Butuh waktu untuk menyiapkan calon awak kapal agar bisa terampil dan punya kompetensi. Hasilnya, mereka bisa sukses bekerja di kapal-kapal asing dan pulang dengan sejahtera.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Para siswa Sekolah Usaha Perikanan Menengah Ambon dan taruna Politeknik Kelautan Perikanan Maluku melaut pada Kamis (17/9/2020). Inilah proses mereka ditempa menjadi pelaut kapal ikan yang siap berlayar ke seluruh dunia.
Bekerja di kapal ikan asing tidak selalu berbuah derita seperti dialami sebagian pelaut Indonesia. Banyak pelaut Indonesia sukses dan senang bekerja di kapal-kapal ikan asing selama bertahun-tahun.
Cerita menyenangkan sebagai awak kapal asing, antara lain, dituturkan warga Ahmad Farhan (23) yang berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Di daerah yang tengah tenar karena berada di pusaran sindikat pemberangkatan pekerja migran Indonesia (PMI) secara ilegal ke berbagai kapal ikan Taiwan dan China itu, Farhan memulai petualangan menyenangkan di kapal ikan Jepang.
Ia belajar menjadi awak kapal ikan di Sekolah Usaha Perikanan Menengan (SUPM) Tegal. Selain belajar di kelas, ia juga magang di perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan SUPM Tegal. Selepas sekolah, ia mencari lowongan di kapal ikan Jepang melalui perusahaan penyalur PMI di Tegal. Ia menghindari perusahaan yang menawarkan pemberangkatan tanpa seleksi dan tidak butuh pengalaman serta keterampilan sebagai awak kapal. ”Kalau syaratnya terlalu mudah, prosesnya singkat, apalagi sampai minta uang jaminan di awal, itu sudah pasti abal-abal,” ujarnya.
Farhan menjalani seleksi yang menurut sebagian orang terlalu rumit. Ia mengikuti tes psikologi, tes tertulis tentang perikanan, dan tes fisik. Farhan juga diharuskan menyerahkan sertifikat kompetensi yang mendukung pekerjaannya. Kompetensi minimal yang harus dikuasai ABK, antara lain, prosedur penyelamatan diri di laut, mengoperasikan kapal perikanan, membaca peta lautan, membaca cuaca, dan menangkap ikan.
Setelah semua itu, bekerja di kapal ikan yang terdaftar di Jepang. Dalam sehari, ia rata-rata bekerja 12 jam. Setiap hari, ia mendapat jatah makan tiga kali. ”Kalau pagi diberi makan bubur dan sup. Kalau siang dan sore biasanya nasi, sayur, dan lauk. Buah juga disediakan,” ujarnya.
Persiapan
Butuh waktu untuk menyiapkan awak kapal agar bisa terampil seperti Farhan. Prosesnya, antara lain, dilalui belasan pelajar SUPM Ambon dan mahasiswa Politeknik Kelautan dan Perikanan Maluku di kapal Alalunga. Di bawah guyuran hujan dan terpaan angin, kapal latih itu meninggalkan Teluk Ambon menuju Laut Banda. Selama pelayaran, ada pelajar yang di ruang mesin dan anjungan kemudi. Sebagian lagi menyiapkan alat tangkap berupa senar panjang dengan kail yang telah dipasangi umpan.
ARSIP SUPM WAIHERU AMBON
Setiap siswa program keahlian nautika harus menjalani praktik di atas kapal penangkap ikan selama dua bulan di wilayah Maluku dan Maluku Utara.
Sebelum sampai lokasi penangkapan, kapal latih itu bergoyang karena ombak hingga 2 meter di Laut Banda. Sebagian pelajar di Alalunga tetap berdiri, sebagian lagi menunjukkan tanda mual. Mereka yang tak bisa menahan mual terpaksa duduk bersandar di dinding kapal.
”Jangan menunduk, lihat ke depan. Kalau mau muntah, jangan tahan-tahan,” kata salah seorang pelajar, La Risman (17), kepada rekannya yang mabuk laut.
Untunglah lokasi pemancingan sudah dicapai. Sebelum mulai menangkap ikan tuna dan cakalang, para pelajar yang mual memaksakan muntah untuk menghilangkan rasa tidak nyaman. Selepas muntah, mereka minum teh panas lalu kembali ke posisi masing-masing.
Pancing mulai ditebar, kapal bermanuver di tengah gerombolan ikan. Sayang, setelah 2 jam berusaha, tidak ada seekor pun ikan tersangkut. Padahal, potensi perikanan tangkap di Laut Banda mencapai 615.372 ton per tahun.
Kepala SUPM Ambon Achmad Jais Ely mengatakan bahwa setiap pelajar sekolah itu wajib berlayar sekurangnya 90 hari dalam setahun. Semakin berlayar, mereka melatih kompetensi dan pemahaman
Anatomi kapal, cuaca, alat tangkap, pergerakan ikan di air, dan penanganan ikan di atas kapal. Seluruh pelayaran itu dicatat dalam buku pelaut milik masing-masing pelajar. Semakin sering diisi dengan pengalaman melaut, semakin baik daya tawar mereka di pasar tenaga kerja.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Achmad Jais Ely, Kepala SUPM Waiheru Ambon sekaligus Direktur Politeknik Kelautan dan Perikanan Maluku
Apalagi, lulusan SUPM Ambon akan mendapat sertifikat ahli nautika atau teknika kapal ikan tingkat II. ”Yang nautika itu jadi nakhoda dan teknika itu jadi kepala kamar mesin. Meski dari dua jurusan berbeda, mereka punya satu kesamaan, yakni bisa menangkap ikan,” kata Jais.
SUPM Ambon yang berdiri sejak 1986 itu telah membantu keberangkatan ratusan lulusannya bekerja di kapal-kapal asing. Merek yang akan berangkat lewat jalur yang dibantu sekolah harus lulus sejumlah tes. Paling awal adalah sertifikat ahli teknika atau nautika serta buku pelaut. Setelah itu, ada ujian kekuatan lengan. Ujian itu sebagai persiapan kalau mereka akan bekerja di kapal ikan yang menggunakan pancing senar panjang.
Salah seorang lulusan sekolah itu, Elias Patinama (20), bekerja di Jepang sejak 2019. Gajinya hingga Rp 15 juta per bulan ditambah aneka tunjangan. Hampir seluruh gaji dan tunjangan dikirimkan ke keluarganya di kampung. Oleh keluarganya, uang itu dipakai untuk membiayai sekolah adik-adik Elias, membeli perahu dan motor tempel untuk perahu, serta membantu biaya pembangunan rumah.
Simulator
Latihan calon pelaut tidak hanya dilakukan di air. Betrans Ramadhani Wisanto (17) malah rutin berlatih di kampung padat di kawasan Ciracas, Jakarta Timur. Ia menggunakan simulator di SMK Pelayaran Pembangunan yang terletak 30 kilometer dari laut terdekat, Teluk Jakarta. ”Saya ke laut ingin mengubah nasib keluarga,” ujar Betrans, yang belajar nautika kapal niaga di SMK Pelayaran Pembangunan itu.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Betrans Ramadhani Wisanto berlatih mengemudikan kapal tanker menggunakan simulator, Rabu (16/9/2020), di SMK Pelayaran Pembangunan, Ciracas, Jakarta Timur.
Ia tahu, risiko bekerja di laut lebih besar dibanding bekerja di darat. Walakin, ia melihat peluang lebih besar di laut. Seorang pamannya bisa sejahtera karena jadi pelaut. Sementara mantan gurunya jadi kapten kapal berbendera Amerika Serikat dan menerima gaji rata-rata Rp 125 juta per bulan. Karena itu, Betrans ingin yakni menjadi kapten kapal dengan sertikat Ahli Nautika Tingkat (ANT) I.
Butuh proses panjang untuk mendapat sertifikat itu. Lulusan SMK Pelayaran Pembangunan bisa mendapat sertifikat ANT IV jika lulus ujian kompetensi dan telah melalui praktik kerja di kapal. Pemegang ANT IV menerima gaji hingga Rp 9 juta di kapal-kapal dalam negeri dan hingga Rp 15 juta per bulan di kapal-kapal luar negeri.
Bagi Bertrans dan banyak calon pelaut di Jakarta, bekerja di kapal asing bukan cuma soal gaji. ”Saya pernah ke Malaysia, Singapura, China, India, Pakistan, Oman, dan Iran,” ucap Ismail (23), yang kini sedang praktik kerja di tanker Beihai.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Betrans Ramadhani Wisanto berlatih menjangka peta untuk keperluan navigasi, Rabu (16/9/2020), di SMK Pelayaran Pembangunan, Ciracas, Jakarta Timur.
Di laut, ia bertemu dengan awak dari berbagai negara. Karena statusnya masih praktik kerja, Ismail baru menerima uang saku rata-rata Rp 5 juta per bulan. Ia tidak keberatan dengan itu dan sudah bahagia karena bisa menyambangi sejumlah negara.
Ia harus praktik kerja untuk memenuhi syarat ikut ujian mendapatkan sertifikat ANT III. Biaya ujian untuk mendapat sertifikat itu Rp 3,9 juta. Ismail bisa mendapatkannya dari hasil menabung uang saku selama praktik kerja di tanker berbendera China itu. Selain untuk biaya ujian, sebagian uang sakunya juga dikirim ke kampung halaman. ”Di laut bisa jajan,” ujarnya. (AGE/AIN/CAS/ERK/FRN/IKI/JOG/NAD/NDU/RAZ/REN/XTI)