Butuh Terobosan Kebijakan dan Sistem untuk Membangun SDM Desa
Triliun rupiah dana desa yang dikucurkan pemerintah sejak tahun 2015 tidak selalu berkorelasi positif dengan demokrasi desa, serta pembanguan sumber daya manusianya. Butuh terobosan kebijakan dan sistem untuk itu.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Triliun rupiah dana desa yang dikucurkan pemerintah sejak tahun 2015 tidak selalu berkorelasi positif dengan demokrasi desa, serta pembanguan sumber daya manusianya. Butuh terobosan kebijakan dan sistem untuk mendorong keberdayaan SDM desa.
Hal itu menjadi salah satu rangkuman dalam webinar ”Peluncuran Buku dan Diskusi Pengelolaan Dana Desa Studi dari Sisi Demokrasi dan Kapasitas Pemerintahan Desa”, oleh Tim Peneliti Desa-Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rabu (23/09/2020). Tim peneliti tersebut adalah Siti Zuhro, Heru Cahyono, Moch Nurhasim, Agus R Rahman, dan Nyimas Latifah Letty Aziz.
Hadir dalam webinar tersebut sejumlah undangan, seperti Sekretaris Jenderal Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal (PDTT) 2015-2020 Anwar Sanusi, dosen Sosiologi Pedesaan IPB University Ivanovich Agusta, dan Wakil Dekan Fisip Universitas Padjajaran Wahju Gunawan.
Pada acara itu, peneliti senior LIPI, Siti Zuhro, memaparkan bahwa dua desa yang diteliti oleh LIPI memiliki perbedaan kondisi yang sangat mencolok meskipun desa tersebut sama-sama mendapatkan dana desa dan menjalankan perundangan yang sama.
Dua desa itu adalah Desa Tanjung Sari di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, dan sebuah desa yang disamarkan namanya menjadi Desa Harumasari di Kabupaten Sidoarjo. Penelitian menunjukkan bahwa desa di Jawa Barat mampu berkembang menjadi desa yang maju, sedangkan desa di Jatim kondisinya bertolak belakang.
”Triliunan dana desa yang digelontorkan ke desa harusnya punya dampak positif ke pemerintahan desa. Namun, nyatanya ada 400-an kepala desa yang bermasalah dengan hukum. Korelasinya harusnya positif, tetapi rupanya tidak selalu. Ini terjadi karena ada problematika penyimpangan dalam pelaksanaannya,” tutur Siti Zuhro.
Siti Zuhro mengatakan, ada tiga hal patut disoroti terkait penyimpangan atau distorsi pengelolaan dana desa itu, yaitu kepemimpinan, SDM, dan peran pemerintah.
Demokrasi dan pengelolaan dana desa, menurut Zuhro, masih sangat bergantung pada gaya kepemimpinan dan kapasitas kepala desa. Butuh pemimpin yang genuine, yang berdedikasi membangun desa. Akan tetapi, kenyataannya, tidak semua kepala desa seperti itu. Itu sebabnya pola perekrutan kepala desa harus diperbaiki,” katanya.
Untuk memperbaiki pola kepemimpinan desa, tim peneliti sepakat bahwa harus ada perbaikan pola perekrutan calon kepala desa. ”Harus ada fit and proper test, perbaikan materi tes calon kepala desa (wawasan pemerintahan, manajerial, dan pemahaman demokrasi deliberatif), diperketat syarat dari sisi pendidikan, IT, dan akunting, serta adanya sanksi jika kades tidak menerapkan demokrasi deliberatif,” kata Heru Cahyo, tim peneliti LIPI lain.
Triliunan dana desa yang digelontorkan ke desa harusnya punya dampak positif ke pemerintahan desa. Akan tetapi, nyatanya ada 400-an kepala desa bermasalah dengan hukum.
Salah satu cara untuk mengubah sistem rekrutmen, misalnya, adalah dengan melibatkan kampus. Pemerintah daerah, menurutnya, didorong untuk berani melakukan dan membuat sistem rekrutmen kades yang lebih baik.
Terkait SDM desa, butuh dikuatkan partisipasi masyarakat desa dalam berbagai hal, mendorong munculnya pionir-pionir desa, serta memaksimalkan pendampingan desa.
Peran pemerintah dinilai juga sangat penting dalam membangun desa. ”Pengawasan dan pembinaan pemerintah pusat dan kabupaten ke desa harus ditingkatkan. Termasuk dalam menyusun anggaran, RAPBDes, dan mendorong pemerintahan yang akuntabel dan transparan,” kata Heru.
Wahju Gunawan, Wakil Dekan FISIP Universitas Padjajaran, lebih melihat bahwa yang jadi masalah dalam pemberdayaan desa bukanlah soal penggelontoran dana desa, melainkan hilangnya pengawasan atau pembinaan terhadap desa.
Pengawasan yang dimaksud Wahju adalah pengawasan oleh pusat ke desa melalui lembaga-lembaga yudikatif atau menumbuhkan model pengawasan sosial berbasis masyarakat sendiri.
”Bentuknya harus jelas. Misal, apakah bentuknya lembaga yudikatif di desa atau bagaimana. Pengawasan ini yang menurut saya hilang. Selama ini pengawasan sangat tidak ketat dan tidak dilakukan. Pengawasan justru diambil infradesa dan supradesa, seperti polisi, jaksa, LSM, dan wartawan. Ini yang hilang dalam sistem demokrasi di desa,” tutur dosen Sosiologi Fisip Unpad tersebut.
Wahju berharap, ke depan, bangsa ini tidak lagi ribut soal uangnya (dana desa) dan pemanfaatannya, tetapi lebih mengarah pada perbaikan sistemnya.
Anwar Sanusi, Sekretaris Jenderal Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal (PDTT) 2015-2020, mengatakan bahwa UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa mendorong demokrasi deliberatif hadir di desa. Demokrasi di mana keputusan dibuat berdasarkan konsensus umum (musyawarah desa) yang partisipatif.
”Harus diakui demokrasi deliberatif mulai hadir di desa. Memang mungkin masih ada kekurangan, tetapi ini akan kita jadikan perhatian. Yang jelas dana desa harus memberikan efek atau dampak perubahan baik ke desa. Jika ada kasus-kasus buruk, harus dicarikan jalan keluar agar tidak berkembang biak di tempat lain,” tuturnya.