Pelaku Perjalanan ke Sulteng Wajib Tes PCR
Mulai 28 September 2020, pelaku perjalanan ke Sulteng harus membawa hasil negatif dari tes PCR sebagai syarat masuk wilayah provinsi tersebut.
PALU, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah memperketat mobilitas orang ke daerah itu dengan kewajiban tes usap metode
polymerase chain reaction atau PCR.Hanya pelaku perjalanan dengan hasil tes negatif yang bisa masuk ke Sulteng. Langkah itu diambil untuk mengendalikan Covid-19 yang merebak signifikan seminggu terakhir dari pelaku perjalanan.
Kebijakan itu mulai berlaku pada 28 September 2020. Sisa waktu ini digunakan untuk sosialisasi. Persyaratan tes PCR tak berlaku untuk mobilitas warga di dalam provinsi. ”Ini memang terpaksa kami lakukan karena tingkat penularan Covid-19 sangat tinggi. Ternyata, hasil penelitian epidemiologi, semua ini dari pelaku perjalanan,” kata Gubernur Sulteng Longki Djanggola saat ditemui seusai telekonferensi bersama bupati dan wali kota se-Sulteng di Palu, Rabu (23/9/2020).
Petugas di pos masuk Sulteng, baik melalui udara, laut, maupun darat, akan memeriksa surat hasil tes PCRdengan hasil negatif. Surat itu harus dikantongi semua pelaku perjalanan, baik aparatur sipil negara, pejabat, maupun kalangan masyarakat umum. Jika tak ada surat itu, pelaku perjalanan otomatis tak bisa masuk ke Sulteng.
Longki menyebutkan, langkah itu memang tak biasa di era normal baru yang memberikan kesempatan kepada semua orang untuk bisa bepergian. Ia menegaskan hal itu semata-mata untuk mengendalikan penularan Covid-19. ”Kalau tidak dikendalikan, penularan bisa jadi bom waktu,” ujarnya.
Dalam lima hari terakhir, ada tambahan 52 kasus baru Covid-19 di Sulteng. Angka itu setara 21 persen dari total kasus kumulatif yang sebanyak 234 kasus. Tambahan kasus itu menjadi yang terbanyak dalam rentang sekitar satu minggu sejak Sulteng melaporkan kasus pertama pada akhir Maret 2020.
Tambahan kasus signifikan terjadi di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Morowali. Di Kota Palu, misalnya, dalam lima hari terakhir, ada tambahan 19 kasus. Di Donggala, dalam rentang yang sama, tercatat 16 kasus baru. Karena tambahan kasus signifikan, tiga wilayah itu dikategorikan zona merah penularan Covid-19 dari sebelumnya zona kuning.
Baca juga : Jangan Terlambat Lagi Memutus Potensi Ledakan Covid-19 di Sulteng
Peningkatan kasus pernah melanda Sulteng pada akhir April hingga Mei 2020. Saat itu, pandemi Covid-19 merebak di Kabupaten Buol yang memaksa daerah tersebut menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dengan PSBB, kasus bisa ditekan hingga pertengahan Juni 2020.
Longki melanjutkan, sosialisasi sebelum pemberlakuan kebijakan wajib PCR itu diharapkan bisa dimanfaatkan warga untuk persiapan. Ia mengklaim tes PCR saat ini tidak terlalu mahal. Biaya tes PCR dengan sampel usap tenggorokan (swab) saat ini tak kurang dari Rp 1,6 juta per spesimen.
Meskipun ada potensi keuntungan ekonomi yang bisa hilang dari lalu lintas pelaku perjalanan karena persyaratan tersebut, Longki menyatakan kesehatan masyarakat harus didahulukan.
Beberapa waktu lalu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Palu Husaema menyampaikan, kasus Covid-19 di ibu kota Provinsi Sulteng dibawa oleh pelaku perjalanan. Kasus lalu menyebar ke orang-orang dekat atau anggota keluarga. Menurut dia, pengawasan terhadap pelaku perjalanan menjadi kunci pengendalian penularan.
Baca juga : Pengawasan Pelaku Perjalanan Jadi Kunci Pengendalian Covid-19 di Palu
Sebelum pemberlakuan syarat hasil tes PCR tersebut, pengawasan di pos perbatasan antarprovinsi dan kabupaten tetap berjalan. Namun, kebijakannya tak seragam. Ada daerah yang mewajibkan hasil nonreaktif dari tes cepat (rapid test) bagi pelaku perjalanan dari luar Sulteng, ada pula yang hanya berdasarkan surat keterangan sehat tanpa tes.
Untuk Sulteng, kota-kota dengan mobilitas warga masuk dan keluar yang tinggi di antaranya Makassar, Sulawesi Selatan, baik jalur darat, laut, maupun udara; Gorontalo (Gorontalo) dan Manado (Sulawesi Utara) melalui jalur darat; Balikpapan dan Tarakan di Pulau Kalimantan melalui jalur laut; serta Jakarta dan Surabaya (Jawa Timur) via udara atau penerbangan. Penularan Covid-19 di daerah-daerah tersebut hingga saat ini masih sangat tinggi.
Operasi yustisi
Selain pengetatan pelaku perjalanan, pengendalian penularan Covid-19 di Sulteng dilakukan dengan pendisiplinan protokol kesehatan yang berintikan pada tiga hal, yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Kabupaten/kota se-Sulteng telah menerbitkan peraturan bupati/wali kota untuk penerapan protokol tersebut disertai sanksi denda dan sanksi sosial.
Denda dikenakan kepada individu sebesar Rp 25.000-Rp 50.000. Adapun denda untuk pelaku usaha atau penyelenggara kegiatan umum hingga Rp 200.000. Longki menyebutkan, pendisiplinan dan penegakan protokol kesehatan melalui operasi yustisi diberlakukan mulai 1 Oktober 2020. Selama ini para pemangku kepentingan sudah mulai menyosialisasikannya. Penegakan hukum melibatkan Polri, TNI, kejaksaan, dan satuan polisi pamong praja di setiap kabupaten/kota.
Intinya partisipasi warga untuk dengan sadar menerapkan protokol kesehatan.
Kepala Polda Sulteng Inspektur Jenderal Abdul Rakhman Baso menyatakan, pihaknya siap menggelar operasi yustisi. ”Namun, intinya partisipasi warga untuk dengan sadar menerapkan protokol kesehatan. Di situ kuncinya,” katanya.
Nia (40), warga Palu, mengatakan, meskipun agak terlambat setelah kasus meningkat signifikan, pendisiplinan penerapan protokol jalan terbaik untuk mencegah penularan di masyarakat. ”Saya harapkan ini menjadi kesempatan bagi semua orang untuk sadar dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan juga orang lain,” ujarnya.
Penerapan protokol kesehatan memang tak sepenuhnya berjalan di lapangan. Masih terlihat banyak pengendara di jalan yang tak memakai masker. Berkerumun juga masih susah dihindari. Acara-acara yang mengumpulkan banyak orang pun masih digelar.