Gerakan Kesetaraan Hak Kaum Marjinal Kian Gencar Disuarakan di Jawa Timur
Gerakan penyetaraan kini gencar dilakukan di Jawa Timur sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak minoritas dan kaum marjinal. Sebagian membuahkan hasil saat kebutuhannya mulai terpenuhi.
Oleh
SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Hak-hak kaum minoritas dan marjinal belum sepenuhnya diberikan bagi warga Jawa Timur. Hal itu mendorong banyak pihak melakukan gerakan penyetaraan guna memastikan hak-hak itu terpenuhi.
Hal yang belum terpenuhi di antaranya hak dasar menjadi warga negara, mulai dari memperoleh berbagai surat-menyurat kewarganegaraan hingga hak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan diperlakukan setara tanpa stigma dan diskriminasi. Belum terpenuhinya hak-hak tersebut membuat kaum minoritas dan marjinal kian terpinggirkan.
Hal itu terungkap dalam diskusi dalam jaringan bertajuk ”Jawa Timur Inklusif Setara Semartabat”, Sabtu (19/9/2020). Dialog itu diselenggarakan Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pemberdayaan Jawa Timur melalui program peduli yang dikelola The Asia Foundation.
Zuhro Rosyidah, yang sehari-hari mendampingi anak pekerja migran di Malang, mengatakan, stigma terhadap anak buruh migran masih kuat. Anak buruh migran yang ditinggal orangtua bekerja sering dikucilkan karena dianggap tak setara dengan anak-anak lain.
Bagi anak perempuan, stigmanya jauh lebih berat. Zuhro memberi contoh, ada anak korban pemerkosaan ayahnya, tetapi justru disalahkan oleh sekolahnya. Sekolah memberi cap anak perempuan itu sebagai ”pemancing”. ”Ini menjadi perhatian kami. Kalaupun anak itu tidak tertib, tidak semestinya disalahkan begitu saja,” katanya.
Diskriminasi
Diskriminasi juga dialami para pengungsi Syiah di Madura. Layanan publik kepada masyarakat juga tak maksimal karena ada stigmatisasi perbedaan kepercayaan. Sebagian dari mereka belum mendapatkan hak-hak dasar warga negara, misalnya memperoleh akta lahir dan perpanjangan KTP.
Berbagai persoalan itu disadari masih ada dan tumbuh dalam masyarakat. Sejumlah lembaga dan kelompok pun membuat gerakan inklusif untuk merangkul masyarakat tersebut.
Di Situbondo, gerakan inklusi yang dirintis sejak 2013 mulai terlihat. Setidaknya dari sisi fisik bangunan perkantoran, pemerintah kabupaten sudah mulai memberi ruang kepada difabel. Setiap kantor, misalnya, diberi fasilitas ruang tunggu dan tangga datar agar bisa dijangkau dan digunakan warga difabel.
Anak-anak difabel juga bisa belajar di SD umum yang dekat dengan rumah mereka dengan bantuan guru yang dibekali khusus untuk menangani mereka. ”Sebelumnya mereka harus belajar di SLB (sekolah luar biasa) yang jumlahnya hanya dua di Situbondo. Bagi yang rumahnya jauh, ini memberatkan,” kata Luluk Ariyantiny, pelopor peduli disabilitas Situbondo.
Sebelumnya mereka harus belajar di SLB yang jumlahnya hanya dua di Situbondo. Bagi yang rumahnya jauh, ini memberatkan.
Di Sampang, praktik pemenuhan hak warga pengungsian juga sudah dilakukan. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama telah mengadvokasi warga yang belum memiliki surat-surat kewarganegaraan mereka. Tercatat, ada 120 anak dari warga Syiah yang sudah memiliki kartu identitas anak.
Pengamat Kebijakan Sosial Universitas Brawijaya, Malang, Fadillah Putra, mengatakan, gerakan-gerakan inklusi perlu digencarkan. Namun, jangan sampai hal itu terjebak pada gerakan integrasi sosial. ”Integrasi sosial ini justru mengarah pada penguatan kelompok tertentu,” lanjutnya.
Hikmah Bafaqih, anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, menambahkan, pemerintah diharapkan turut hadir dengan program inklusivitasnya. Pemerintan semestinya bukan hanya berfungsi sebagai koordinator semata.