Warga Sekitar Bendungan Raknamo Keluhkan Air Bersih
Warga dua desa di sekitar Bendungan Raknamo, Kabupaten Kupang, NTT, mengeluh soal ketersediaan air bersih karena air bendungan yang diresmikan 9 Januari 2018 oleh Presiden Joko Widodo sampai hari ini belum terisi penuh.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
OELAMASI, KOMPAS — Warga dua desa di sekitar Bendungan Raknamo, Kabupaten Kupang, NTT, mengeluh soal ketersediaan air bersih. Air bendungan yang diresmikan 9 Januari 2018 oleh Presiden Joko Widodo sampai hari ini belum terisi penuh. Bahkan, pada puncak kemarau, volume air tinggal 3 meter dari dasar waduk.
Kepala Desa Raknamo Agus Fernandes di Raknamo, Kabupaten Kupang, Senin (21/9/2020), mengatakan, sejak 2018 pemerintah membangun 70 bak air berukuran 2 meter x 3 meter dengan ketinggian 3 meter. Namun, sampai hari ini bak-bak air itu tidak terisi. Pipa air pun sudah dibangun, dari bendungan masuk permukiman penduduk.
Realitasnya saat masa menunggu hujan tidak turun lagi sehingga air terus menguap dan merembes ke dalam tanah sampai hampir mengering seperti sekarang. (Agus Fernandes)
Walakin, pipa tersebut belum disambung masuk sampai ke bak air atau rumah warga. Akibatnya warga beli air dari mobil tangki seharga Rp 100.000 per tangki berisi 5.000 liter. Sebagian warga memanfaatkan bak yang ada untuk isi air dari mobil tangki yang mereka beli sendiri. ”Kebanyakan bak-bak itu kosong karena daya beli warga di tengah pandemi Covid-19 semakin rendah,” kata Agus.
Ia mengatakan, sejak Bendungan Raknamo diresmikan Presiden Joko Widodo, 9 Januari 2018, air bendungan itu sama sekali belum melayani masyarakat Raknamo, termasuk warga Raknamo yang berdiam sekitar 50 meter dari bendungan. Padahal, warga sangat berharap air itu secepat mungkin bisa dialirkan ke rumah penduduk agar mengurangi beban hidup.
Bagi warga setempat, kata Agus, tampungan air yang mendekati permukaan bendungan bisa langsung dialirkan ke pemukiman warga. Padahal, menurut ahli bendungan, penyaluran air bisa dilakukan ketika musim hujan sampai air melimpah. Cara itu untuk mengukur kemampuan bendungan.
”Realitasnya saat masa menunggu hujan tidak turun lagi sehingga air terus menguap dan merembes ke dalam tanah sampai hampir mengering seperti sekarang,” ujarnya.
Lahan kering
Jumlah penduduk Raknamo sebanyak 648 kepala keluarga atau sekitar 2.670 jiwa. Sebagian besar warga adalah petani lahan kering dan peternak. Selama ini mereka sangat bergantung dari air hujan. Wilayah sekitar itu tidak ada sungai, kecuali sumur gali milik warga.
Ia mengatakan, dalam sejumlah pertemuan, warga Raknamo mendesak agar air Bendungan Raknamo segera dialirkan ke pemukiman warga, tetapi sampai hari ini belum terealisasi.
Ibeth Jaber (54), warga RT 016 RW 008 Desa Raknamo, mengatakan tidak punya uang untuk beli air tangki. Ia meminta air minum dari sumur milik warga, yang letaknya di dataran rendah, sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Air itu dipikul dengan sepeda motor setiap pagi dan sore hari, khusus untuk masak.
Kebutuhan mandi dan mencuci, ia mengambil air dari bendungan, sekitar 700 meter dari tempat tinggalnya. Air bendungan sengaja dialirkan ke kolam kecil untuk keperluan warga di wilayah itu.
Kehidupan masyarakat Raknamo sebelum dan setelah pembangunan bendungan tetap sama, tidak ada perubahan, kecuali pembangunan jalan hotmix dari cabang kantor Bupati Kupang menuju Bendungan Raknamo sepanjang 6 km. Wisatawan lokal yang berkunjung ke Bendungan Raknamo pun tidak memberi pengaruh pada warga sekitar karena mereka masuk bendungan tanpa retribusi.
Padahal, menurut ibu rumah tangga itu, sejak awal pembangunan bendungan, di berbagai media massa atau media sosial, pemerintah menyebutkan bendungan itu bakal melahirkan pertumbuhan ekonomi baru, terutama membawa kesejahteraan masyarakat sekitar. ”Realitasnya kami yang tinggal di sekitar bendungan saja tidak dapat pengaruh apa pun, apalagi desa-desa di luar Raknamo,” ujar Ibeth Jaber.
Belum dapat air
Kepala Desa Manusak, Kabupaten Kupang, Arthur Ximenes mengatakan, jarak Bendungan Raknamo-Desa Manusak sekitar 3 km, tetapi sampai hari ini belum dapat air dari bendungan itu. Desa Manusak bertetangga dengan Desa Raknamo. Bendungan terletak di ketinggian dari dua desa tersebut. Jika air bendungan sudah dialirkan ke Desa Raknamo, setidaknya limbah air rumah tangga warga Raknamo bisa mengalir ke Desa Manusak.
Warga Manusak saat ini terbantu dengan embung Oelpuah, berkapasitas sekitar 500.000 meter kubik. Embung itu masih menyimpan air, sekitar 300.000 meter kubik. Setiap hari, mobil tangki mengambil air dari situ, warga juga datang mengambil air untuk mandi dan minum serta mencuci pakaian di tepi embung.
Ia melarang warga menyedot air embung dengan mesin pompa untuk keperluan pertanian atau rumah tangga agar air tidak mengering. Warga yang membutuhkan air Oelpuah datang mengambil air sesuai kebutuhan. ”Tidak boleh ada yang monopoli air di tengah kondisi seperti sekarang,” katanya.
Pejabat Pembuat Komitmen Bendungan I Satker Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Frengki Welkis, membantah kepala desa dan warga Raknamo serta kepala Desa Manusak. Ia mengatakan, air baku bagi warga Raknamo telah dialirkan kepada warga Raknamo, termasuk untuk tanaman hortikultura.
”Saya tidak tahu berapa kepala keluarga yang telah mendapatkan air bersih dari bendungan itu. Datanya ada di Dinas Pekerjaan Umum NTT atau Kabupaten Kupang. Memang, warga Raknamo yang berdiam di ketinggian belum terlayani air bersih dari bendungan,”katanya.
Volume air bendungan itu sempat mencapai 10,8 juta meter kubik dari total 14 juta meter kubik pada Januari 2020. Namun, memasuki Februari 2020 hujan tidak turun lagi. Kondisi air bendungan saat ini sisa 3 meter dari dasar waduk.
Ia optimistis, air yang ada saat ini masih sempat dialirkan untuk kebutuhan air baku dan kebutuhan tanaman hortikultura warga Raknamo sampai akhir November. Sesuai informasi Stasiun Klimatologi Kupang, musim hujan akan terjadi di Timor bulan November, saat itu air bendungan mulai terisi kembali.