ditangkap saat mengangkut 200 kilogram merkuri ilegal siap edar. Merkuri yang dikemas dalam 23 botol itu, menurut rencana, dikirim ke Pulau Jawa melalui kapal laut.
Menurut Julkisno, keduanya dicegat di depan Markas Polsek Leihitu yang berjarak sekitar 11 kilometer dari Kota Ambon. Saat itu, mobil yang mengangkut merkuri dari salah satu desa tak jauh dari polsek sedang melaju menuju Kota Ambon. ”Setelah dicek, mereka ini pemain lama, sudah sering terlibat dalam bisnis merkuri,” ujar Julkisno. Merkuri itu dijual dengan harga paling murah Rp 1 juta per kilogram. Harga belinya sekitar Rp 800.000 per kilogram.
Wilayah Leihitu di Pulau Ambon merupakan titik transit terdekat dari sumber merkuri yang berada di Pulau Seram. Merkuri itu diolah dari batu sinabar yang ditambang di Gunung Tembaga. Tempat pengolahan diperkirakan berada di sekitar lokasi penambangan dan desa-desa terdekat. Setelah diolah, merkuri lalu diangkut menggunakan perahu motor ke Ambon.
Saat ini, sejumlah pintu masuk di Leihitu selalu diawasi aparat. Para pelaku memanfaatkan situasi pandemi, di mana banyak aparat ditugaskan dalam penanganan Covid-19. ”Dalam pengungkapan kasus ini, kami beruntung mendapatkan pasokan informasi dari masyarakat yang menjadi informan kami,” ujar Julkisno.
Kendati demikian, banyak juga yang lolos hingga masuk ke Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon, bahkan hingga daerah tujuan. Kepala Polres Kota Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease Komisaris Besar Leo Surya Simatupang mengatakan, dalam sebulan terakhir, total sebanyak 95 kilogram merkuri yang disita di pelabuhan dan di atas kapal.
Menurut catatan Kompas, tahun ini telah berulang kali terjadi penangkapan pembawa merkuri. Salah satunya pada 23 Maret lalu saat polisi menindak satu kapal motor berisi 1,7 ton merkuri. Merkuri hendak dibawa ke Baubau, Sulawesi Tenggara, dan dijual Rp 1,3 juta per kilogram. Hal ini menyiratkan dugaan penambangan sinabar di lokasi yang mulai beroperasi tahun 2012 itu masih berlangsung hingga kini.
Padahal, lokasi itu pernah ditutup pada akhir 2017 atas perintah langsung Presiden Joko Widodo. Itu setelah pemerintah meratifikasi Konvensi Minamata dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata tentang Merkuri serta Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri.
Pengamat lingkungan dari Universitas Pattimura, Ambon, Stevin Melay, berpendapat, perlu keseriusan untuk memerangi peredaran merkuri secara ilegal. Jika tidak, keselamatan manusia menjadi taruhannya. Merkuri dapat merusak saluran pencernaan, otak, jantung, ginjal, hati, paru, sistem saraf, dan sistem kekebalan tubuh.