Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 diundangkan. Di PKPU itu, paslon dilarang berkampanye dalam bentuk rapat umum, pentas seni, hingga konser musik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum telah merevisi aturan terkait tahapan kampanye Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 demi mencegah terjadinya kerumunan massa dan penyebaran Covid-19. Dalam aturan baru tersebut, peserta pemilu dilarang menggelar kampanye dalam bentuk rapat umum, pentas seni, hingga konser musik.
KPU di daerah telah menetapkan pasangan calon kepala daerah pada 23 September, kemudian diikuti dengan pengundian nomor urut pasangan calon kepala daerah pada 24 September. Setelah itu, tahapan kampanye berlangsung pada 26 September hingga 5 Desember 2020.
Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (24/9/2020), mengatakan, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19 resmi diundangkan pada Rabu (23/9/2020). Adapun PKPU ini merupakan perubahan kedua atas PKPU No 6/2020.
”Sebetulnya sosalisasi telah dimulai sejak diundangkannya PKPU Nomor 6 Tahun 2020. Sejalan dengan sejumlah perubahan, maka update sosialisasi dan evaluasi juga terus dilaksanakan,” ujar Raka.
Raka menyebut, jika dibandingkan dengan PKPU No 6/2020 dan PKPU No 10/2020, maka PKPU No 13/2020 mengatur lebih detail terkait metode kampanye di tengah pandemi beserta sanksinya bagi pelanggar protokol kesehatan. ”Ketentuan-kententuan lainnya secara umum tidak banyak berubah,” katanya.
Larangan
Aturan terbaru, misalnya, dialam Pasal 88C Ayat (1) PKPU No 13/2020, setidaknya terdapat enam jenis kegiatan kampanye yang dilarang dalam Pilkada 2020. Kegiatan tersebut mulai dari pentas seni, panen raya, konser musik, jalan santai, perlombaan, bazar, donor darah, hingga peringatan hari ulang tahun partai politik. Bahkan, PKPU ini juga melarang kampanye akbar atau rapat umum.
Pelarangan metode kampanye yang berpotensi menimbulkan kerumunan massa itu merupakan jawaban atas hasil rapat antara pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Komisi II DPR, dan penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Senin (21/9/2020).
Sebelumnya, masyarakat sempat mempermasalahkan Pasal 63 Ayat (1) PKPU No 10/2020 yang mengizinkan kampanye dalam bentuk konser musik, pentas seni, hingga olahraga bersama.
Pasal 63 di PKPU No 10/2020 tersebut pun akhirnya direvisi oleh KPU. Dalam pasal yang sama di PKPU No 13/2020 kini dijelaskan, bentuk kampanye lain yang tidak melanggar ketentuan undang-undang boleh digelar secara daring.
Debat publik
Melalui PKPU No 13/2020, KPU juga mulai mempertegas aturan di debat publik. Kini, debat publik hanya boleh dihadiri oleh pasangan calon, 2 orang perwakilan Bawaslu, 4 orang tim kampanye paslon, serta 5 atau 7 orang dari KPU provinsi/kabupaten/kota.
Sementara di PKPU sebelumnya, KPU membatasi jumlah undangan dan/atau pendukung yang hadir di debat publik paling banyak 50 orang untuk semua paslon.
PKPU No 13/2020 juga menambah satu materi debat publik, yaitu kebijakan penanganan, pencegahan, dan pengendalian Covid-19. Sebelumnya, ada enam materi debat publik yang ditawarkan, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memajukan daerah, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menyelesaikan persoalan daerah, menyerasikan pelaksanaan pembangunan daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional, serta memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kebangsaan.
Soal sanksi, KPU juga mulai mencantumkannya di BAB XIA PKPU No 13/2020. Misal, jika partai politik, paslon kepala daerah atau tim kampanye melanggar ketentuan di Pasal 88C Ayat (1), sanksi bisa berupa peringatan tertulis oleh Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota pada saat terjadinya pelanggaran.
Namun, apabila peringatan tertulis tak diindahkan, Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota berhak menghentikan dan membubarkan kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran.
Selain itu, dalam Pasal 88D, jika paslon, partai politik pengusul, penghubung paslon, tim kampanye, dan/atau pihak lain didapati melanggar protokol kesehatan, sebagaimana diatur dalam metode kampanye pertemuan terbatas, debat publik, dan penyebaran bahan kampanye kepada umum, maka sanksi bisa berupa peringatan tertulis hingga pembubaran kegiatan kampanye oleh Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota.
Jika peringatan tersebut tetap diabaikan, yang bersangkutan dilarang melakukan metode kampanye yang dilanggar selama tiga hari berdasarkan rekomendasi Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, menyambut positif diterbitkannya PKPU No 13/2020. Menurut dia, di PKPU yang baru tersebut sudah mulai mempertegas sanksi yang bisa dikenakan kepada paslon.
”Itu, kan, memberikan kejelasan, bagaimana peran Bawaslu di proses pemilihan. Jadi, kalau selama ini kita melihat masih kurang sana-sini, (PKPU No 13/2020) ini, kan, sudah dipertegas,” kata Fritz.
Menurut Fritz, saat ini tidak harus berbicara soal sanksi diskualifikasi paslon. Sebab, apabila paslon tetap melanggar aturan dan dikenai sanksi oleh Bawaslu hingga kepolisian, itu bisa menjadi kampanye negatif bagi mereka. Apalagi jika nanti kepolisian secara tegas menindaklanjuti dengan proses pemanggilan, maka bisa berujung pada sanksi pidana.
”Sanksi bisa jelek. Paslon diberi peringatan, itu bisa muncul di media, kan, bisa menjadi kampanye negatif buat dia. Sudah diberi sanksi dan diperiksa kepolisian. Itu bisa jadi bad image untuk dipakai paslon lain,” ucap Fritz.
Fritz berharap agar masyarakat tidak melulu bicara penundaan Pilkada 2020. Seluruh aparat pengawas dan penegak hukum akan berusaha menjaga ketat setiap proses tahapan pilkada melalui PKPU terbaru dan peraturan perundang-undangan yang ada sehingga tak terjadi pelanggaran protokol kesehatan.
”Jadi, jangan terlalu bersangka-sangka. Kita lihat dulu pelaksanaannya. Kampanyenya belum muncul. Lihat dulu proses yang sedang berjalan nanti,” kata Fritz.
Sanksi diskualifikasi
Melalui keterangan tertulis, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mendukung sanksi pemotongan kampanye calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan di PKPU No 13/2020. Menurut Azis, sanksi tersebut dapat membuat para calon kepala daerah untuk lebih disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
Bahkan, lanjut Azis, dirinya menginginkan ada sanksi yang lebih berat dan tegas yang dikenakan kepada para calon kepala daerah pelanggar protokol kesehatan dalam tahapan Pilkada 2020.
”Golkar siap diskualifikasi calon kepala daerah internalnya sesuai kesalahan dan aturan serta mekanisme internal partai,” ujar Azis.
Wakil Ketua Umum DPP Golkar itu menjelaskan bahwa sanksi tegas tersebut berguna demi menyelamatkan para calon kepala daerah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Ia tidak ingin sampai pilkada menjadi sebuah catatan sejarah yang kelam bagi bangsa Indonesia dalam melaksanakan pesta demokrasi.
”Semoga setiap partai memiliki komitmen yang sama di pilkada serentak ini,” katanya.